BukuResensiUlasan

Mengisahkan Luka Aceh di Era Konflik

Mengisahkan Luka Aceh di Era Konflik

Oleh Laili Ayu Ramadhani*

Identitas Buku

Judul Buku            : Perempuan Pala

Penulis               : Azhari Aiyub

Penerbit              : Buku Mojok

Tahun Terbit          : 2019 (Cetakan Kedua)

Jumlah Halaman        : xviii + 134

 Buku berjudul Perempuan Pala merupakan kumpulan cerpen fiksi sejarah yang dianggit oleh Azhari Aiyub. Dikatakan fiksi sejarah karena cerita-cerita yang ada di dalamnya tidak sepenuhnya rekaan. Azhari meramu tulisannya dengan menggabungkan antara sejarah Aceh dengan imajinasi sastranya. Pembaca dibuat seolah-olah tidak bisa mengenali antara fakta dan rekayasa cerita.

Azhari memang terbiasa untuk menulis cerita yang tidak blak-blakan. Ia enggan menyajikan permasalahan secara gamblang. Pembaca seolah dibawa memasuki selubung labirin terlebih dulu guna memahami pergolakan cerita. Dibutuhkan kepekaan dari pembaca untuk menangkap maksud penulis sebenarnya—terlebih untuk menemukan fakta sejarah di dalamnya.

Buku ini menjamu pembaca dengan 18 cerpen karya Azhari yang pernah dimuat dalam surat kabar. Secara keseluruhan, cerpen-cerpen tersebut menyajikan kisah kelam yang sarat akan intrik. Semua cerita mengambil latar di Aceh pada masa konflik.

Seperti halnya tulisan Azhari yang lain, cerpen pada buku ini juga mengusung nilai lokalitas yang kental. Buku ini mengangkat nilai lokal yang ada di daerah Aceh. Nuansa Aceh semakin kentara karena penulis menggunakan beberapa kata dengan bahasa setempat. Tak sampai di situ saja, karena mengambil latar Aceh di era konflik, penulis menghadirkan peristiwa yang erat kaitannya dengan daerah ini, seperti bencana tsunami Aceh, Gerakan Aceh Merdeka, perseteruan “orang gunung” dengan tentara, masa operasi militer, dan peristiwa lainnya.

Membingkai Sejarah dengan Sastra

Karena bergenre fiksi sejarah, cerpen-cerpen pada buku Perempuan Pala sedikit banyak bersinggungan dengan peristiwa bersejarah di Aceh. Penulis mengemas fakta sejarah ke dalam cerita yang sedemikian rupa. Sebagian besar cerita menggambarkan periode perlawanan dengan beragam konflik yang pernah terjadi di Aceh.

Tak bisa memungkiri, Aceh menjadi wilayah yang paling lama didera badai pergolakan. Riwayat pergolakan Aceh sudah dimulai sejak zaman kolonial. Namun, siapa sangka? Pergolakan belum usai meski Aceh sudah berada di bawah naungan negara Indonesia. Dengan rentetan riwayat pergolakan ini, tak pelak membuat Aceh memiliki banyak hal yang terekam dalam sejarah.

Pada buku Perempuan Pala, Azhari mengemas fakta sejarah terkait konflik Aceh ke dalam ceritanya. Fakta tersebut dituangkan secara tersirat oleh penulis, meskipun di sejumlah cerpen diperlihatkan secara langsung. Fakta sejarah dan latar belakang pemberontakan inilah yang menjadi kekuatan dari cerpen-cerpen di buku ini.

“Sebagian besar cerita dalam buku ini menggambarkan periode perlawanan terakhir terhadap negara Indonesia. Pembaca akan berpikir lewat fakta-fakta yang bulat , bahwa cerita ini menuturkan pemberontakan.” (halaman x).

Seperti pada cerpen bertajuk Kenduri (halaman 42) yang menyiratkan fakta sejarah berupa kasus GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) di Aceh. Di tahun 90-an, Aceh sedang gencar diadakan pembersihan terhadap gerakan yang dianggap “menyimpang”. GPK menjadi salah satu gerakan yang masuk list pemberantasan. Orang yang dicap GPK tidak segan untuk dibunuh di tempat. Namun sayangnya, sejumlah pemberantasan menyasar pada orang yang salah—tidak terlibat, bahkan tidak tahu menahu soal GPK. Dan cerpen ini, menyiratkan hal tersebut.

Menyuarakan Nestapa Rakyat Aceh

Dengan sederet pergolakan yang terjadi, tak ayal membuat rakyat Aceh dilingkupi oleh situasi serba nestapa saat itu. Hampir setiap pergolakan selalu dibarengi dengan tragedi kemanusiaan. Hal serupa juga terjadi di masa Aceh Konflik. Rakyat Aceh seolah dipaksa untuk mengakrabkan diri dengan konflik dan kekerasan. Pergolakan juga hadir dalam batin masyarakat di daerah tersebut. Berangkat dari tragedi inilah penulis melatarbelakangi penciptaan karyanya.

“Selama kependudukan militer yang menindas tanah kelahirannya, Azhari menyuarakan nestapa rakyat Aceh lewat cerita-cerita pendeknya”—The Jakarta Post (sampul belakang).

Setiap cerpen di buku ini mengisahkan kenestapaannya masing-masing. Bisa dikatakan, setiap tokoh membawa pergolakan batin tersendiri. Pada cerpen Menggambar Pembunuh Bapak (halaman 70), kenestapaan diusung oleh tokoh “Dia”—seorang anak yang melihat bapaknya dibunuh karena tuduhan “menyimpang”. Tokoh tersebut hidup bersama seorang adik dan ibunya yang gila. Di usia yang belia, tokoh harus menanggung tragedi secara bertubi-tubi dan melahirkan dendam yang tidak semestinya. Dengan diksi dan imaji yang tepat, pembaca seakan dibuat merasakan pergolakan batin dari tokoh.

Kenestapaan yang dirasakan tokoh di setiap cerpen merupakan bentuk pergolakan batin yang lumrah dirasakan kala Aceh konflik. Hampir sebagian besar rakyat Aceh merasakan ketakutan, hasrat untuk balas dendam, dan rasa pergolakan lainnya. Azhari berusaha menuangkan rasa nestapa itu ke dalam cerpen-cerpennya. Dengan mengambil angle dari warga Aceh saat itu, Azhari seakan memberi kesempatan kepada pembaca untuk mencicipi kenestapaan tersebut.

Memutus Pemberitaan Sensasional

Aceh menggoreskan catatan sejarah panjang dengan banyaknya pergolakan yang terjadi di sana. Pergolakan sudah ada sejak era “perang kolonial” yang terjadi kisaran tahun 1873 sampai 1910. Namun, sampai masa kolonial itu berakhir dan Aceh berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia, tak serta merta membuat pergolakan itu terhenti. Pada 1981, Aceh sekali lagi menentang kekuasaan “pihak Indonesia”—menurut bahasa Aceh dan elit Jakarta dikenal dengan istilah “konflik”. Pergolakan ini berlangsung sampai tahun 2005.

“Setiap kali dan sampai sekarang, sejak saat direnggut kemerdekaannya, Aceh selalu menolak tunduk dengan perlawanan yang sengit, sampai-sampai durasi masa bergolak itu hampir sepadan dengan masa damai” (halaman ix).

Dengan begitu, tak mengherankan jika Aceh selalu lekat dengan pemberitaan yang sensasional di masa itu. Serangkaian warta yang muncul tak lepas dari pemberitaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, GPK, dan darurat militer. Bahkan, setelah melakukan perjanjian damai, wajah Aceh kerap muncul karena pemberitaan aturan-aturan ketat “syariah Islam”, alih-alih menuntaskan kejahatan kemanusiaan di masa lampau.

Untuk melawan kecenderungan jurnalisme pada masa operasi militer saat itu, Azhari menempatkan sejarah dan manusia-manusia Aceh ke dalam arus ceritanya. Ia tampil untuk mengingatkan adanya praktik ketidakadilan di masa konflik tersebut melalui sudut pandang warga setempat.

“Azhari menjadikan tulisan-tulisannya sebagai pemutus motif pemberitaan Aceh yang sensasional menjadi cerita-cerita yang layak diperhatikan.” – Koran Tempo (Sampul belakang).

Pada dasarnya, buku ini menyuguhkan sederet kisah konflik dari tanah Aceh. Penulis menawarkan cerita terkait sisi lain Aceh yang kemungkinan tak banyak diketahui. Cerita yang disajikan seolah berupa catatan yang dialami maupun yang diketahui oleh penulis—yang notabennya orang Aceh—di tanah kelahirannya. Buku ini bisa menjadi alternatif bagi mereka yang ingin mengetahui serangkaian peristiwa dan sejarah Aceh melalui penyajian yang berbeda.

 

*Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2019, Unnes

 

Comment here