Problematika Pemberian Gelar Doktor Honoris Causa
Berita Kabar

Problematika Pemberian Gelar Doktor Honoris Causa

Ilustrasi Doktor Honoris Causa [BP2M/Hasnah]

Universitas Negeri Semarang belum lama ini menganugerahkan gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa (HC) kepada dua tokoh nasional, Muhammad Luthfi bin Yahya pada Senin (9/11) dan Airlangga Hartarto pada Rabu (23/12). Dua penganugerahan tersebut dilakukan berturut-turut dalam selang waktu yang tak lama.

Menurut Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016, gelar honoris causa merupakan suatu gelar kehormatan yang diberikan oleh perguruan tinggi kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan.

Tidak semua perguruan tinggi atau universitas dapat memberikan gelar doktor honoris causa. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh perguruan tinggi sebelum memberikan gelar tersebut.

“Syaratnya PT (perguruan tinggi) memiliki program doktor dengan peringkat terakreditasi A atau unggul,” ujar Nizam, Dirjen Dikti melalui pesan singkat WhatsApp (25/12).

Ia juga menambahkan bahwa tata cara pemberian gelar HC diatur oleh masing-masing perguruan tinggi. Hal tersebut merupakan bagian dari otonomi akademik perguruan tinggi.

Syarat lainnya, antara lain perguruan tinggi yang bersangkutan pernah menghasilkan sarjana dengan gelar ilmiah doktor, memiliki fakultas atau jurusan yang membina dan mengembangkan bidang ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan bidang ilmu pengetahuan yang menjadi ruang lingkup jasa dan atau karya bagi pemberian gelar, dan memiliki guru besar tetap sekurang-kurangnya tiga orang dalam bidang yang dimaksud.

Pendapat Pengamat terkait Tujuan Pemberian Gelar Doktor HC

Menurut Herlambang P. Wiratraman, Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, pemberian gelar HC adalah hal biasa dalam dunia perguruan tinggi. Ia mengungkapkan bahwa alasan pemberian gelar itu seringkali didorong oleh alasan-alasan yang tidak ada hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

“Tentu alasan-alasan bisa dicari yang menunjukkan seolah-olah pemberian gelar itu punya relevansi dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai peristiwa yang bersifat publik menjadi hak publik untuk kemudian menilai sejauh mana pemberian gelar itu punya relevansi dengan dunia ilmu pengetahuan atau sesungguhnya didasari oleh kepentingan lain,” tutur Herlambang dalam pesan singkat WhatsApp (24/12).

Ia juga menambahkan bahwa sains dan institusionalisasi sains tak lepas dari kepentingan politik, sehingga pemberian gelar HC sangat mungkin terkait dengan relasi kuasa politiknya.

“Hal yang jamak di manapun,” sambungnya.

Dalam Opini Kompas yang berjudul “Menjaga Kebebasan Akademik” (21/12), Herlambang juga menuliskan bahwa adanya obral gelar HC kepada para politisi dilakukan untuk mengeruk keuntungan ekonomi-politik para elite kampusnya.

Dikutip dari Geotimes.co.id, Abdil Mughis Mudhoffir, Dosen Departemen Sosiologi UNJ melihat bahwa campur tangan negara yang berlebihan dalam pengelolaan perguruan tinggi negeri memperparah budaya akademis yang sangat birokratis. Situasi ini mendorong para akademisi berorientasi untuk berlomba mengejar jabatan bahkan posisi struktural di luar kampus. Ini di antaranya dilakukan dengan memberi kemudahan kepada pejabat publik atau politisi menempuh studi atau dengan memberi gelar kehormatan di perguruan tinggi.

Sementara itu, Edi Subkhan, pengamat pendidikan mengatakan bahwa pemberian gelar HC dapat menaikkan citra kampus.

“Pemberian gelar HC oleh Unnes memiliki pengaruh seperti menaikkan citra kampus karena pemberian gelar ini diberikan kepada tokoh nasional,” ujarnya (24/12).

Terkait keuntungan jika menganugerahkan gelar kehormatan, Dirjen Dikti, Nizam mengatakan bahwa masyarakat kampus sendiri lah yang dapat menilai.

“Apakah untuk pengembangan keilmuan, memperluas jejaring, meningkatkan reputasi, atau apa saja yang menjadi nilai perguruan tinggi tersebut pada akhirnya masyarakat yang akan menilai, masyarakat perguruan tinggi itu sendiri, masyarakat akademis secara luas, dan masyarakat umum,” tuturnya.

Tokoh yang Dianugerahi Gelar HC

Selama sepuluh tahun terakhir, Unnes telah memberikan gelar HC kepada empat tokoh nasional. Pada 2012, Unnes memberikan gelar kehormatan tersebut kepada Agung Laksono. Ia menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada masa itu.

Dikutip dari Detik.com, promotor acara, Maman Rachman mengatakan pemberian gelar di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia tersebut karena Agung merupakan politikus, negarawan, ilmuwan, dan tidak terlibat perdata ataupun korupsi.

Kemudian pada 2013, dengan masa kepemimpinan rektor yang masih sama yakni Sudijono Sastroatmodjo, Unnes kembali menganugerahkan gelar kehormatan bidang SDM kepada politisi Zulkifli Hasan yang merupakan Menteri Kehutanan pada saat itu.

Selanjutnya, setelah tujuh tahun tidak menganugerahkan gelar kehormatan, di masa kepemimpinan Fathur Rokhman pada 2020, Unnes kembali menganugerahkan gelar HC kepada tokoh agama dan politisi. Waktu pemberian gelar HC kepada dua tokoh itupun tidak berselang lama, hanya satu bulan. Habib Luthfi dianugerahi gelar kehormatan Ilmu Pendidikan Bahasa Bidang Komunikasi Dakwah dan Sejarah Kebangsaan pada 9 November lalu. Gelar doktor kehormatan tersebut diberikan kepada Habib Luthfi dengan alasan bahwa ulama tersebut dinilai telah berkontribusi terhadap pemberdayaan umat melalui dakwah yang membangkitkan semangat kebangsaan dan nasionalisme.

Sementara Airlangga Hartarto dianugerahi gelar kehormatan pada program Doktor Pendidikan Olahraga Pascasarjana Unnes dalam Bidang Manajemen Olahraga (23/12). Gelar itu diberikan kepadanya atas keunikan kepemimpinan dalam olahraga wushu di Indonesia. Tim promotor juga mengkaji karya ilmiah bidang olahraga karya Airlangga.

Tanggapan Mahasiswa terkait Pemberian Gelar Doktor HC

Salah satu Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Lukfi Kristianto mempertanyakan alasan mengapa harus Airlangga Hartato yang diberikan gelar, padahal menurutnya banyak tokoh yang lebih kontributif daripada Airlangga. Lukfi menduga apakah ada motif politis di balik hal tersebut.  Selain itu, Lukfi mempertanyakan manfaat dari pernyataan dirjen tersebut, terkhusus manfaat jejaring sosial yang mana dianggap ada surplus ekonomis dan politis sebagai konsekuensi dari itu.

Lukfi juga mengatakan bahwa pemberian gelar honoris causa ini dianggap tidak sederhana sebab berkaitan dengan perkembangan kemajuan peradaban. Selain itu, untuk memperoleh gelar doktor secara resmi sangat susah dan harus memiliki disiplin ilmu yang ketat, menjemukan, dan lain sebagainya.

“Meskipun statusnya sebagai penghargaan, pemberian gelar doktor honoris causa bukan suatu hal yang sederhana. Jangan sampai hanya sebagai hal yang semu dan palsu (pseudo) atau suatu saat jika terus dipraktikkan, pemberian gelar HC akan membusuk, hanya karena kepentingan pragmatis dan transaksional,” tuturnya dalam wawancara via WhatsApp (28/12).

 

Reporter: Alisa, Annisa, Khotikah

Editor: Hani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *