Opini

April, Kartini, dan Perempuan

[Perempuan Bebas. Ilustrator BP2M/ Lala Nilawanti]
Oleh Anisya Gusti Amanda

Di zaman modern ini, wanita telah  memperoleh kebebasan untuk mengenyam pendidikan sampai jenjang setinggi-tingginya. Bahkan sebagian besar dari mereka telah membuktikan bahwa mereka mampu sukses berkarier dan bisa terjun di tengah masyarakat.

Di kota-kota besar pun karier cemerlang menjadi impian setiap wanita masa kini. Rasanya sudah biasa melihat wanita melanjutkan pendidikan hingga ke luar negeri, memiliki kedudukan di pemerintahan, dan bekerja dari pagi hingga malam hari.

Ruang publik kini telah menjadi wadah berekspresi. Maka tidak asing lagi saat menemukan seorang wanita bekerja sebagai pelukis, pemahat, fotografer maupun jurnalis. Bisa dikatakan, perempuan telah memiliki ranah yang sama dengan laki-laki dalam mengembangkan kariernya.

Baca Juga: Menjadi Perempuan, Cukup Itu Saja !

April 2018 ini telah mengukir banyak cerita tentang perempuan. Bicara soal perempuan memang tidak ada habisnya. Perempuan selalu punya kisah dan cerita. Selalu menarik untuk disimak dan eja. April kali ini melahirkan generasi lanjutan perjuangan perempuan.

Sejarah pernah merekam bahwa perempuan pernah dianggap pihak yang lemah dibanding laki-laki. Hingga lahirlah emansipasi untuk perempuan.

Berbicara emansipasi, tentu kita akan mengingat jasa Kartini. Pahlawan wanita itu memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti kaum laki-laki di masa penjajahan dulu.

Dalam bukunya, Door Duisternis tot Licht:Habis Gelap Terbitlah Terang (1911), Mr. J.H Abendanon menuliskan, tradisi jawa dan anggapan yang masih kolot tentang kedudukan perempuan membuat Kartini merasa terkekang.

Dulu kedudukan laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan sehingga kaum laki-laki lebih diutamakan. Ia juga merasa bahwa pendidikan kaum perempuan masih terbelakang. Berasal dari sinilah Kartini ingin kaum perempuan memiliki hak-hak yang sama dan dipandang sebagai manusia seutuhnya.

Ironisnya, sampai saat ini pun keyakinan-keyakinan seperti di era Kartini masih dapat dijumpai di wilayah-wilayah tertentu. Mereka masih menganut pemikiran dan memiliki kultur yang sama. Hal tersebut dapat menghambat kemajuan dan pendidikan bangsa.

Baca Juga: Lingkaran Karma Perempuan Poliandris Drupadi

Selain emansipasi, kita juga mengenal istilah Feminisme. Feminisme merupakan ideologi yang menuntut kesetaraan gender pada wanita di tengah sistem patriarki. Istilah ini dikenal sejak 1895, namun gerakan ini berkembang di abad pertengahan Eropa, yakni pada abad ke-18.

Awalnya, feminisme diperjuangkan untuk menyetarakan hak-hak perempuan agar sama dengan laki-laki di lingkungan sosial. Akan tetapi, gerakan tersebut sekarang telah mengalami sedikit pergeseran.

Jika dulu Kartini berusaha menyuarakan emansipasi untuk mendobrak kekakuan adat istiadat dan persepsi masyarakat mengenai perempuan, kini tak jarang Feminisme dijadikan sebagai senjata untuk mensejajarkan derajat perempuan guna menggantikan posisi dan tanggung jawab laki-laki. Bahkan sering kali menanggalkan kodrat perempuan itu sendiri.

Baca Juga: Letak Feminisme Perempuan

Sejatinya, kodrat perempuan dan laki-laki memang berbeda. Jika laki-laki berkewajiban mencari nafkah, maka perempuan tidak diwajibkan untuk itu. Memang betul Kartini memperjuangkan pendidikan para perempuan Indonesia agar memiliki ilmu pengetahuan yang dapat disalurkan kepada masyarakat. Namun bukan berarti perempuan melupakan jati dirinya sebagai ibu yang kelak akan mempersiapkan masa depan bangsa lewat didikannya.

Di tengah era modern dan meningkatnya tuntutan hidup, sedikit demi sedikit perempuan bisa saja menggeser fungsi seorang laki-laki di dalam keluarga. Padahal seharusnya emansipasi tidak ditujukan untuk menggantikan posisi masing-masing, melainkan untuk saling melengkapi dan bersinergi menciptakan kesetaraan tanpa adanya diskriminasi.

Baca Juga: Hikmat Anak Perempuan Zaman

 

Mahasiswa Jurusan Akuntansi 2016
Universitas Negeri Semarang 

Comment here