BukuUncategorized

Meleburlah Seperti Bubur

Sumber : https://pmd205465tn-a.akamaihd.net
Oleh: Doni Darmawan

Mungkin hidup kita harus dijalankan dengan mematuhi pakem yang ada, tetapi apakah kita salah jika merevisi atau bahkan menyatirkannya? 

Judul Film: Pulp Fiction
Tahun: 1994
Sutradara: Quentin Tarantino
Genre: Crime/Drama

Uncomfortable silences. Why do we feel it’s necessary to talk about bullshit in order to be comfortable?” tanya Mia (Uma Thurman) kepada Vincent (John Travolta).  

Pulp Fiction, sebuah film yang banyak dipuji oleh para kritikus pada masanya karena berani membawa suatu ketidakbiasaan pada jajaran film Hollywood.

Tidak hanya itu, Quentin Tarantino yang masih berumur 30 tahun kala itu dipuji karena mampu menampilkan sebuah film berdurasi 2 jam 58 menit tanpa membuat penonton bosan. Hal tersebut ditunjang dari hasil dialog para tokohnya yang ia tulis bersama dengan Roger Avary.

Film ini memiliki tiga cerita utama, dimana banyak prolog dan epilog yang terselip didalamnya.
Tahun 1970-2000, masyarakat disuguhi banyak film crime oleh Hollywood yang bertemakan “Anak buah bos besar mafia diutus membunuh musuh atau mitra bisnisnya”.

Tidak luput juga pada film yang digarap oleh Quentin Tarantino ini. Dimana Vincent Vega (John Travolta) dan Jules Winnfield (Samuel L. Jackson) yang diutus oleh bosnya, Marsellus Wallace (Ving Rhames) untuk membunuh Brett, mantan rekan bisnisnya.

Disinilah kita mulai melihat keanehan ataupun kesatiran yang diperlihatkan oleh Tarantino untuk para penikmat Hollywood’s Crime ketika di semua film Hollywood, mafia digambarkan sebagai sosok yang bengis dan handal dalam membunuh orang, tapi tidak dengan Jules dan Vincent.

Mereka membunuh dengan cara yang tidak lazim, dimana kita bisa menemukan seorang pembunuh  yang mendiskusikan sarapan kita lalu malah mencicipinya sebelum benar-benar membunuh kita?

Banyak sekali hal-hal yang menyalahi pakem sebuah film mafia Hollywood pada Pulp Fiction ini ditampilkan.

Seperti, ketika kita dibiasakan melihat anak buah yang meniduri istri bosnya ketika disuruh untuk menemani makan malam, tapi Vincent disini mencoba untuk membuktikan dirinya seorang loyalis yang tidak akan mengkhianati bosnya.

Disaat Vincent pusing memikirkan bagaimana cara pulang, Mia (Uma Thurman) istri Mr. Wallace malah terkapar terkena overdosis dari ganja yang dibawa oleh Vincent. Di malam yang diharapkan penonton menjadi malam yang panas, malah menjadi malam konyol ketika kita melihat proses untuk menghindari kematian Mia.

Sindiran juga tak luput dari Pulp Fiction, sindiran itu muncul di bagian cerita kedua pada saat Mr. Wallace berpapasan dengan rekan bisnisnya yang kabur dengan uangnya, Butch (Bruce Willis) dimana kejar-kejaran dan tembak-tembakan berakhir di toko barang bekas. Si pemilik menangkap keduanya yang sama-sama hampir sekarat dan memanggil polisi.

Disinilah kita ditampar lagi oleh Tarantino, dimana biasanya kita disuguhkan dengan penangkapan bos besar mafia yang heboh, tapi Mr. Wallace dan Butch malah dibawa ke basemen toko yang sunyi.

Di sana hanya terdapat sebuah kurungan dan alat siksaan. Ternyata diketahui bahwa si pemilik toko dan polisi adalah gay yang menyimpan seorang pemuas nafsunya di dalam sana, Mr. Wallace pun sempat digagahi oleh polisinya.

Di film inilah kita disadarkan, bahwasanya dengan merevisi sebuah pakem bukanlah sebuah kesalahan. Terbukti Tarantino bisa menghasilkan 213jt USD dari hanya 8,5 juta USD.

Pada awal film kita akan melihat definisi dari sebuah kata Pulp, yang berarti soft, moist, shapeless mass of matter. Kita bisa artikan Pulp sebagai sesuatu yang tidak memiliki bentuk utuh dan cair seperti bubur.

Sebagai pemahaman bahwa film ini akan tidak akan memiliki bentuk karena semua idenya yang melebur seperti bubur. Quentin Tarantino dengan semangat muda post-mo-nya dan alur nonlinear-nya Pulp Fiction seperti berbicara bahwa kita terkadang perlu untuk meleburkan sebuah pakem dan mulai merubah suatu hal yang menjadi pegangan zona aman kita.

*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris 2016

Comment here