Menjadi “Sarjana”
Uncategorized

Menjadi “Sarjana”

Wisuda bukan persoalan selesainya kita belajar, tetapi merupakan salah satu batu pijakan hidup yang telah dilewati. Suatu pengantar untuk menuju pada tahap berikutnya. Ibarat dalam sebuah video game kita akan naik level, di mana setiap level yang akan kita hadapi itu lebih sulit lagi dari sebelumnya, mulai dari segi tantangan, waktu, dan banyaknya masalah yang ada.

Saat diwisuda seseorang telah diakui lolos dalam suatu level dan mendapatkan kunci menuju tahap berikutnya yang lebih serius. Hal ini dikarenakan hidup sejatinya adalah proses pembelajaran, baik itu dalam ranah formal maupun nonformal. Akan tetapi, bukan hanya kunci yang kita perlukan (dalam hal ini ijazah) untuk menaklukkan level berikutnya, tetapi juga pengalaman yang telah kita dapat dalam level sebelumnya.

 Suatu kesalahan, di mana dan kenapa bisa kita berbuat sesuatu harus kita pelajari supaya tidak terulang lagi. Pengalaman hidup yang barangkali tidak semua mahasiswa bisa dapatkan akan menjadi senjata yang ampuh setelah lulus nanti. Tentunya, bagi yang belum naik level sebisa mungkin mengumpulkan bekal yang cukup untuk menghadapi tahap selanjutnya, agar nantinya tidak akan terombang-ambing dalam ketidakjelasan hidup.
Sering kita mendengar sarjana pengangguran di negeri ini, bukan perkara nilai akademik mereka tidak bagus, melainkan karena banyaknya ketidaksesuaian. Ketidaksesuaian ini mulai dari jenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis lulusan, jenjang pendidikan, sampai gaji yang tidak sesuai dengan harapan para pelamar kerja.
Universitas bukanlah perkara mencetak sarjana sebanyak-banyaknya, tetapi lebih kepada bagaimana menciptakan lulusan yang berbeda dari orang yang tidak berpendidikan.

Sarjana yang (diharapkan) mampu mengubah hidupnya ke arah yang lebih baik, bahkan mengubah negeri ini ke dalam tatanan yang apik. Tetapi, dewasa ini universitas seolah menjadi tempat penunda pengangguran, dari pengangguran lulusan SMA menjadi pengangguran lulusan universitas.

Universitas hanya tempat mencetak para sarjana, bukan tempat untuk mencari pekerjaan. Setelah lulus sarjana itulah yang bertanggungjawab akan kehidupannya sendiri, bagaimana ia memanfaatkan gelar sarjana untuk mendapat pekerjaan atau (bahkan) memanfaatkan semua pelajaran yang ia dapat untuk membuka lapangan pekerjaan untuk diri sendiri sampai orang lain.

Melalui ini kita harus bisa berpikir lebih terbuka, kita tidak harus menjadi salah satu di antara sekian banyak pelamar tersebut.

Lulus dengan IPK yang tinggi belum bisa menjamin akan mendapatkan pekerjaan yang baik. Hal yang tidak kalah penting adalah soft skills yang dimiliki seorang Sarjana.

Lebih beruntung lagi adalah mereka yang bisa memanfaatkan soft skills untuk menciptakan pekerjaan sendiri. Mereka tidak akan bergantung pada kebutuhan pasar atau lapangan pekerjaan. Jadi, di manapun ia mau bisa menciptakan sebuah lapangan pekerjaan sendiri.

Oleh: Noor Juni W. Mahasiswa Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Angkatan 2010

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *