Semuanya Air, Tiada Tempat Untuk Berpijak
Gazebo Opini Ulasan

Semuanya Air, Tiada Tempat Untuk Berpijak

Ilustrasi Semua Air Tidak ada Tempat untuk Berpijak

Oleh Alisa Qottrun N.M

Hoam…,” aku menguap lebar-lebar di atas kasur. Lalu mencoba bangkit dan memposisikan diri untuk duduk. Sorot mataku mengedar, melihat sekeliling kamarku yang dipenuhi genangan air. Beruntung kasurku tidak langsung bersentuhan dengan lantai, terdapat dipan sebagai penyangga kasur. Aku mulai turun dari dipan mengenakan sepatu booth menuju kamar mandi. Ketika berjalan yang terlihat hanya air. Depan, belakang, samping kanan dan kiri semuanya air.

Sepertinya sekarang, bukan hanya minyak yang bermusuhan dengan air tetapi juga aku dan mungkin beberapa tetanggaku. Bagaimana tidak air yang melimpah ruah hasil dari air kiriman laut (baca: rob) dadakan kini menghambat semua aktivitas—namun tidak dengan ‘aktivitas memikirkanmu’ yang kini sudah bersamanya. Hiks. Betapa malangnya nasibku ini, pagi-pagi melihat air di mana-mana ditambah air mata yang mulai mengalir, akibat kenangan-kenangan dari makhluk bernama ‘mantan’ muncul satu persatu.

Banjir rob ini selalu datang tiap tahunnya. Rajin sekali memang! Tidak pernah absen sekali pun. Dapat dikata, jika banjir rob sedang nakal, maka ia akan menggiring air laut besar-besar ke pemukiman. Namun, jika ia sedang baik maka tetap saja mengirimkan air laut ke pemukiman tapi dengan intensitas yang rendah.

Pemandangan yang kerap kali terjadi, namun kurang diperhatikan ialah transportasi. Jika banjir rob datang maka tamatlah riwayat dunia perangkotan. Sopir angkot akan menurunkan penumpang di tempat jauh kira-kira satu kilometer dari perbatasan antara daratan dan genangan air rob. Kerap kali, beberapa penumpang akan kelabakan mencari tumpangan untuk pulang ke rumah. Jika becak tidak ada atau pesepeda motor tidak ada yang mau ditumpangi maka bersiaplah jalan kaki sampai rumah.

Solusinya, iika tidak mau berjalan melewati lautan air rob maka harus berjalan melewati jalan kampung yang sudah lumayan tinggi. Kemudian naik perahu khusus untuk menyeberang, sebut saja nambang. Nambang ini menjadi ‘jalan ninja’ agar tidak terlalu lama melewati banjir rob.

Tidak terlepas dari itu, banjir rob juga menjadi perbincangan hangat bagi ibu-ibu di angkot. Mereka akan mengobrol tentang seberapa tinggi banjir rob masuk rumah mereka. Tentu dengan gaya ibu-ibu yang khas. Pernah suatu ketika aku menaiki angkot, seorang ibu yang duduk di dekat pintu angkot berujar pada ibu-ibu di depannya, “ini lho Yu, banjir rob masuk rumahku sampai betis. Lha rumah sampeyan seberapa?”. Dan setelahnya, ibu-ibu lain menanggapainya tak kalah heboh. Duh.

Perlu diingat satu-satunya tempat kering di tengah lautan dadakan ini adalah jalan kampung. Jalan kampung juga berarti jalan raya tetapi berada di area pekampungan. Jalan tersebut sengaja dibuat tinggi-tinggi agar lalu lintas tidak terhalang oleh banjir rob. Karena jalan yang tinggi maka air rob akan lari masuk ke rumah-rumah penduduk.

Untuk mensiasati keadaan ini warga melakukan perlombaan meskipun tidak direncanakan. Atau boleh dikatakan perlombaan ini terjadi secara alami tanpa setting-an. Tidak seperti acara setting-an alay di televisi. Perlombaan ini diikuti hampir seluruh masyarakat yang terdampak banjir rob dari yang maksimum sampai yang minimum ketinggiannya. Apalagi kalau bukan tinggi-tinggian bangunan rumah.

Semakin tinggi taraf ekonomi, maka peluang menang akan semakin banyak. Berbeda jika taraf ekonominya tergolong rendah,  maka akan semakin terendam banjir rob dan bersiap mencari hunian baru yang lebih aman. Adil tidak adil memang, hukum rimba secara tidak langsung berlaku di sini. Eits, tidak sekadar antara bangunan rumah dan gedung lain yang berlomba tapi juga jalan. Jika rumah-rumah telah tinggi maka jalan harus bersiap untuk meninggikan derajatnya. Jangan harap pertarungan sengit memperebutkan kedudukan tertinggi antara rumah, jalan, dan bangunan lain akan berkakhir dalam waktu singkat.

“Tidak semudah itu, Ferguso,” kataku pada peserta perlombaan.

Sebenarnya ada cara ‘ajaib’ untuk setidaknya mengontrol air laut yang mengaliri pemukiman. Tidak usah menggunakan kekuatan peri air untuk mengendalikannya, apalagi mempekerjakan Katara—teman Avatar. Cukup dengan membangun bendungan, lalu mengatur air yang mengalir agar tidak terlalu besar debitnya. Dengan begitu air akan sedikit terkendali, sehingga banjir rob tidak akan teramat tinggi.

Sebenarnya, pemerintah sudah nampak memberikan upaya untuk meminimalisir banjir rob. Terlihat bahwa pemerintah menancapkan beton-beton besar di sepanjang pinggiran sungai, terutama di daerah yang rawan terkena banjir rob. Namun, beton itu hanya ditancapkan berderet, dan belum ada tindak lanjut. Terkesan tidak jelas. Seperti hubungan antara aku dan kamu, ya! Tidak ada kejelasan.

Bendungan tetaplah bendungan. Tidak seperti gengsi manusia yang terus meninggi meskipun sudah dibendung. Aih, susah sekali kalau membicarakan tentang gengsi manusia yang tinggi sekali—melebihi tingginya harapanku padamu. Cih. Terlebih tentang keestetikan instastory merelakan uang jatah bulanan untuk pergi ke Starbucks seminggu sekali. Setelah itu, makan pakai indomie goreng tiap-tiap hari, owalah jancuk!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *