Demokrasi yang Bias
Uncategorized

Demokrasi yang Bias

Apa
yang terlintas di kepala
kalian saat mendengar
kata demokrasi? Kampanye? Pemilu? Rebutan “kursi”? Atau mungkin tak
peduli?
Sebagian lain, mungkin ada yang berpikiran bahwa demokrasi adalah salah satu materi
kajian dalam Mata
Kuliah
Umum
(MKU) Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Pihak yang mencurahkan
perhatiannya
pada demokrasi,
justru akan mengupas kata tersebut dengan berbagai bahasan yang seolah tiada ujungnya. Apa makna demokrasi
Indonesia sekarang? Apa demokrasi benar-benar harga mati? Atau hanya ajang
perebutan kursi? Apa demokrasi layak untuk terus dipertahankan?
Ya, setidaknya itulah
pertanyaan-pertanyaan yang terlontar pada diskusi Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) di
Ruang Rapat Besar (RRB) gedung UKM Unnes, rabu (23/4).  Kali
ini, kami mendiskusikan Demokrasi dan
Kekecewaan.
Sebuah buku yang berawal dari orasi ilmiah Goenawan Mohamad berjudul “Demokrasi dan
Disilusi” dalam acara Nurcholis
Madjid Memorial Lecture (NMLL) yang
berlangsung 23 Oktober 2008 di Auditorium Nurcholish Madjid, Universitas
Paramadina.
Pemilihan Umum tak pernah lepas dari permasalahan, termasuk 9 April lalu. Masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), money politics, bahkan saat perhelatan akbar tersebut usai, tak sedikit panti rehabilitasi dan rumah sakit jiwa yang menyediakan tambahan ruang khusus politisi yang tak terpenuhi hajatnya memperoleh kursi.
Ratusan (bahkan miliar) rupiah digelontorkan guna kampanye mereka. Tak aneh, ketika mental mereka tak siap, terjadilah stres pada mereka. Bisa jadi orientasi mereka adalah kekuasaan, bukan pengabdian. Padahal kekuasaan cenderung disalahgunakan. Sebagaimana surat Lord Acton kepada Mandell Creighton bahwa “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”.
GM memprihatinkan demokrasi sekarang
yang hanya digunakan sebagai pembangun konsesus semata. Akhirnya, demokrasi hanya melahirkan
kondisi mayoritas dan minoritas, kuat dan lemah, yang menguasai dan dikuasai.
Menurut GM, solusi
terbaik untuk mempertahankan demokrasi sekarang adalah ingatan tentang
perjuangan politik.  Politik merupakan
perjuangan dalam
bentuk nyata. Perlawanannya dapat melalui peraturan perundang-undangan atau
partai politik. Selain itu, politik perjuangan dapat dianggap sebagai nostalgia
masa lalu.
Mengingat perjuangan di era Reformasi dan Orde Baru. Saat itu, peran gerakan atau mobilisasi di
luar sistem demokrasi telah menjadi obat atas kekecewaan jalannya demokrasi
yang menyimpang.
“Saya
memilih untuk tidak
memilih,” ungkap Dewi Maghfiroh, melihat betapa korupnya anggota DPR sebagai
luaran dari demokrasi sekarang ini dan banyaknya kasus money politic pada pemilu 9 April lalu. Belum lagi jual-beli kursi
antar partai, sudah menjadi rahasia umun dan bukan lagi hal tabu bagi kita.
Selain GM, banyak dari peserta diskusi yang mengutarakan kekecewaannya. Kekecewaan
mereka tertuju pada
aktor-aktor sentral seperti para pejabat DPR, DPD dan anggota
parpol.
Ya, tepat seperti yang
dikatakan GM dalam bukunya. Saat ini, Indonesia sedang memasuki era baru yang mana para pemilih mempunyai
kecenderungan untuk mencemooh dan mencurigai pemimpinnya. Sementara itu, menurut Aditya Rustama, kekecewaan
malah sudah seperti siklus umum dalam berdemokrasi.
Saat diskusi
berlangsung, peserta menyampaikan berbagai pandangannya mengenai demokrasi Indonesia saat
ini. Hadir sebagai pemantik diskusi,
mahasiswa jurusan Kurikulum dan Teknologi Unnes Faisal
Nur Iman.
 “Yang penting adalah percaya pada
yang kita pilih. Entah bagaimana nanti berujung kekecewaan atau tidak, yang
bisa kita lakukan, ya, percaya saja.” tambah Adit tepat beberapa saat
sebelum diskusi ditutup. Aziz R.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *