Menghitung Hari, Menghitung Ketidakjelasan
Uncategorized

Menghitung Hari, Menghitung Ketidakjelasan

h

Satu tahun berlalu, kebijakan area
kampus bebas kendaraan bermotor mulai menuai protes. Setidaknya, Gang
Cempakasari seolah menjadi korban akses menuju kampus FT dan FIK.

Sejak ditetapkan kebijakan kampus
bebas kendaraan bermotor pada 1 Januari 2013 lalu, Gang Cempakasari begitu
ramai karena menjadi akses utama jalan kampus. Jika dari Simpang Tujuh Unnes,
ada tiga cara untuk menuju kampus FIK dan FT, yaitu mengendarai sepeda atau
jalan kaki, naik bus fasilitas kampus atau tetap menggunakan sepeda motor lewat
Gang Cempakasari.
Ikmal Auladi, Mahasiswa Jurusan
Teknik Sipil yang kos di Gang Pete mengaku terganggu dengan banyaknya sepeda
motor lalu-lalang di Gang Cempakasari. “Dulu tidak seperti ini,”katanya.
Persoalan transportasi internal
merupakan salah satu tugas Divisi Arsitektur Hijau dan Transportasi
Internal (Divarti) . Divisi inilah pelopor untuk mewujudkan sarana transportasi
serta bangunan yang ramah lingkungan.
Gagasan
untuk membuat Unnes bebas polusi berlalu dari waktu ke waktu. Kini mengijnjak
usia pertama. Namun makin ke sini, bukan semakin membaik. Tapi semakin tidak
jelas. Saratri Wilonoyodho, Dosen Teknik Sipil mengungkapkan, konsep yang
dicanangkan Unnes belum matang. Misalnya, tata kelola jalan yang digunakan
untuk melanjutkan kebijakan ini tidak imbang. “Lihat saja, Dosen dan Mahasiswa
FT, FIK mesti memutar jalur lewat jalan kampung,” tegasnya.
Yayuk,
salah satu warga Sekaran mengutarakan komplain pada Unnes karena menggunakan
jalan kampung sebagai jalan utama. Saat dikonfirmasi, Samani, ketua RT 4 RW 1,
menjelaskan bahwa pihak Unnes pernah mendatangi warga perihal sosialisasi pengalihan
jalan. “Itu hanya di awal. Semakin ke sini, kok
motor yang lewat semakin banyak. Sering warga komplain. Kami bingung mesti
bagaimana?” katanya.
Memang
sudah ada upaya dari pihak kampus memberi akses transportasi dengan
mengoperasikan bus dan menyediakan sepeda. Sayangnya, hal tersebut tidak
sebanding dengan jumlah mahasiswa yang ada. Dari data yang dimiliki Express tercatat,
semestinya Unnes menyediakan sepeda kira-kira 3000 unit, yaitu 15 persen dari
rata-rata 24 ribu mahasiswa.
Pada
2010 lalu, Unnes telah melakukan pengadaan sepeda untuk beberapa Lembaga
Kemahasiswaan. Diantaranya, 38 sepeda telah dibagikan di beberapa tempat, yaitu
di gedung UKM 11 unit, UKKI 4 unit, REM FM 3 unit, dan Menwa 20 unit.
Di
tahun yang sama, Unnes juga mendapat bantuan sepeda sebanyak 700 unit dari Bank
Mandiri. Namun seiring berjalannya waktu, cukup banyak sepeda yang rusak parah
dan tidak bisa diperbaiki. Kabarnya, sepeda sumbangan dari Bank Mandiri
tersebut –yang kini teronggok di gedung parkir GSG –akan segera dimusnahkan.
Khoirul
Hamzah, mantan ketua Mahapala 2009, di mana Mahapala selaku UKM yang diberi
tanggung jawab untuk mengelola sepeda, menanggapi bahwa pada tahun ketiga
sepeda yang ditempatkan di UKM ditarik oleh pihak Rumah Tangga Unnes. Penarikan
itu dikarenakan sepeda yang telah dibagikan rusak dan tidak bisa digunakan.
Mengenai
pengadaan sepeda yang menjadi transportasi ramah lingkungan, sejak deklarasi
Unnes sebagai Universitas konservasi seperti melempem kian waktu.
Pertanyaannya, apakah Unnes punya anggaran khusus bagi fasilitas ini?
Menanggapi
hal tersebut, Teguh[B1]  Prihanto
selaku koordinator bidang Divarti, mengaku pihaknya selalu berupaya untuk
mengembangkan bidang transportasi ramah lingkungan agar semakin baik. “Kami
terus berusaha, misalnya kami telah membuat  Buku Panduan Perancangan Fasilitas dan Pengelolaan Sepeda
Kampus Unnes,” katanya.
Lanjut,
atau Bagaimana?
Selain
masalah sarana pendukung, yang menjadi masalah adalah niat para sivitas
akademika dalam memahami makna konservasi. Saratri menambahkan, jika cinta
Unnes dan konservasi mestinya menjalani dengan sepenuh hati. “Konservasinya
masih setengah-setengah,” katanya.
Dari
jajak pendapat yang dilakukan  Express
kepada 370 mahaiswa, 44 persen diantaranya masih mengendarai motor untuk pergi
ke kampus. Artinya, motor tetap jadi favorit mahaiswa sebagai akses ke kampus. Unnes
sendiri menyediakan akses ke kampus berupa bus. Hanya 1 persen yang
memanfaatkan sarana tersebut. 43 persen memilih jalan kaki, jumlah ini
sebanding karena tidak adanya sepeda yang bisa dipinjam.
Mengenai
kebijakan ini, beberapa kali protes dilayangkan beberapa mahasiswa melalui
rubrik SMSivitas buletin Express mengenai beberapa mobil yang
melanggar aturan, misalnya masih tetap memasuki wilayah bebas kendaraan
bermotor. Ikmal salah satunya. “Lihat saja,” katanya, “mobil pejabat lalu-lalang.
Kami, mahaiswa seperti jadi korban. Harus lewat jalan kampung yang lebih jauh. ”
Hal
tersebut sudah coba disiasati dengan beberapa program pendukung. Salah satunya,
membuat Buku
Panduan Titik Penanda (Rambu-Rambu Lalu Lintas) Penunjang Transportasi Internal
Kampus Unnes Sekaran. Namun, itu hanya termaktub dalam teks karena yang terjadi
di lapangan, tidak seindah apa yang ada di buku.
Kini
berbagai elemen sivitas akademika menunggu kebijakan ini akan dikemanakan.
Lanjut atau bagaimana? Jika lanjut, siapkah Unnes memberi fasilitas sepadan? Jika
tidak, mahasiswa menunggu kejelasan.
Bagi
Ikmal, niat konservasi itu baik. Bukan berati mengungkap keresahan itu karena
tidak mendukung konservasi. Kesehariaanya, dia sering bersepeda untuk pergi di
sekitar kampus. Sebagai mahasiswa yang suka naik gunung itu, menjaga alam
adalah tugas bersama.
“Jika
konservasi, kita mesti bersama memahami, untuk menjaga alam kita. Tapi jika
hanya pencitraan untuk apa? Oya, selamat dirgahayu juga buat Unnes, sukses
konservasinya. Tapi jangan menyusahkan,” harap laki-laki pelanggan majalah National
Gheographic
itu. Eva, Irkham, L

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *