Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Beranda Resensi Ulasan

Sengkarut Kebebasan Akademik

Merebut (kembali) Ruang Akademik
Sampul Buku Merebut (kembali) Ruang Akademik [Manan]

Oleh: Abdul Manan*

Identitas Buku

Judul Buku            : Merebut (kembali) Ruang Akademik

Penulis               : Luthfian Haekal & Ahmad Shalahuddin

Penerbit              : Rumah Pengetahuan Amartya

Tahun Terbit          : 2020

Jumlah Halaman        : 163

John Stuart Mill (1806-1873) dalam bukunya—On Liberty: Perihal Kebebasan—mengatakan bahwa satu-satunya kebebasan yang disebut kebebasan adalah kebebasan untuk mengejar kebaikan kita sendiri menurut cara kita sendiri. Ia berpandangan bahwa tidak ada masyarakat yang menghormati kebebasan, apapun bentuk pemerintahannya dan tidak ada masyarakat yang benar-benar bebas.

Analisis Hannah Arendt (2006) dalam Merebut (kembali) Ruang Akademik, kebebasan merupakan kapasitas individu yang terjadi di antara banyak dan itu terjadi ketika individu menggunakan pandangan di depan umum dan berdialog dengan orang lain secara terbuka. Kebebasan bukan hanya milik individu, tetapi juga kebebasan komunitas dalam mengemukakan pendapatnya. Entah dengan ideologi apapun baik kanan maupun kiri.

Sedangkan dalam Konsep Manusia Karl Marx garapan Erich Fromm menyatakan kebebasan adalah bagaimana manusia mampu menciptakan dirinya sendiri sebagai majikannya. Manusia sebagai individu mempunyai totalitas untuk melakukan interaksi dengan dunia, mampu melihat, mendengar, berpikir, dan berkehendak. Pendeknya manusia mempunyai kendali penuh untuk mengungkapkan organ individualitasnya. Inilah yang disebut Marx bahwa bebas itu sendiri bukan hanya bebas dari (free from) melainkan juga bebas untuk (free to).

Terdapat banyak sekali interpretasi atas makna kebebasan bagi para pemikir berdasarkan pengalaman dan renungannya. Tentu saja definisi yang diberikan belum tentu disepakati. Ia bisa saja saling melengkapi bahkan bisa saling mengkritisi. Lalu bagaimana dengan kebebasan akademik?

Mendengar kata “akademik”, hal yang terlintas dalam benak kita adalah seputar pendidikan, universitas, mahasiswa, dan seterusnya. Kebebasan akademik lebih spesifik menyoal bagaimana ruang-ruang akademik yang dapat melahirkan pemikiran-pemikiran inovatif dan progresif.

Kebebasan akademik lebih terkonsentrasi pada bagaimana upaya seseorang dalam memperoleh ilmu pengatahuan—lebih jauh tentang kebenaran dan keadilan itu diperoleh. Melalui diskusi yang tidak terkekang, seseorang bebas untuk menyampaikan pemikirannya dalam ruang-ruang belajar dan publik.

Buku Merebut (kembali) Ruang Akademik dipahami sebagai bentuk keresahan dan pencorengan terhadap kebebasan akademik, baik itu menyangkut mahasiswa, dosen, dan aktor lain yang memproduksi ilmu pengetahuan. Pasal karet UU ITE yang digunakan negara untuk membungkam kritik menuai protes. Pembatalan diskusi dan pembredelan pers mahasiswa oleh aparat kerap terjadi. Atas beberapa keresahan itulah yang menjadi latar belakang buku ini ditulis.

Para Penjerat Kebebasan Akademik

Buku gubahan Luthfian Haekal dan Ahmad Shalahuddin menyoroti tiga aktor—negara, korporasi, dan kampus—yang diduga menjadi penjerat kebebasan akademik. Mereka kerap memberangus kebebasan akademik baik dengan jalur keras maupun secara halus. Bentuk pemberangusan yang dilakukan juga bersimplifikasi terhadap berkembangnya neoliberalisme dalam pendidikan. Kampus yang notabene menghasilkan pemikiran-pemikiran dengan orientasi pada kemajuan agaknya hanya memproduksi para kuli yang bebas dieksploitasi oleh korporasi demi menggaet keuntungan sebesar-besarnya. Ironinya hal ini didukung negara melalui kebijakan-kebijakan yang menyeret kampus menjadi “binatang peliharaan” yang menuruti tuannya.

Negara melalui perangkatnya seperti pemerintah, aparat kepolisian, dan militer masuk dalam daftar siapa-siapa yang ikut serta dalam memberangus kebebasan akademik. Pemerintah menerbitkan undang-undang yang membatasi civitas academica untuk berbicara dan menyampaikan kritiknya. Negara dalam lakunya membatasi ruang kebebasan akademik juga diperlihatkan dengan pembatalan diskusi berujung teror, dan pembredelan pers mahasiswa. Seperti yang terjadi satu tahu lalu, Constitutional Law Society (CLS) FH UGM membatalkan diskusinya yang bertajuk “Meluruskan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” karena teror dan intimidasi terhadap panitia dan narasumbernya. Pembredelan pers mahasiswa pernah dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Expresi UNY. Buletin EXPEDISI yang mengkritisi soal pelaksanaan ospek ditarik peredarannya. Selain itu, aparat polisi dan tentara kerap merazia bacaan yang dianggap “kiri”, khilafah, komunis, atau berbau radikalisme. Dengan kata lain, pihak luar kampus yang seharusnya mendukung kultur kampus dalam berdinamika sejak dalam pikiran malah membuat kisruh.

“…kebijakan itu mendorong keterlibatan ormas atau aparat bersenjata di luar kampus untuk ikut campur dalam kehidupan kampus. Stigma-stigma seperti separatis, komunis, khilafah anti-NKRI, dan lainnya dilekatkan pada organisasi mahasiswa dan menjadi basis legitimasi untuk merepresi kegiatan mereka.” (hlm 29)

Begitupun dengan korporasi yang ikut melanggengkan komersialisasi dalam dunia pendidikan. Pemberangusan kebebasan akademik yang dilakukan oleh korporasi cenderung untuk membungkam kritisisme akademisi terhadap proyek-proyek yang sarat akan kerusakan lingkungan. Orientasi lembaga pendidikan bergeser menjadi lembaga yang mencari peruntungan.

“…komersialisasi merujuk pada usaha lembaga pendidikan untuk mencari keruntungan dari proses pengajaran, riset dan berbagai aktivitas kampus lainnya untuk menambah pendanaan pendidikan tinggi.” (hlm 55)

Berikutnya, kebebasan akademik mengalami perundungan yang justru dilakukan oleh kampus itu sendiri dalam bentuk represi berupa larangan turun aksi, ancaman skorsing dan drop out (DO). Penetapan peraturan yang merambah pada ranah privat kerap terjadi di beberapa kampus seperti aturan potongan rambut dan penyeragaman pakaian. Penulis mengajak kita memahami bahwa kampus juga turut andil melalui kebijakannya dalam membatasi ruang-ruang kebebasan akademik. Melalui alasan “nama baik kampus”, segala hal yang menuai kritik dianggap menjatuhkan legitimasi kampus.

Represi yang ada di kampus tidak melulu soal kekerasan, ancaman, dan larangan. Ia hadir dalam slogan-slogan yang secara halus memengaruhi mahasiswa seperti mahasiswa berprestasi harus ikut PKM, IPK Cumlaude, menang lomba, dan seterusnya. Sehingga, hal itu akan menyibukkan mahasiswa dan menjadikannya apatis terhadap isu kampus, terlebih yang ada di luar kampusnya.

“Matinya kebebasan akademik di kampus akan berpengaruh pada matinya nalar kritis dan gerakan sosial ke depannya. Mahasiswa lebih menikmati kajian nikah muda, membangun bisnis sukses di usia muda, membangun keluarga sakinah, dan forum serupa daripada membincangkan persoalan-pesoalan perampasan lahan atau realitas sosial hari ini.” (hlm 33)

Kebebasan Akademik di Kampus Hari-hari Ini

Buku ini lahir atas keresahan yang terjadi di dalam dunia akademik kita hari-hari ini. Kampus-kampus masih memberlakukan aturan seperti penetapan jam malam, penyesuaian potongan rambut, penyeragaman pakaian, dan penyaringan tema diskusi.

Melalui ajang mahasiswa berprestasi, pereduksian besar-besaran makna “berprestasi” begitu kentara. Orientasi mereka terwujud hanya pada perolehan piala dan penghargaan kompetisi lomba. Kebanyakan penyelenggara tidak tahu bagaimana menindaklanjuti karya tulis dan ide yang telah dituangkan. Tanggung jawab moral atas solusi dari permasalahan yang diangkat dalam suatu karya kebanyakan berakhir di meja-meja penyelenggara. Sedikit yang mempublikasikan, hampir tak ada yang diterapkan.

Budaya kritik-mengkritik menjadi semakin sirna. Pelaporan atas dugaan kasus korupsi dana kampus berujung penskorsan mahasiswa secara sepihak dengan dalih yang tidak berhubungan dengan substansi pelaporan itu.

Kampus adalah tempat di mana segala pemikiran digodok melalui proses-proses kajian, diskursus, dan seterusnya, sehingga melahirkan teori-teori baru sebagai konsensus atas saling silang argumen yang masuk. Kemudian, pemikiran-pemikiran yang lahir digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam realitas sosial hari-hari ini. Kampus dalam marwah akademik seharusnya menjadi ruang yang sangat terbuka dan egaliter.

Seperti kata Drezner, seorang doktor ekonomi politik dalam kalimat pengantar buku ini yang mengatakan: Salah satu tujuan perguruan tinggi adalah menyampaikan perdebatan bodoh dengan cara yang bodoh dan kemudian belajar, melalui interaksi dengan sesama mahasiswa dan dosen, mengenai betapa bodohnya mereka. (hlm 7)

 

*Mahasiswa Ilmu Politik Unnes 2019

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *