Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Feature Uncategorized

Lakon Sambut, Sambit, Sambat: Kadung Melakukan Perjanjian dengan Setan


 Setan begitu dekat dengan nadi, yang membelenggu gerak jiwa pun diri, yang bisa membawa manusia pada kesesatan dan penderitaan, yang akan menemu tujuh dosa,” pesan yang disampaikan Sutradara, Kak Culo, dalam Lakon Sambut, Sambit, Sambat, Sabtu, (11/3) malam, teras Joglo Fakultas Ekonomi (FE) sekitar pukul 19.30 WIB.


Lampu sorot terbit, nampak sosok laki-laki tertangkap sinarnya. Adegan pertama, menceritakan Ayah, sepulang dari kerja membawakan dua buah hadiah bagi istri dan anaknya. Ayah memiliki istri, Sulastri dan seorang bayi laki-laki di dalam keranjang bayi, bernama Banyu. 
Ayah membawakan sebuah liontin emas untuk istrinya dan mainan untuk Banyu. Lastri senang. Lampu padam disebut transisi dalam pementasan.
Dalam cerita Ayah selalu berkomunikasi dengan karakter “Sobat”. Karakter Sobat merupakan simbolik setan yang “berteman” dengan jiwa Ayah. Sobat memperkenalkan pada Ayah tujuh dosa yaitu: rakus, cemburu, marah, malas, nafsu, pelit, sirik.
Dalam dialog dengan sobat, Ayah semacam menyapa dan mempersilakan sobat masuk dalam kehidupannya, mereka terlihat akrab dan seolah sedang membuat sebuah perjanjian.
Ayah dikuasai, ia kalap dengan diperkenalankanya dosa dari si sobat. Sisi baik Ayah dulu, berubah. Kebaikan tidak mendominasi jiwanya lagi, namun berlawanan. Ia banyak berjudi, mengkonsumsi narkotika, hingga berhutang uang pada Madam Brutu, pemilik bar tempat Ayah berfoya-foya untuk membeli barang-barang haram.
Ayah, berubah menjadi seorang laki-laki pemarah karena rutnitasnya yang tidak sehat. Ayah frustasi di dalam rumah yang melihat kenyataan itu, pun Banyu menambah suasana riuh di dalam rumah dengan tangisannya.
“Barangkali jika aku menjadi seorang bayi, hidupku akan tenang dan tidak akan ada beban,” monolog karakter Ayah. Terdengar Lagu Nina Bobok. Transisi. Tubuh lakon Ayah menjadi bayi pun sebaliknya.
Ayah mendapati Banyu membawa seorang perempuan yang hendak dinikahi Banyu. Ayah yang sudah menjadi bayi itu tidak setuju karena Banyu dan perempuan itu telah melakukan kegiatan senonoh. Ayah berteriak namun, Banyu mendengarnya hanya ocehan-ocehan bayi.
Terdengar suara ketukan pintu dari dalam. Madam Brutu datang. Ia hendak menagih utang-utang Ayah. Lastri kaget karena tak tahu menahu tentang permasalahan suaminya. Ayah dan Lastri terjebak dalam permasalahan besar. Madam Brutu akan menjamin hutang Ayah lunas, jika liontin yang dipakai Lastri diberikan kepadanya.
Lastri menolak dan rela melepas seluruh jiwa raganya demi melunasi hutang suaminya, selain dengan kalung liontinnya, karena ia sudah berjanji kepada suaminya untuk menjaga benda berharga tersebut.
Lastri dibawa oleh Madam untuk dijadikan pelacur. Ayah tak bisa apa-apa. Singkat cerita, Lastri meninggal dan dibawa sobat Ayah ke neraka, karena perbuatan Lastri menjadi pelacur. Lastri berpesan kepada Ayah untuk mencintai Banyu dan mendidiknya menjadi seorang yang salih dan berprestasi.
Banyu tumbuh menjadi pria dewasa yang dianggap matang moral oleh ayahnya. Setelah dua puluh satu tahun tak bertemu dengan sobat, Ayah lupa janjinya pada Sobat. Sobat menagih janjinya menemani Sobat di neraka, setelah Bayu dewasa.
Ayah pergi dengan sobat, meninggalkan Banyu sendirian. Sementara Lastri akhirnya diangkat ke surga berkat doa dari Banyu, doa anak salih, doa Banyu.
Nilai Bersyukur dalam Lakon Sambut, Sambit, Sambat
“Kutipan yang saya ambil dari Matthew mcconaughey menjadi inspirasi naskah ini ialah: we dont make a deal with god but we make a deal with devil, kita sebenarnya membuat perjanjian dengan tuhan melainkan dengan setan,” ujar Kak Culo dalam diskusi apresiasi setelah pementasan selesai.
Acara apresiasi tersebut dihadiri oleh anggota Teater Beta, UIN Walisongo Semarang, Teater Geterwahas, Unwahas, dan Teater dari Jepara.
Kak Culo menambahkan bahwa isu yang sedang diangkat dalam naskah yakni rasa beryukur. 
“Ayah bisa membesarkan Banyu menjadi anak salih maka harus disyukuri, walaupun masih banyak beban yang harus ia tanggung, termasuk masuk neraka,” terangnya.
“Kita juga sedang berkumpul ini juga perlu kita syukuri bersama-sama, dan pentas berikutnya juga sukses,” pungkasnya. 
Matahari Terakhir yang Berakhir
Selain Naskah Sambut, Sambit, Sambat, monolog “Matahari  Terakhir” pun dipersembahkan untuk penonton. Lampu sorot menangkap wajah seorang karakter perempuan yang muncul mengenakan baju lengan panjang, garis horizontal, warna hitam-putih, senada dengan warna celananya. Wajahnya tertutup handuk berukuran kecil. Lakon monolog itu dimainkan dari naskah “Matahari terakhir” karya Putu Wijaya.

“Siapa yang masih berani terima suap di Lapas? Masih berani, itu artinya orang lebih takut tidak punya duit daripada tidak punya harga diri,” cuplikan monolog karakter Gerhana. (Lala/Khanza)

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *