Saksi Mata Segelas Kopi
Cerpen Uncategorized

Saksi Mata Segelas Kopi



Oleh: Lalu Muhammad Jazidi


Hidup manusia begitu
singkat. Kebanyakan dari mereka hanya hidup mencapai usia enam puluh hingga
tujuh puluh tahun. Tak banyak yang bisa lebih dari itu. Bahkan tidak sedikit yang
hidupnya berakhir jauh lebih cepat. Ipul salah satunya. Saat itu usianya 25
tahun. Dia mati akibat sebutir peluru yang bersarang di kepalanya.
Namun, hidup bagi
segelas kopi jauh lebih singkat. Meskipun “hidup” bukan kata yang tepat untuk
kopi yang tak pernah bernapas. Sejak lahir dari percampuran kopi bubuk dengan
air panas dan barangkali sedikit gula atau creamer, nyatanya segelas kopi tidak
bisa hidup lebih dari sehari.
Hidup segelas kopi
yang begitu singkat umumnya akan memiliki dua akhir. Akhir bahagia tatkala si
kopi berakhir membasahi kerongkongan manusia manusia. Bisa saja kopi akan
berakhir menyedihkan ketika ia tidak diminum siapapun, berakhir sia-sia.
Dalam hidupnya
yang singkat itulah si kopi melihat pembunuhan itu. Ipul menyeduh segelas kopi
kemudian ditaruhnya kopi itu di atas meja berdampingan dengan komputer
kesayangannya. Gelas yang dipenuhi kopi itu sudah paham kebiasaan Ipul. Seperti
biasa, setelah pergi ke kamar mandi menuntaskan hasrat kencingnya, ia kembali
duduk menghadap komputer. Jari-jarinya akan menari di atas keyboard, menuangkan ide dan gagasannya dalam rangkaian kalimat
yang akan dikirim ke media cetak nasional.
***
“Hidupmu akan
segera berakhir,” kata Si Gelas.
”Setiap menuntaskan
satu paragraf, dia akan menelan sebagian tubuhmu. Menghirup aroma seduhan kopi
kemudian menikmati rasa pahit sebelum melanjutkan menulis paragraf berikutnya.
Begitulah terus sampai kau habis ditelannya, tak akan ada yang tersisa selain
ampas basah bubuk kopi yang akan berakhir pada lubang akhir pencucian di dapur,”
tambah Si Gelas tersenyum sinis.
“Itu terdengar
menyenangkan,” jawab Si Kopi singkat.
“Kau selalu mengatakan,
diminum sampai habis merupakan keinginan terbesar setiap kopi. Setidaknya hidup
kami yang singkat memiliki manfaat bagi makhluk lain dan satu-satunya caranya
adalah mati ditelan. Apalagi ditelan oleh orang baik seperti dia akan terasa
menyenangkan.”
“Kau membaca
pikiranku.” 
“Aku sudah sering
mendengarnya.”
Belum selesai Ipul
menyesap segelas kopinya, terdengar suara pintu berderit. Shut! Suara kecil, singkat, dan dingin seperti
bisikan malaikat maut dan di kepala Ipul pun tercipta lubang kematian. Percayalah, ini hanya pencurian biasa. Tidak ada kaitannya dengan
HAM, proyek, apalagi politik!” gumam Si Perampok pada Ipul.
Si Kopi melihat
semuanya. Dia menyaksikan benar-benar perampok tersebut menekan pelatuk yang
mengakibatkan peluru bersarang pada bagian belakang tengkorak Ipul. Setelah
memastikan Ipul tak bernyawa, dia mulai menjelajah ruang demi ruang dalam rumah
yang tak begitu besar itu. Mengacak-acak seisi ruangan. Tak banyak barang
berharga di sana. Parahnya tidak ada benda yang pantas dicuri. Si Perampok
merasa bingung, benda apa yang harus diambil. Uang? Dia tidak menemukannya
sepeser pun. Emas? Berlian? Apapun itu, tidak bisa dia temukan. Komputer? Tidak
mungkin, itu komputer tabung model lama. Harganya tidak seberapa, membawanya
pun  sulit dan hanya akan membahayakannya
karena bisa dengan mudah diketahui warga sebagai pencuri goblok.
Selama menyaksikan
peristiwa itu, hal-hal aneh mulai membayang-bayangi pikiran Si Kopi. Ia memikirkan
nasib Ipul. Ia tak habis pikir motif perampok yang membuat Ipul harus dibunuh dengan
cara mengerikan semacam itu.
Semua kopi itu
pintar, entah darimana pengetahuan mereka peroleh, tapi mereka memang pintar. Terbesit rencana Si Kopi membalas
pembunuhan yang menimpa Ipul. Dia mulai berpikir mencari cara untuk membalas
dendam kematian orang baik seperti Ipul. Seandainya dia membiarkan dirinya mengalir
ke lantai hingga membuat si perampok terpeleset tak jauh dari meja kayu itu. Kepala
Si Perampok akan menghantam ujung meja yang lancip dan itu cukup mampu membuat
kepala Si Perampok bocor. Lebih baik lagi jika hantaman ujung lancip meja itu bisa
langsung mengirim Si Perampok ke neraka.
Tapi bagaimanapun
bagusnya rencana balas dendam yang direncanakannya tidak akan  berguna. Kopi tidak bisa bergerak atas
kehendaknya sendiri. Celakanya Si Kopi terkurung dalam gelas yang membuatnya
terdiam di sana dalam waktu yang lama. Hingga akhirnya ia menyadari, rencana
tanpa tindakan tidak akan menghasilkan apapun.
***
Jarum jam
menunjukkan pukul 04.40 WIB. Sudah satu jam sejak kedatangannya yang
menyebabkan sebuah peluru bersarang di kepala Ipul. Karena tidak menemukan benda
berharga apapun yang bisa dicuri, tanpa pikir panjang dia memutuskan untuk
pergi dari rumah itu sebelum fajar terbit dan mempersulit langkahnya untuk
melarikan diri. Sebelum melangkahkan kakinya meninggalkan rumah itu, dia mendekati
mayat itu sekali lagi dan berbisik di dekat telinga Ipul yang telah menjadi
mayat, “Kau boleh tidak percaya kepadaku.”
Saat hendak
beranjak meninggalkan, dia melihat segelas kopi di atas meja. Kopi itu telah
dingin, namun tetap menggugah selera Si Perampok untuk membasahi
kerongkongannya. Rasa haus yang dirasakannya semakin menguatkan niatnya untuk
menenggak habis kopi dalam gelas itu. Sebab dia belum menengguk apapun sejak
berangkat dari rumahnya untuk melancarkan niat buruknya mencari pundi-pundi
rupiah dengan cara keji.
“Keparat!” umpat Si
Kopi setelah Si Perampok menelan sebagian tubuhnya. Tampaknya dia tidak rela
dirinya berakhir di perut Si Perampok.
“Kau dingin, pasti
kau membenciku karena membunuh tuanmu. Kau pasti tidak mau ditelan olehku,”
ujar Si Perampok seolah-olah mengajak bicara segelas kopi yang diminumnya.
“Kau benar,
keparat! Aku sangat membencimu karena itu. Aku tidak mau ditelan olehmu, aku
tidak mau menyatu denganmu dan berakhir menjadi bagian dari segala keburukanmu,
keparat!” Si Kopi terus mengumpat pada Si Perampok.
Si Perampok
sebenarnya hanya perlu pergi dari rumah itu semenit lebih awal agar tidak
kepergok Polisi. Sekitar empat menit usai Si Perampok meminum habis kopi dingin
itu. Sang Polisi yang kebetulan sahabat karib mayat yang terbujur kaku itu
sebenarnya hanya sedang menyambangi rumah itu untuk melihat koleksi perangko kawannya
itu. Sang Polisi masuk tanpa mengetuk pintu, berjalan menuju ruang tengah lalu
belok ke kanan menuju kamar pribadi Ipul yang terletak tak jauh dari dapur. Biasanya
dia melihat sahabat karibnya itu tengah sibuk mengetik ditemani segelas kopi
hangat. Tapi, tunggu. Seorang laki-laki yang tengah meneguk gelas kopi milik Ipul
bukanlah Ipul, melainkan orang asing berkostum serba hitam beserta penutup muka
laiknya ninja. Sementara di lantai tergeletak seorang mayat yang tak lain
adalah sahabat karibnya sendiri. Ipul telah mati. Pistol pun
diacungkan. Si Perampok ditangkap.
***
Penjara; sebuah tempat
manusia jahat dikumpulkan dan dikurung agar tidak mengganggu kehidupan manusia
baik. Namun, bukan itu menurutku. Penjara adalah tempat orang-orang kurang
beruntung dikumpulkan. Entah kurang beruntung karena terbukti melakukan
kejahatan. Ataupun kurang beruntung karena terbukti secara sah melakukan
kejahatan yang tidak pernah dilakukannya. Bisa jadi kurang beruntung karena
untuk mengganjal perut, dia harus mencuri pisang dari orang kaya yang kikir.

“Menurutku aku
beruntung bisa berada di sini,” kata Komar.
“Kau gila! Kau
akan dihukum mati. Kau hanya perlu menunggu persidangan selanjutnya dan mereka
akan mengirimmu ke neraka. Kau gila bilang kau beruntung,” sahut Samudra.
“Mungkin kau benar
aku akan segera dikirim ke neraka, tapi paling tidak aku masih punya sedikit
waktu untuk memperbaiki diri. Seperti yang sudah aku ceritakan, pagi itu bukan
pertama kalinya aku membunuh manusia, tapi kau dengar kata si tua Agus itu.
Selalu ada kesempatan bagi kita untuk berubah. Selalu ada kesempatan untuk
bertaubat.”
“Kau benar-benar
dibikin gila lelaki tua itu. Entah apa yang ditanamkan dikepalamu olehnya. Dia
dihukum seumur hidup karena dia itu sama sepertimu, seorang pembunuh. Dan kau
percaya pada ceramahnya?”
“Si tua Agus tidak
pernah bilang dia pernah atau tidak pernah membunuh manusia, tapi aku merasa
dia tidak pernah melakukannya. Aku rasa dia hanya kurang beruntung.” Komar
mengangkat gelasnya yang kopinya hanya tersisa setengah.
“Tolong sampaikan
terima kasihku  kepada kawanmu, kopi dingin pagi itu. Jika aku tidak
meminumnya, aku tak akan berada disini dan masih akan berkeliaran sebagai
keparat.  Aku rasa mengetahui itu bisa membuatnya senang.” Komar meminum
habis kopinya.
“Kau gila!”
TAMAT
*Mahasiswa Ilmu Politik 2014 |
Fotografer Majalah Kompas Mahasiswa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *