Uncategorized

Kampus Bikin Ruwet?

Oleh Saratri Wilonoyudho*

Beberapa bulan lalu, media di Jawa
Tengah menurunkan isu soal “tambang emas” di sekitar kampus. Liputan ini
barangkali juga didasari atas rasa keprihatinan bahwa pembangunan di kawasan
kampus pinggiran Kota Semarang, nampaknya tidak dilandasai visi pembangunan
jauh ke depan. Sederhana saja belum genap satu bulan boyongan mahasiswa Undip
dari bawah, kini jalan di Tembalang dan Ngesrep sudah macet parah.
Demikian juga di kawasan
Sekaran, Gunungpati, tempat kampus Unnes berdiri. Kini juga disesaki oleh aneka
kegiatan bisnis seperti kasus “saudaranya”, Undip. Jalan paling memprihatinkan
adalah dari arah Sekaran ke Sampangan yang seringkali macet. Fakta ini
menunjukkan bahwa pemindahan kampus-kampus besar di pinggiran Kota Semarang
sepertinya tanpa disertai guideline
design
yang rinci, yang menjangkau puluhan tahun ke depan. Utamanya
menyangkut masalah kemacetan lalu lintas, perubahan sosial, dan kerusakan
lingkungan.
Padahal pembangunan
kampus-kampus baru tersebut, berdiri di atas “tanah perawan” artinya pihak kampus dan pemerintah
kota memiliki banyak alternatif untuk membuat rancangan kompleks bangunan
beserta ikutannya secara lebih luwes dan gampang. Lain halnya jika kampus baru
itu harus berdiri dengan cara menggusur bangunan lama, maka akan lebih sulit
proses perancangannya.
Daya Dukung Sosial
Pembukaan kampus baru yang
meminggirkan penduduk asli tidak hanya dialami di Semarang, namun juga di
kota-kota lain. Harian Kompas
(21/2/2010) menulis judul headline-nya
Orang-orang Kalah dari Jatinangor Bandung”. Tulisan ini menceritakan ironi
pembangunan kampus baru di Jatinangor, yakni sebuah kawasan di pinggiran Kota
Bandung, Jawa Barat, yang kini berdiri megah puluhan kampus seperti Universitas
Padjadjaran, Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Universitas
Winaya Mukti, Ikopin, dan berbagai kampus swasta lainnya.
Tanah-tanah di sekitar kampus
tersebut ”sangat subur” dan kini telah dibeli orang kota untuk usaha pondokan
mahasiswa, mall, kafe, warung,
restoran, dan sebagainya. Ironisnya mantan pemilik tanah kini banyak yang
bekerja sebagai pembantu di tempat usaha tersebut dengan gaji berkisar
Rp.600.000,00 per bulan! Kisah serupa juga banyak ditemukan di kota-kota besar
lainnya seperti di sekitar kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
dan Universitas Indonesia (UI)  Depok
Jawa Barat.
Sebenarnya penyebaran
aktivitas baru di kawasan pinggiran Kota Semarang, seperti pendirian dua
perguruan tinggi besar di daerah Gunungpati dan Tembalang, merupakan strategi
yang baik untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru agar tidak
terkonsentrasi di pusat kota saja. Namun fakta yang terjadi, pemerintah kota
nampak hanya dapat “melempar bola”, tanpa diimbangi dengan perencanaan
tata ruang yang harmonis. Artinya setelah mengizinkan berdirinya pusat-pusat
aktivitas baru di daerah yang masih kosong, tidak dibarengi dengan perencanaan
urban desain yang agak rinci atau detail. Akibatnya pertumbuhan kawasan baru
tersebut jadi tidak teratur dan kini mulai nampak menumbuhkan masalah baru
seperti kerusakan lingkungan, kriminalitas, dan kepadatan lalu lintas yang
terus meningkat.
*)Ketua Koalisi
Kependudukan Jawa Tengah. Anggota Dewan Riset Daerah
Jawa Tengah. Dosen MK Planologi
Universitas Negeri Semarang.

Comment here