Gazebo

Peka

Sedih karena tidak bisa maan daging di perayaan Idhul Adha. [Ilustrator/ BP2M Lala Nilawanti]
Oleh Teguh  Waluyo
 
Kemarin Rabu
(22/8) kita umat muslim Indonesia memperingati salah satu hari raya dalam Agama
Islam, yaitu iduladha. Jadi gini, dalam
peringatan iduladha, kaum muslim lazimnya melaksanakan salat Idul Adha.
Setelah salat, biasanya dilanjutkan dengan ritual pembantaian terhadap hewan
yang layak dibantai. Hewan yang dibantai, biasanya berupa kambing, domba, dan
sapi. Itulah hewan-hewan yang pernah saya lihat dalam pembantaian yang disebut
dengan ibadah kurban. Nantinya daging dari mereka dibagikan kepada masyarakat
untuk dikonsumsi.
Kata khotib saat
salat iduladha, ibadah kurban dilaksanakan untuk memperingati kisah ketaatan
nabi Ismail dan nabi Ibrahim atas perintah Tuhan. Nabi Ibrahim diperintah Tuhan
untuk menyembelih putranya, nabi ismail. Pada akhirnya, nabi Ibrahim dan nabi Ismail dengan taat melaksakan perintah tersebut.
Pada saat
senjata yang digunakan untuk menyembelih itu menempel di leher, Allah mengganti
nabi Ismail dengan seekor domba. Dalam pandangan saya, bisa juga perayaan qurban
dianggap sebagai sarana merawat ingatan terhadap jasa stuntman nabi Ismail.
Ibadah kurban
merupakan jalan mewujudkan ketaatan kepada sang pencipta. Ibadah ini bukan
semata ritus antara hamba dengan Tuhan. Melainkan ada dimensi sosial di
dalamnya, yakni lantaran adanya hewan sembelihan. Hewan yang disembelih
kemudian dibagikan kepada masyarakat agar dikonsumsi. Pahala dari tuhan untuk yang berkurban dapat memberi
tambahan gizi kepada masyarakat sekitar juga iya. Itulah istimewanya ibadah kurban.
Target dari
ibadah ini adalah orang-orang yang dianggap mampu, dalam artian sudah
berkecupan dalam bidang ekonomi.
Kalau bagi saya, orang mampu ini cukup dalam mencukupi kebutuhan pokok,
sekunder, dan tersier. Bisa dibilang mampu membeli hewan kurban dengan uang
halal tanpa utang. Agar lebih valid, besok-besok saya akan  tanya guru ngaji, siapa sih yang dianggap
mampu dalam ibadah ini kalo dilihat dari hukum fikih.
Kalo boleh
berpendapat, ada nilai sosial yang dapat diambil dari ibadah kurban. Ibadah ini
semacam sinyal dari tuhan kepada hambanya. Sinyal agar hambanya belajar
merelakan sesuatu yang dicintai untuk diberikan kepada orang liyan. Kemudian, peduli
dan tidak abai terhadap keadaan sekitar. Peka
gitu lho
.
Pasti juga pada
tahu, katanya harga kebutuhan pokok termasuk daging itu sedang naik. Ada emak-emak yang curhat sampai menangis
berharap, dapurnya tetap mengepul. Agaknya agama hadir dalam menjawab persoalan
semacam ini, yakni menyuruh hamba yang memiliki kemampuan lebih untuk
menyembelih hewan kurban.
Kalo peka, pasti
berkurban. Setidaknya hal itu membuat
masyarakat bisa merasakan makan daging kambing dan sapi gratis di tengah
tingginya harga daging dan rendahnya konsumsi protein hewani masyarakat kita. Momentum hari
raya kurban merupakan momentum belajar peka kepada sekitar. Baik yang berkurban
atau yang menerima daging kurban. Saya kira letak dimana kepekaan yang
berkurban sudah jelas. Jadi tak perlu dijelaskan lagi, tinggal belajar kepekaan
dari sisi orang yang menerima saja.
Sebagai penerima
daging kurban musti sadar, bahwa belum tentu semua orang menerima daging juga. Bisa
saja ada tetangga atau teman indekos yang tidak dapat, entah karena kekurangan
daging atau panitianya kelupaan. Jadi, jika dapat daging yang jangan lupa tanya
ke sekitar, sudah dapat apa belum. Kalau belum dapat ya diajak masak bareng dan
dimakan bareng. Jangan diem-diem bae.
Jangan sampai di
hari raya kurban yang akan datang kita mendapati curhatan seperti ini. “Memang
di luar sana manusia-manusia sedang berbahagia dengan daging kurban. Jangan sangka!
Sekedar bau sedap masaknya pun tak sampai padaku.”
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik
Universitas Negeri Semarang

 

Comment here