Sore itu, Jumat (27/12). Reporter linikampus menuju peternakan di Dusun Pilahan, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Semarang. Saat itu, langit mendung membersamai perjalanan kami. Sampai di lokasi, kami mendengar suara sapi-sapi yang bersahutan dengan lantang, meskipun kami masih berada di luar area peternakan.
Kami bertemu Sucipto, salah satu peternak sapi di peternakan Pilahan. Sucipto sedang membersihkan kotoran sapi di kandang. Seusainya, Sucipto mengatakan bahwa sapi-sapi yang terdapat di peternakan miliknya merupakan bantuan modal, yang diberikan oleh pemerintah pada para peternak di Pilahan.
“Sapi-sapi ini didapat dari pemerintah, Mbak. Pemerintah ngasih kami induk sapi, terus kami nanti ngasih dua anaknya ke mereka (pemerintah), warga di sini menyebutnya gadohan. Kalau untuk jenis sapi yang diberikan adalah jenis sapi ‘tigon’ dan ‘stroli’,” tutur Sucipto.
Sistem Ternak sapi Gadohan
Kedua sapi Sucipto dulunya merupakan hasil gadohan, tetapi sekarang induknya sudah dijual karena sudah terlalu tua. Gadohan memiliki sistem, ‘peternak bisa memiliki sapi tanpa harus membelinya’. Awalnya gadohan ini diperkenalkan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Semarang melalui KUD Ungaran kepada masyarakat Dusun Pilahan.
Sucipto menerangkan bahwa usia anak sapi yang nantinya akan disetorkan ke pemerintah bergantung pada permintaan mereka. Pemerintah awalnya memberikan sepuluh sapi gadohan bagi para peternak di Pilahan. Setelah mereka memberikan dua anak induk sapi gadohan tersebut pada pemerintah, maka sapi sudah menjadi hak milik peternak.
Peternak mulai berangkat ke kandang dan memerah susu sejak selepas subuh hingga sekitar pukul tujuh, karena saat itulah pengepul datang dan membawa susu sapi hasil perahan peternak ke Koperasi Unit Desa (KUD) Ungaran.
Kemudian sore harinya, pukul setengah tiga hingga setengah empat, peternak kembali ke kandang sapi untuk memeras susu dan memberi pakan. Sebelum sampai ke KUD, susu-susu tersebut akan diangkut ke Desa Terwidi, Kecamatan Gunungpati. Di Desa Terwidi-lah seluruh hasil perahan dari berbagai desa dikumpulkan, sebelum nantinya disetor ke KUD Ungaran.
“Para peternak akan mendapatkan upah atas susu sapinya sebulan sekali. Per liter susu yang mereka setor akan dihargai sebesar lima ribu rupiah. Namun, untuk mendapat uang dari hasil memeras susu sapi, peternak harus menunggu sapinya siap perah. Yaitu berusia minimal dua tahun dan sudah pernah bunting,” sambung Sucipto.
Peternak di Dusun Pilahan, biasanya menuai hasil dari hasil memerah susu sapi yang dimiliki. Sucipto juga menjelaskan bahwa rata-rata peternak, menghasilkan susu perahan sapi sekitar tujuh sampai delapan liter pada pagi hari dan empat sampai lima liter pada sore hari.
Selain Sucipto, kami juga menemui peternak sapi lainnya, Kuswanto yang saat itu sedang memerah susu salah satu sapinya. Kami dan Kuswanto berbincang mengenai gadohan. Gadohan ini berawal dari pihak KUD Ungaran yang memberitahukan pada kepala desa, kemudian disosialisasikan ke masyarakat desa.
Masyarakat yang ingin mengikuti gadohan ini kemudian melapor pada KUD Ungaran, lalu pihak KUD Ungaran pun akan memberikan induk sapi sesuai jumlah permintaan. Menurut Kuswanto, kualitas sapi hasil gadohan sama saja dengan sapi pada umumnya. Hanya saja, jika sapi-sapi (gadohan) itu sakit hingga mati, maka para peternak hanya perlu melapor kepada pihak KUD Ungaran.
“Tidak ada cara lain, Mbak. Di sini sapinya ya dari gadohan semua,” ujar Kuswanto, ketika kami tanyai mengenai asal sapi yang dimiliki.
Masyarakat Mulai Melirik Peternakan Sapi
Menjelang sore, kami menemui peternak lainnya, Mustaufik. Sembari mengawasi sapi-sapinya yang tampak lahap memakan rumput, Mustaufik bercerita bahwa terdapat enam belas peternak sapi dari sekitar dua ratus kepala keluarga di Dusun Pilahan. Memang, beternak sapi belum menjadi sumber pendapatan utama di sana. Namun masyarakat mulai banyak melirik usaha ini apalagi dipermudah dengan adanya gadohan.
Mustaufik salah satunya, sekitar dua tahun menggeluti dunia ternak sapi setelah sebelumnya hidup dari hasil ternak ayam. Menurutnya ternak sapi lebih menjanjikan, setidaknya dia merasa lebih aman ketika beternak sapi daripada beternak ayam.
Saat beternak ayam dulu, Mustaufik seringkali mengalami kendala ayam mati massal karena virus. Pemerintah juga hanya mampu memberi vaksin yang melemahkan virus saja, tapi tidak menghilangkan penyakit. Hingga Mustaufik harus merugi karena mobil yang dijual untuk ternak ayam tidak dapat balik modal.
Sekarang, Mustaufik tidak perlu terlalu khawatir, sapi-sapi tidak mudah terserang penyakit dan tidak pula cepat menularkan penyakit. Apalagi dengan adanya gadohan, Mustaufik tidak perlu mengeluarkan modal banyak selain untuk pakan dan vitamin.
“Untuk sekarang, sapi-sapi saya memang belum memberikan hasil, Mbak. Tapi saya berharap, semoga kelak sapi-sapi akan menghasilkan susu yang banyak, sehingga anak-anak dapat sekolah tanpa kesulitan,” lanjut Mustaufik, menutup perbincangan kami sembari menerawang menatap sapi-sapinya.
Penulis: Annisa Febiyani dan Wahidatul Hanifah
Editor: Rona Ayu Meivia