Hari Buruh Bukan Ancaman
Opini Uncategorized

Hari Buruh Bukan Ancaman


Oleh : Ganda Febri Kurniawan
Seperti biasa, pagi hari, Semarang nampak ramai  terutama jalur perlintasan. Perlintasan di
jalur-jalur inti kota biasa dilewati kaum pekerja maupun pengusaha menuju
tempat mereka mencari nafkah untuk menyambung hidup. Di tanah yang katanya
subur ini, buruh melangkah gontai menuju gerbang pabrik di daerah Kota Lama
yang kumuh.
Rakyat menjerit keras karena tidak bisa makan, namun hanya bisa diam karena
tidak ada yang bisa menolong mereka. Mereka merintih dan merenung di sudut kota
negeri ini yang katanya kaya raya. Kaum
buruh yang terbentuk akibat dari penghisapan produksi kapitalis. Ketidakpuasan
muncul karena upah yang sangat rendah harus menutupi biaya-biaya kebutuhan yang
tinggi.
Menurut HOS Tjokroaminoto (1921), Kaum Buruh adalah penggelar
kesejahteraan umum. Bekerja untuk rakyat atas dasar pemenuhan kebutuhan pokok.
Mereka bekerja siang malam namun tidak kunjung kaya, bahkan kehidupan mereka
jauh dari sejahtera. Jangan berhenti bergerak wahai para buruh bumiputra. Di
dada dan peluhmu kami gantungkan kebutuhan rumah tangga.
Hari Buruh selalu diperingati oleh kaum pekerja dan buruh seluruh dunia
dengan melakukan aksi dan orasi. Mereka menyampaikan gagasan dan keluhnya demi perbaikan
nasib. Jika pada masa Hindia-Belanda kebanyakan buruh tidak digaji namun hanya
diberi makan, di masa sekarang buruh digaji untuk sekadar membeli makan.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, tiap tanggal 1 Mei para tokoh Nasional berpidato
di depan buruh untuk bersama-sama merefleksi diri. Presiden Soekarno, salah
satu simbol perjuangan kelas yang menentang segala penghisapan oleh manusia
kepada manusia. Tercatat dua kali Presiden Soekarno berorasi pada Hari Buruh
tahun 1946 di Yogyakarta dan 1964 di Istana Negara. Pernyataan presiden
Soekarno menyiratkan arti pentingnya perayaan Hari Buruh.
“Perajaan hari internasional buruh 1 Mei
bukanlah perajaan Komunis, tetapi perajaan oleh seluruh kaum buruh
internasional. Untuk merajakan kemenangan ini, kaum buruh dapat mentjapai djam
kerdja satu hari 10 djam, jang tadinja sampai 18-19 djam sebagai hasil daripada
perdjuangan kaum buruh jang bersatu, bahkan sebagai hasil daripada perdjuangan
kaum buruh internasional, maka ditetapkan 1 Mei sebagai satu hari internasional,”
demikian pidato
Presiden Sukarno saat peringatan Hari Buruh 1 Mei 1962.
Pada tahun 1948, kendati dalam situasi agresi militer Belanda, perayaan
Hari Buruh Sedunia berlangsung besar-besaran. Saat itu, dua ratus ribu hingga tiga
ratus ribu orang membanjiri Alun-alun Yogjakarta untuk memperingati Hari Buruh
Sedunia. Menteri Pertahanan, Amir Sjarifoeddin, memberikan pidato kepada massa
buruh dan rakyat di alun-alun itu. Selain Amir, Menteri Perburuhan dan Sosial
Kusnan dan Ketua SOBSI Harjono juga memberi pidato. Hatta dan Panglima besar
Jend. Soedirman juga hadir dalam perayaan hari buruh ketika itu.  Di tahun 1948, dikeluarkan UU Kerja nomor
12/1948 yang mengesahkan 1 Mei sebagai tanggal resmi hari Buruh. Dalam pasal 15
ayat 2 UU No. 12 tahun 1948 disebutkan, pada tanggal 1 Mei buruh dibebaskan
dari kewajiban bekerja.
Kesejahteraan Buruh adalah cita-cita yang harus diperjuangkan.
Demonstrasi pada hari buruh bukanlah satu tindakan menentang, melainkan cara rakyat untuk menuntut dan menolak segala bentuk pemanfaatan tenaga kerja
yang berlebihan. Bangsa kita bukanlah bangsa budak, namun masih banyak pemilik
modal kapital memperlakukan rakyat sebagai budak di negerinya sendiri.
Pada masa rezim Soeharto, peringatan Hari Buruh dilarang. Tidak ada
seorang pun yang merayakan hari buruh. Jika dirayakan maka dianggap melakukan
tindakan subversif, melawan hukum dan pemerintah. Saat itu, pemerintah
menganggap gerakan buruh sepaham dengan komunisme. Pemerintah Soeharto hanya mengakui Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(SPSI) yang didirikan pada 20 Februari 1973 sebagai satu-satunya wadah
perkumpulan buruh. Kemudian Pemerintah menetapkan hari lahirnya SPSI sebagai
Hari Pekerja Nasional.
Perlakuan satu rezim kepada Kaum Buruh mencerminkan cara pandang rezim
tersebut kepada Gerakan Rakyat. Belanda bersifat subversif kepada gerakan
buruh, bahkan hukuman penjara disiapkan bagi para pelanggar ketentuan
pemerintah kolonial. Rezim Soeharto memiliki cara yang hampir sama dengan cara
Kolonial Belanda menentang gerakan buruh, yaitu secara subversif. Tuntutan
mereka bukanlah tuntutan yang mengancam kedaulatan penguasa, melainkan menuntut
hak untuk hidup layak dan sejahtera berlandaskan sila kelima dalam Pancasila
yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
*Mahasiswa Jurusan Sejarah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *