Oleh : Leni Septiani
HIKAYAT SEONGGOK MAWAR
Seonggok mawar hanya kau pandang durinya
Duri yang mencucuk dan dapat melukai kulitmu yang cokelat itu
Duri yang katamu bahaya dan mesti dimusnahkan
Duri yang kau uring-uringi setiap fajar dan kau telanjangi setiap senja
“Duri mawar harus dicincang,” dalihmu dengan bangga sembari menggesek pisau karatan kepunyaanmu
Kau lukai duri mawar dengan pisau menjijikkan itu tanpa dosa
Tanpa kau sadar bahwa pisaumulah yang kotor nan bahaya
Tanpa kau sadar bahwa otakmulah yang telah hancur bersama kotoran sisa makananmu semalam
Seonggok mawar hanya kau pandang durinya
Dan bertitah bahwa duri mawar adalah aib yang harus dihempas
Tanpa kau mau melihat keindahan bunga mawar yang ranum
Serta semerbak wangi yang sebenarnya mampu membiusmu secara perlahan
DERU KESINAMBUNGAN
Ayam jantan pulang larut malam
Diberi sanjung beserta idam
Ayam betina pulang hampir kelam
Dikecam
Ayam jantan berkokok fajar
Dipuji habis-habisan
Ayam betina berkotek fajar
Ditikam dengan seruan kewajiban
Ayam jantan mencari cahaya
Diseru berwawasan
Ayam betina mencari cahaya
Dikecam tak berkesudahan
Ayam jantan naik pohon kelapa
Diberi tepuk tangan
Ayam betina naik pohon kelapa
Digebuki hingga tak tahan
Itulah ayam jantan dan ayam betina
Yang dianggap seimbang dan berkesinambungan
Tapi, inikah indahnya realita?
Atau malah jalan menuju kebinasaan?
ABADI
Tiada yang abadi, katamu
Seperti semburat senja kemerah-merahan yang menggores luka
Luka yang menganga tak berkesudahan
Namun, katamu tak ada yang abadi
Lukaku abadi
Ia terpatri tak henti-henti
Menghunjam relung hati
Mengikis kewarasan yang kian direngguti
Lukaku abadi
Tiap kali senja datang, di situlah lukaku terkekang
Lukaku abadi
Setiap detiknya sungguh menciptakan goresan-goresan baru yang keji
Lukaku abadi
Sejuta detik yang berlalu tak jua menapaki
Lukaku abadi
Luka di kemaluan yang tak kunjung terobati
BELENGGU DI PANGKAL PAHA
Belenggu di pangkal paha ini melebar
Akibat ulah ular-ular bejat yang lapar
Bersasi-sasi waktu berputar
Tapi belenggu itu tak kunjung pudar
Belenggu itu tak terobati
Meninggalkan goresan abadi yang terpatri
Mungkin hingga nanti
Atau hingga aku mati?
Rumput-rumput bilang aku yang keji
Dikira tak punya hati
Telinganya digerogoti
Ketika berdalih ular yang meringseki
Rumput hanya terus menghakimi
Tanpa mau coba mengamini
Tanpa paham apa yang menguasai
Selalu aku yang dinodai
TUNTUT
Terlalu banyak tuntut
Di tengah impitan mulut
Ini itu menuntut
Tak patut-patut
Di sini tuntut
Di sana tuntut
Buat telinga seakan butut
Dan kepala jadi buntut
Semua tuntut
Tanpa pandang mana patut
Harus ada tuntut
Kalau tidak, akan diusut
Tuntut
Kewarasan meringsut
Jiwa mengkerut
Wajah mengisut
*Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2021