Perempuan dan Belenggu Tradisi
Resensi Ulasan

Perempuan dan Belenggu Tradisi

Oleh: Laili Ayu Ramadhani*

Judul buku                   : Habis Gelap Terbitlah Terang

Penulis                         : Armijn Pane (penerjemah)

Penerbit                       : Balai Pustaka

Tahun Terbit                : 2005

Genre                          : Biografi

Istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang” selalu identik dengan figur R. A. Kartini. Tokoh kelahiran Jepara ini menjadi salah satu pahlawan yang memperjuangkan hak perempuan di tanah air. Tak lengkap rasanya, jika membahas perempuan dan emansipasi tanpa menyinggung sosok satu ini. Tak dapat diragukan lagi, kontribusi Kartini dalam mengangkat derajat perempuan, khususnya perempuan di daerahnya terbilang besar. Mulai dari memperjuangkan pendidikan untuk perempuan pribumi—baik ke pemerintah setempat maupun ke luar negeri, sampai mendirikan sekolah khusus perempuan.

Dengan banyaknya pengorbanan yang dilakukan, tak ayal jika beberapa orang ingin mengabadikan perjuangan Kartini, salah satunya melalui buku. Dari sekian banyak buku yang menceritakan sosok Kartini, Buku Habis Gelap Terbitlah Terang garapan Armijn Pane menjadi salah satu yang paling ikonis. Sejatinya, buku ini merupakan terjemahan dari Door Duisternis tot Licth yang terlebih dulu dirilis oleh J. H. Abendanon di Belanda. Isinya dirangkai berdasarkan surat-surat yang ditulis Kartini untuk beberapa sahabatnya di Negeri Kincir Angin tersebut.

Sejak kecil, Kartini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Ditambah kepekaannya terhadap lingkungan sekitar, membuatnya sadar bahwa perempuan pribumi mengalami ketertinggalan. Saat itu, perempuan Indonesia nyaris tidak punya hak untuk mengenyam pendidikan. Seakan tak diberi hak untuk mempunyai mimpi dan mewujudkannya. Kehidupan perempuan sekadar berkutat pada pekerjaan rumah tangga semata. Hanya perempuan dari keluarga ningrat, yang diberi kesempatan untuk mencicipi bangku sekolah. Itu pun hanya sesaat, sebelum akhirnya kembali menjalani rentetan tradisi yang berlaku.

Kartini juga menyadari adanya perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kaum adam selalu diprioritaskan dalam banyak hal, terutama pendidikan. Menurut Kartini, perempuan juga berhak untuk mendapat pengajaran. Ia bertekad merombak tradisi yang mengekang dan merendahkan kaum perempuan. Tentu saja usahanya mendapat banyak kecaman. Tak sedikit orang yang menganggap bahwa tindakan Kartini menyalahi adat. Meskipun demikian, Kartini tak patah arang.

“Kita harus membuat sejarah. Kita mesti menentukan masa depan Kita yang sesuai keperluan Kita sebagai kaum wanita dan harus mendapat pendidikan yang cukup seperti halnya kaum laki-laki” Kutipan itu menjadi tekad Kartini untuk merombak status sosial perempuan pribumi dan menjadi tonggak emansipasi di tanah air.

Belenggu Kultural pada Perempuan

Pekerjaan rumah selalu identik dengan perempuan. Bahkan, anggapan itu sudah melekat sejak dulu dan lama-kelamaan menjadi sebuah adat. Hal itu seolah-olah menjadikan tugas perempuan hanya berkutat pada dapur, kasur, dan sumur.  Perempuan dianggap tidak kompeten untuk berkarir dan dirasa tidak pantas untuk mengenyam bangku pendidikan. Lagi-lagi, hakikat perempuan berada di rumah menjadi alasannya.

Kontruksi sosiologis masyarakat Indonesia di masa lampau masih berpegang erat pada adat istiadat, terutama masyarakat Jawa. Menurut kultur yang turun-temurun diwariskan, perempuan tidak diperbolehkan untuk sekolah, bekerja di luar rumah, dan menduduki jabatan di masyarakat. Tak hanya itu, perempuan Jawa juga mesti menjalani masa pingitan. Tradisi ini mengharuskan perempuan untuk berdiam diri di rumah sampai ada seseorang yang melamar mereka. Kartini juga melakoni pingitan ketika usianya menginjak remaja. Karena pingitan inilah yang menyebabkan ia tidak bisa melanjutkan sekolah. Jangankan untuk bersekolah, untuk ke serampi pun dilarang. “Berlalu sudah! Masa muda yang indah sudah berlalu!” tulis Kartini di salah satu suratnya untuk Rosa Manuela Abendanon.

Tak hanya pingitan, perempuan juga harus berjalan jongkok, berbicara lirih, dan rentetan adat lainnya. Tak jarang, tradisi tersebut justru membebani dan menghambat kemajuan perempuan. Impian yang dimiliki perempuan seakan dibabat habis oleh tradisi. Jangankan untuk mewujudkan mimpi, baca-tulis saja tak dikuasai. Perempuan zaman dulu terlalu takut untuk menentang hal-hal yang dianggap lazim di lingkungannya. Lebih-lebih untuk perempuan dari golongan rakyat biasa. Mereka semakin tak diberdayai oleh adat.

Ilustrasi Habis Gelap Terbitlah Terang. [BP2M/Amiliabdi]
Ideologi Patriarki dalam Kebudayaan

Emansipasi yang dilakukan oleh Kartini, tak lain dan tak bukan disebabkan karena banyaknya tradisi yang melemahkan perempuan. Tradisi yang diterapkan sedemikian rupa seolah membagi peran antara laki-laki dan perempuan. Peran publik yang dimainkan oleh laki-laki, membuat kedudukannya menjadi superior. Sedangkan perempuan selalu mendapat posisi sebaliknya, yang hanya sebagai pemangku peran domestik. Karena berperan superior, sebagian laki-laki memandang rendah status perempuan. Ditambah warisan budaya dalam masyarakat, sering memposisikan perempuan sebagai pelengkap semata. Pemikiran-pemikiran dangkal inilah yang menyuburkan ideologi patriarki.

Di buku ini juga menunjukkan salah satu sisi patriarki yang ada di kebudayaan Jawa kala itu. Hal tersebut diperlihatkan ketika Kartini tidak bisa melanjutkan pendidikan karena menjalani pingitan. Ayah Kartini dengan tegas melarangnya untuk melanjutkan pendidikan, sekalipun Kartini mendapat beasiswa. Alih-alih memberi izin, sang ayah justru berusaha menggagalkan niat Kartini untuk bersekolah dengan cara menjodohkannya.

Berbanding terbalik dengan kakaknya, Sastrokartono. Karena terlahir menjadi laki-laki, Sastrokartono memiliki kebebasan mengenyam pendidikan. Bahkan, ia bisa kuliah di Universitas Leiden, Belanda. Sebagai laki-laki, Sastrokartono tidak perlu menjalani pingitan seperti halnya Kartini. Berkat mengenyam pendidikan yang cukup, Sastrokartono tumbuh menjadi orang yang jenius. Ia menguasai 35 bahasa dan dijuluki Si Jenius dari Timur.

Hal tersebut yang memunculkan jiwa emansipasi dalam diri Kartini. Menurut Kartini, perempuan juga bisa menjadi sosok yang kompeten apabila mendapat akses pendidikan yang cukup. Tak hanya itu, Kartini juga mendambakan perempuan pribumi yang terbebas dari kekolotan tradisi serta keterbelakangan pendidikan. Bagaimanapun juga, kaum perempuan berhak atas pendidikan dan mimpi mereka.

Perempuan di Era Modern

Perlahan-lahan, cita-cita Kartini mulai terwujud. Banyak pihak menyadari perlunya emansipasi perempuan. Saat ini, perempuan sudah diperbolehkan untuk bersekolah, bahkan sampai ke luar negeri. Tak hanya itu, perempuan juga diberikan akses untuk menduduki posisi publik. Pekerjaan yang identik dengan laki-laki, seperti presiden, kepala daerah, polisi, dan sebagainya, sekarang juga bisa dijabat oleh perempuan. Jalan perempuan untuk memiliki mimpi dan mewujudkannya sudah terbuka.

Meskipun demikian, beberapa perempuan malah merefleksikan gagasan Kartini dengan salah. Mereka justru berusaha menyaingi laki-laki dalam berbagai hal. Terkadang, hal itu menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Perlu digarisbawahi, emansipasi yang dimaksud Kartini lebih kepada kerja sama dengan laki-laki sesuai tanggung jawab tanpa ada pandangan gender dan strata sosial. Sekali lagi ditekankan bahwa kesetaraan gender pada perempuan, tak lantas membuat kodrat antara perempuan dan laki-laki menjadi sama. Sejatinya, emansipasi bertujuan membantu perempuan untuk mendapat haknya, tanpa melupakan kewajiban dan kodratnya.

*Mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia 2019, Unnes.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *