Penurunan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan bukanlah sebuah prestasi, namun perlu menjadi prioritas perhatian bersama. Hal tersebut disampaikan oleh Alimatul Qibti, Komisioner Komnas Perempuan pada peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2021 pada Jumat (5/3).
Komnas Perempuan mencatat terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020. Angka tersebut menurun signifikan dibandingkan laporan tahun 2019 lalu yang tercatat sebanyak 431.471 kasus.
“Penurunan laporan yang terdokumentasi ini dikarenakan pengembalian kuesioner hanya 50% dari tahun sebelumnya. Alasan lain, ada persoalan adaptasi pandemi, serta perubahan cara pengumpulan data oleh Komnas Perempuan yang dulu secara manual sekarang menggunakan google form,” kata Alimatul.
Menurutnya, data penurunan jumlah kekerasan tersebut hanya merefleksikan kapasitas pendokumentasian daripada kondisi nyata kekerasan terhadap perempuan yang cenderung meningkat di masa pandemi.
Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan menyebutkan data yang dihimpunnya berasal dari tiga sumber, yaitu dari Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama, lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), yang dibentuk oleh Komnas Perempuan.
“Dari Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus, dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus, dan dari Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), yang dibentuk oleh Komnas Perempuan, untuk menerima pengaduan langsung korban, sebanyak 2.389 kasus, dengan 2.134 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 255 kasus adalah kasus tidak berbasis gender,” katanya.
Sementara itu, Siti Aminah, Komisioner Komnas Perempuan menambahkan bahwa kasus kekerasan berbasis gender (KBGS) di ruang online seharusnya menjadi perhatian serius semua pihak karena KBGS bukanlah bentuk kekerasan terhadap perempuan biasa namun menjadi kejahatan transnasional.
“KBGS ini terjadi dengan 940 kasus di tahun 2020 karena luasnya akses dan kecepatan penyebaran lintas negara,” ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan, bahwa tujuan dari adanya catahu bukan sekadar menunjukkan naik turunnya data pelaporan namun juga untuk mendalami dan memaknai kasus kekerasan terhadap perempuan. Menurutnya, perempuan Indonesia, dalam prosesnya harus terus berjuang di dalam himpitan pandemi.
“Kekerasan seksual menyebar luas di semua ranah kekerasan terhadap perempuan, baik di ruang offline maupun siber. Begitu juga dengan angka perkawinan anak yang menempatkan perempuan menjadi lebih rentan kekerasan,” ujar Andy.
Andy menambahkan, bahwa di tengah situasi pandemi ini, adanya kekerasan terhadap perempuan merupakan akibat dari kebijakan diskriminatif terkait pembangunan, tata kelola ruang, serta keberagaman di dalam masyarakat.
“Meski terdapat kemajuan dalam perangkat hukum dan institusi, namun daya penanganan berkembang pelan sehingga terjadi peningkatan intimidasi dan kriminalisasi perempuan pembela HAM,” katanya.
Reporter: Ratna & Vena
Editor: Alya