Seragamisasi dan Nostalgia Orba
Gazebo Uncategorized

Seragamisasi dan Nostalgia Orba

Seragamisasi Unnes
Mahasiswa berseragam hitam-putih berfoto bersama. [Doc.grup maba FIS]

“Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) itu dulu kalau teriak selalu seragam bunyinya: Setuju! Sampai-sampai ada
ledekan: kalau ada kucing masuk parlemen, terus mengeong, semua serempak satu suara: Setuju. Setuju. Setuju!”

Selorohan khas KH Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus di
atas, merupakan satire terhadap kelakuan anggota DPR zaman Orde Baru (Orba)
yang sukar sekali berdialektika saat menghadapi masalah ataupun membuat
kebijakan negara pada waktu itu. Hal ini menurut Gus Mus, seperti yang dilansir
Media Indonesia (16 Oktober 2016) yang
bertajuk Seragam itu Melawan Fitrah,
merupakan akibat dari kecenderungan zaman Orba yang ingin menyeragamkan segala
hal.
Meluncur jauh menembus batas waktu. Nuansa penyeragaman yang
mirip zaman Orba ini seolah ingin dimunculkan lagi oleh Universitas Negeri
Semarang (Unnes), dengan membuat kebijakan tentang kewajiban berseragam bagi
mahasiswa baru (maba) Unnes angkatan 2016.
Tiap Senin, mahasiswa laki-laki dan perempuan wajib
mengenakan baju putih dan celana atau rok panjang berwarna gelap yang rapi. Selasa-Kamis,
mahasiswa wajib mengenakan baju batik. Sedangkan Jumat-Sabtu, barulah mahasiswa
dibebaskan mengenakan pakaian, dengan catatan “rapi”. Bagaimana tanggapan para mahasiswa atas peraturan tersebut? Wah,
jangan ditanya. Sudah pasti geger!
Sebab, ini merupakan peraturan tak biasa di lingkungan
universitas yang cenderung bebas tapi pantas. Dari peraturan tersebut, beberapa
mahasiswa menilai seakan-akan kampus ingin membentuk generasi baru yang baik
dan penurut, pokoknya berbeda dari kakak-kakak angkatannya yang terlampau
liberal! Ya, apalagi saya yang sudah semester tua ini.
Pro dan Kontra
Beberapa mahasiswa baru, justru kalem-kalem saja dan tidak
mempermasalahkan peraturan berseragam. Alasan mereka bagus juga: Lha wong beberapa fakultas saja sudah ada
yang mewajibkan pakaian hitam-putih setiap hari Senin, ditambah beberapa hari lagi
berseragam ya sama saja, tho?
Tapi percayalah, kalau mengatakan pendapat tersebut di forum
diskusi mahasiswa, pastilah dibantai oleh banyak mahasiswa lain dengan
sanggahan menyangkut wacana sosio-kultural, pluralisme, kebebasan berekspresi,
simbol dan makna, dan seterusnya.
Wah, pokoknya berbagai macam dalih untuk memperkuat
penolakan berseragam dikeluarkan, dan banyak sekali! Tak akan cukup kalau saya
tulis semua di kolom ini. Syahdan, bila diskusi tentang peraturan berseragam
ini terus dilanjutkan, yakinlah sampai lebaran tahun depan pun tidak akan
selesai.
Seandainya Saya Maba
Bila ada yang bertanya, seandainya saya mahasiswa baru, bagaimana
saya menanggapi peraturan ini? Akan saya jawab: tentu saja saya akan marah. Tetapi
saya marah bukan karena seragamnya. Saya marah, sebab peraturan ini secara tidak
langsung telah mencerminkan bahwa kampus tidak mempercayai mahasiswa sebagai manusia
yang sedang belajar dewasa.
Saya paham betul, sebab saya sudah merasakan Praktik
Pengalaman Lapangan (PPL) sebagai guru yang praktik di salah satu SMK di Kota
Semarang. Siswa itu masih bocah, yang
dalam falsafah Jawa memiliki arti “bodone
hurung mecah”
. Ada beberapa siswa yang belum tentu paham apa gunanya rapi
dan bagaimana berpakaian yang pantas sesuai kebutuhan. Itulah guna menanamkan
pola pikir rapi dan disiplin dengan pakaian seragam. Toh, sudah berseragam pun masih ada saja siswa yang bajunya dikeluarkan,
sepatunya warna-warni atau tidak memakai atribut seragam sesuai aturan. Ya, namanya
juga bocah.
Sebab itulah, jangan samakan mahasiswa dengan siswa. Bagaimana
mahasiswa bisa belajar memecah kebodohan mereka, kalau soal pakaian saja masih tidak
dipercaya untuk mandiri dan berdaulat atas diri mereka sendiri?
Kalau hanya satu hari berseragam, mungkin wajar saja sebab
status Unnes sebagai salah satu Lembaga Kependidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
yang membentuk calon-calon guru masa depan. Seragam digunakan sebagai
pengingat, kelak mereka adalah sosok yang “digugu
lan ditiru”
oleh murid-murid mereka di masa depan. Utamanya soal etika
berpakaian yang rapi, baik, sopan, dan sedap dipandang. Tetapi saya jadi khawatir. Jangan-jangan peraturan
berseragam ini justru dibuat supaya kebodohan para mahasiswa tidak pecah? Supaya tetap jadi bocah, sehingga
tatkala ditanya: nanti setelah lulus mau ngapain?
Jawaban para mahasiswa akan seragam seperti anggota DPR zaman Orba: Tidak tau.
Tidak tau. Tidak tau!
Suara-suara samar pun muncul, terdengar dari sudut
sebuah bangunan: “Kalau begitu, kuliah
lagi saja. Ambil S2, biar tambah pintar. Dan jangan lupa, lanjut S2 di kampus
Unnes lagi, ya?”

“Setuju! Setuju! Setuju!”
Aziz
MR
Prosais | Pegiat Pers
Mahasiswa di BP2M Unnes

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *