Uncategorized

Obrolan Soal Cagar Budaya Watu Lumpang

Keberadaan Watu Lumpang di Desa Gedanganak. [Doc. Bp2M/Lala Nilawanti]

Cahaya matahari sore itu masih menyengat saat kami melakukan perjalanan ke Desa Gedanganak, Kamis (27/9). Untung saja lalu lintas jalan tidak buruk. Dalam waktu kurang dari setengah jam, kami sudah sampai di desa yang terletak di pojok timur Kota Ungaran itu.

Bersama dengan Kormades Kuliah Kerja Nyata (KKN) Alternatif II A Universitas Negeri Semarang (Unnes), kami tim linikampus.com  diajak masuk ke dalam desa melewati jalan dengan banyak polisi tidur. Kami berhenti di dekat sebuah toko di kiri jalan.

“Inilah tempatnya,” kata sang Kormades, Muhammad Saputra  sambil menunjuk batu besar yang dikelilingi pagar hitam . Saya ingin segera mendekat, namun seorang lelaki berkaos biru yang mengendarai motor hitam tua menghampiri kami. Dia adalah seorang pencinta sejarah dan pengamat situs-situs purba. Namanya Eko Budiono.

Setelah berjabat tangan dan saling berkenalan, kami berempat berdiri mengelilingi pagar dan memulai obrolan mengenai sebongkah batu dengan diameter 120 cm. Batu tersebut bernama Watu Lumpang.

Meski fungsi batu tersebut belum bisa diidentifikasi secara pasti di meja ilmiah, menurut Eko Budiono Watu Lumpang memiliki banyak ragam kegunaan. Pertama, Watu Lumpang berfungsi sebagai alat penumbuk padi. Kedua, ia berguna sebagai penanda tanah kerajaan—yang sekaligus jadi tanda munculnya peradaban baru. Ketiga, Watu Lumpang merupakan medium pemujaan Dewi Sri sang dewi kesuburan.

Eko Budiono menambahkan jika ada banyak cerita unik berbau mistis di balik Watu Lumpang. Dulu, jika ada air yang menggenang di Watu Lumpang, maka itu pertanda bahwa hasil panen akan baik. Sebaliknya, jika air di Watu Lumpah berwarna keruh, maka para petani akan menuai panen yang kurang memuaskan. Namun yang jelas, berdasarkan mitos di masyarakat, Watu Lumpang merupakan tanda kesuburan sebuah daerah.

Jika diperhatikan, Watu Lumpang tersebut memiliki tinggi antar sisi yang berdeda. Ada yang lebih cekung atau lebih menonjol bagian sisinya. “Yang unik lagi dari Watu Lumpang adalah ukurannya yang tak pernah ganjil, selalu genap. Jika ada yang ganjil, maka bisa dipastikan itu sebagian telah hancur atau aus,” ujar Budi.

Dengan begitu meyakinkan, pria yang tergabung dalam komunitas Kandang Kebo di Yogyakarta  itu kembali bercerita bahwa dulu, Watu Lumpang tersebut pernah dibuang di Muntilan. Namun saat sang pembuang belum sampai di rumah, batu tersebut sudah berada di tempat semula. Seolah ada kekuatan magis yang bersemayam di dalamnya.

Keberadaan Watu Lumpang di Desa Gedanganak ini sebenarnya sudah diketahui sejak lama. Namun karena warga yang cenderung tak acuh dan sulit untuk diyakinkan, pembuatan cagar budaya baru dibuat ketika ada Mahasiswa KKN Unnes. Pagar hitam tersebut dibuat untuk melestarikan cagar budaya.

Muhammad Saputra atau yang akrab dipanggil Cituk bersama teman-teman KKN lainnya mendapat informasi awal soal Watu Lumpang tersebut melalui tautan www.sasadaramk.blogspot.com .Tepat pada tanggal 14 September 2018 lalu Watu Lumpang tersebut diresmikan oleh mahasiswa KKN Unnes sebagai cagar budaya Watu Lumpang kelurahan Gedanganak. Pagar Hitam tersebut dibuat agar Watu Lumpang tersebut diakui keberadaannya dalam masyarakat dan menambah kepedulian masyarakat pada warisan budaya bangsa.

Menurut Cituk, proses pembuatan cagar budaya tersebut tidaklah mudah. Selain harus mendapatkan izin dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, mereka juga harus mendapatkan izin dari “si empunya” batu. “Sebelum mendirikan cagar budaya ini, kami puasa mutih selama sehari,” kata Cituk sambil tersenyum. Pada awalnya, posisi batu tersebut terbalik. Dibutuhkan tenaga dari lima orang untuk membuat batu tersebut dalam posisi yang benar.

Sebenarnya masih ada dua Watu Lumpang lain di desa ini. Sayang, dua batu tersebut berada di bawah rumah penduduk sehingga tidak bisa dibongkar. Budi menambahkan kalau di Gedunganak, masih ada peninggalan sejarah lain bernama Yoni, yakni sebuah batu berbentuk jajar genjang yang biasanya berada di dalam sebuah candi. Namun, sampai saat ini Yoni belum digali. Lagi-lagi karena kurang pedulinya warga terhadap peninggalan sejarah.

Di akhir perbincangan, Budi mengutarakan keinginannya agar warga aktif merawat peninggalan sejarah. Dia juga berharap agar cagar budaya seperti ini bisa dijadikan edukasi bagi masyarakat.

[Abu, Lala]

Comment here