Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Editorial Opini

Kampus Perlu Berbenah

Ilustrasi Doktor Honoris Causa [BP2M/Hasnah]
Ilustrasi Doktor Honoris Causa [BP2M/Hasnah]

Setelah hampir delapan tahun Universitas Negeri Semarang tak menggelar penganugerahan doktor honoris causa, di masa kepemimpinan Rektor Fathur Rokhman, Unnes bermanuver memberikan gelar doktor kehormatan kepada tokoh agama, politikus dan bahkan mantan narapidana kasus korupsi dalam waktu berdekatan.

Usai memberikan gelar kehormatan kepada Habib Luthfi bin Yahya dan Airlangga Hartarto. Tak berselang lama, Unnes kembali memberikan gelar honoris causa kepada Nurdin Halid dalam bidang industri olahraga. Hal ini langsung menjadi sorotan publik mengingat rekam jejak Nurdin Halid yang coreng moreng. Tidak salah, jika banyak pihak yang turut mempertanyakan dasar pemberian gelar kehormatan kepada mantan ketua PSSI dan mantan narapidana korupsi Bulog itu. Tentu kita tidak lupa kasus korupsi Bulog pada tahun 2004 dan muramnya kondisi persepakbolaan nasional di bawah kepemimpinan Nurdin Halid.  

Adanya fenomena pemberian gelar secara serampangan, patut kita pertanyakan. Pasalnya, pemberian gelar tersebut seharusnya diberikan kepada seseorang yang memiliki kontribusi nyata terhadap pengembangan keilmuan, kemanusiaan, dan memiliki citra yang baik–bukan tujuan lain yang sarat akan kepentingan tertentu. 

Mengutip laporan utama majalah Tempo edisi 13 Februari 2021, ada beberapa pemberian honoris causa yang kontroversial selama setahun terakhir seperti pemberian gelar kepada  Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar. Pemberian gelar ini ditengarai adanya kepentingan Sutrisna Wibawa, yang saat itu masih menjabat sebagai Rektor UNY dan dinilai sedang berancang-ancang dalam pemilihan Bupati Gunungkidul. Selain itu, pemberian gelar kehormatan juga pernah dilakukan oleh Universitas Diponegoro ke Ketua DPR Puan Maharani dalam bidang kebudayaan dan pembangunan nasional di tahun 2020. 

Kampus seharusnya menjadi lembaga intelektual yang melahirkan nalar kritis dan terbuka, justru mengalami dekadensi dengan ringan tangan memberikan gelar kehormatan kepada aktor politik bahkan mantan narapidana korupsi. Hal ini patut dicurigai adanya transaksi yang sarat kepentingan ekonomi-politik. Pemberian gelar doktor kehormatan kepada seseorang yang belum terbukti memberikan dampak positif bagi masyarakat luas menunjukan bahwa kampus secara banal melecehkan dirinya sendiri sebagai institusi akademik. 

Sejak diberlakukannya Peraturan Menristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan, aturan mengenai persetujuan dari kementerian  dihapus, sehingga tata cara dan syarat pemberian gelar dikembalikan kepada kampus masing-masing sesuai semangat otonomi perguruan tinggi. Celah ini kemudian menjadi kesempatan bagi sejumlah pihak tertentu yang memanfaatkan otonomi kampus guna memberikan gelar kehormatan kepada pihak yang tidak tepat.

Aturan pemberian gelar juga diatur melalui Peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang nomor 21 tahun 2018 tentang Pedoman Pemberian Gelar Doktor Kehormatan. Dalam pasal 3 poin b dan c yang mengatur persyaratan dasar disebutkan bahwa calon penerima gelar kehormatan harus memiliki kepribadian dan citra publik yang baik (poin b) dan memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik (poin c). Melihat dua poin tersebut, jelas Nurdin Halid tidak memenuhi persyaratan dasar sebagai persyaratan yang wajib dipenuhi oleh calon penerima gelar kehormatan sebagaimana tercantum dalam pasal 1 poin 7.

Selain itu, transparansi pemberian gelar juga sangat diperlukan agar pemberian gelar ini memang benar-benar diberikan kepada orang yang layak. Pemberian gelar diharapkan atas dasar pengkajian serius oleh tim peninjau terhadap kontribusi setiap calon, guna mengantisipasi jika ditemukan hal-hal yang keliru supaya tidak mencoreng nama baik kampus itu sendiri. 

Sudah saatnya kampus perlu berbenah agar otonomi kampus ini tidak digunakan sewenang-wenang, sehingga mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kampus sebagai wadah murni pengembangan ilmu. Pemberian gelar honoris causa bukanlah barang cenderamata yang dengan mudah diberikan kepada seseorang, terlebih jika pemberiannya sarat transaksi ekonomi-politik.

 

Salam,

Redaksi.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *