Oleh: Laili Ayu Ramadhani*
Identitas Buku Judul : Njawani Penulis : Reka Sakti Penerbit : Buku Mojok Group Tahun Terbit : Juli 2021 Jumlah Halaman : x +140
“Menyadari tempat sama halnya dengan wis dadi wong—atau njawani—orang dengan etika dan etiket yang selaras.” (hlm. 104)
Jika bicara perihal Jawa, seperti tidak akan ada habisnya. Jawa ibarat lahan yang tak pernah puso untuk digali. Tak pelak jika banyak peneliti yang kepincut untuk mengkaji kebudayaan ini. Salah satu tulisan paling kondang, yaitu Koentjaraningrat dengan bukunya yang bertajuk Kebudayaan Jawa. Tak hanya peneliti dari dalam negeri, kearifan budaya Jawa juga berhasil menggaet peneliti mancanegara, seperti Benedict Anderson dan Clifford Geertz.
Penelitian paling anyar dilakukan oleh Reka Sakti, yang membuahkan buku berjudul Njawani. Buku ini berhasil mengupas tuntas terkait Jawa, khususnya keluarga Jawa. Meski hanya terdiri dari 140 halaman, buku tersebut tidak bisa “dilahap sekali duduk”. Hal ini lantaran cakupannya yang luas: sosiologi-antropologi, politik, dan budaya. Reka seolah ingin memperkenalkan pembacanya dengan seluk-beluk budaya Jawa. Tak berlebihan jika menjadikan buku ini sebagai saku untuk memahami Jawa.
Menyingkap Filosofis Dunia Jawa
Kebudayaan Jawa memang kental dengan nuansa filosofis dan nilai-nilai leluhur. Semua itu tercermin dalam ritual, khasanah, dan prinsip orang Jawa. Dalam pandangan dunia Jawa, realitas bersifat menyatu dan menyeluruh. “Pandangan hidup Jawa tidak hanya sebatas agama dan mitos, tetapi juga perkara pertanian, kehidupan keluarga, seni-tari, mistik hingga struktur desa (Suseno, 1984).” (hlm. 38)
Tak hanya itu, dunia Jawa juga lekat dengan sederet hal-hal simbolik. Semua itu bisa dengan gampang ditemui pada bahasa, budaya, dan sikap Jawa. Sebagai contoh, bahasa krama inggil yang dianggap sebagai bahasa topengnya orang Jawa. Ketika menggunakan bahasa ini, orang cenderung menyampaikan maksud secara samar. Bahkan, sikap tidak terus terang juga lahir dalam seni ethok-ethok dan pakewuh perilaku orang Jawa.
Bagi orang Jawa, sikap sopan diartikan dengan menghindari keterus-terangan. Tak mengherankan jika menyampaikan maksud secara gamblang akan dianggap kurang ajar. Untuk itu, orang Jawa cenderung melakukan dan menyampaikan maksud dengan simbolis. Sayangnya, adanya seni ethok-ethok membuat seseorang kesulitan memahami maksud seseungguhnya. “Dalam rangka pemenuhan etiket tersebut, hadir ethok-ethok. Suatu seni untuk berpura-pura, teknik yang tinggi dan positif untuk memendam perasaan sebenarnya.” (hlm. 60)
Sama halnya dengan budaya Timur lainnya—seperti Jepang, Tiongkok, India, dan Arab—dalam filsafat Jawa, manusia diartikan sebagai bagian yang menyatu dengan alam semesta. Dari situ, muncullah istilah manunggal Kawula Gusti. Orang Jawa memahami bahwa dunia fisik hanya sebagian kecil dari realitas. Hal yang hakiki justru didapat dari tindakan dan materi yang dilakukan.
Peran Keluarga dalam Melahirkan ‘Orang Jawa’
Secara etimologis, keluarga Jawa dimaknai sebagai hasil dari jarwo ndosok—penggabungan dua kata menjadi kata baru dengan makna yang baru pula—dari kawula dan warga. Kehadiran keluarga menjadi dua poros utama dalam kehidupan masyarakat Jawa. Pertama, sebagai pemenuhan kebutuhan pribadi, ekonomi, dan psikologis. Kedua, pewarisan dan pengukuhan nilai sosial. Dengan begitu, tak pelak jika keluarga memegang andil besar dalam reproduksi budaya Jawa.
Pada dasarnya, orang tua Jawa sudah mengenalkan praktik simbolik sejak dalam kandungan. Ada serangkaian tradisi Jawa yang dilakukan agar janin lahir selamat dan jauh dari bebrayan, seperti; Ngapati, Mitoni, Separasan, dan Tedak Siten. Tradisi itu tidak semata-mata untuk memohon keselamatan bayi, tetapi juga menanamkan prinsip Jawa. Bisa dikatakan, tradisi tersebut sebagai upaya mengukuhkan seorang anak sebagai ‘anak Jawa’. Ketika beranjak dewasa, mereka akan dibiasakan untuk menerapkan tindak-tanduk Jawa—Kejawen. “Nilai Kejawen tidak hanya sekadar petunjuk moral yang mendasari tindak tanduk kekeluargaan Jawa, tetapi inti pengertian dari subjek Jawa.” (hlm. 87)
Penanaman ajaran Kejawen pada anak tentu saja menjadi tugas keluarga Jawa. Saat melakukan rangkaian tradisi dan mengajarkan unggah-ungguh, keluarga sedang mereproduksi ‘orang Jawa’. Bahkan, dalam kitab Serat Centhini dari awal abad ke-19, keluarga Jawa dinyatakan sebagai fondasi berdiri tegaknya peradaban Jawa. Keluarga menjadi tempat pendidikan pertama dalam mengajarkan nilai Jawa. Peran itu dianggap penting karena keluarga yang nantinya memberikan ruh Kejawen pada anak.
Kebudayaan Jawa dan Modernitas
Di tengah ingar-bingar kemajuan zaman, kebudayan Jawa justru sedang mati-matian mempertahankan budayanya. Bagaimana tidak? Budaya Jawa seolah sedang digerogoti oleh modernitas. Terlebih, modernitas ini mengusung pendekatan saintifik yang mengedepankan nalar dan logika. Alhasil, orientasi tradisional orang Jawa berubah. Sikap dan pandangan hidup pun bergeser: dari batiniah ke rasional.
Hadirnya ilmu pengetahuan mengucilkan pandangan simbolis orang Jawa. Saat ini, sejumlah masyarakat menganggap bahwa pandangan Jawa sebagai suatu hal yang tidak rasional. Terlebih untuk nilai mistis-magis pada budaya Jawa. Akibatnya, sebagian orang memilih untuk menanggalkan identitas kejawaannya. Kebudayaan pun seakan tercerabut dari akarnya. “Jika disempitkan, orang Jawa sedang mengalami pertentangan antara modernitas dan tradisionalitas dalam dirinya.” (hlm. 68)
Meski pandangan Jawa mulai tergerus oleh modernisasi, tak lantas membuat budaya Jawa hilang tak tersisa. Perlu ditekankan, nilai-nilai Jawa tidak hilang, melainkan terkikis. Jejak nilai dan budaya Jawa masih bisa dijumpai pada kehidupan pranata masyarakatnya. Kebudayaan yang masih eksis, yaitu masyarakat Jawa yang masih bersifat hierarkis; sistem kekerabatan keluarga Jawa; bahasa Jawa—meskipun jumlah penuturnya semakin berkurang; dan pandangan dunia Jawa.
Pada akhirnya, sikap hidup atas nilai Jawa yang membuat kebudayaan Jawa tak hilang ditelan modernitas. Lihat saja, sejak dulu sudah banyak budaya asing yang bertamu di Jawa, seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen, bahkan sampai bangsa Eropa. Semua itu tak lantas membuat Jawa bersalin rupa dan hanyut dalam arus. Namun, hal tersebut tak berarti bahwa orang Jawa bisa membiarkannya begitu saja. Jika didiamkan terus-menerus, bukan tidak mungkin budaya Jawa akan terseret arus globalisasi. Salah satu caranya, yaitu dengan hidup berdampingan antara budaya Jawa dan modernitas. Mereka bisa mengikuti modernitas tanpa harus melepas budaya dan nilai Jawa.
Melalui buku ini, Reka mengajak pembacanya untuk menyelami belukar alam pikir dan budaya Jawa. Ia coba menguraikan ajaran-ajaran Kejawen jadi lebih sederhana. Bagi pembaca yang bukan orang Jawa, buku ini bisa dijadikan sebagai sarana mengenalkan budaya Jawa. Sedangkan bagi orang Jawa, buku ini akan menggandeng pembaca untuk kembali pada identitasnya: Njawani!
*Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes 2019