Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Uncategorized

Pram, Ndleya dan Neka-neka

Oleh Charisfa
Nuzula
BERKALI-KALI
Soesilo Toer mengaku dirinya sangat berhasil- berhasil gagal dalam menulis-.
Melalui buku Pram dari Dalam, ia benar-benar telah berhasil menceritakan
sosok Pramoedya Ananta Toer, kakak kandung sekaligus pengarang yang karyanya
diterjemahkan ke berbagai bahasa “dari dalam”.

Lewat gaya bahasanya yang ndleya dan mbedhik (sembrono
dan nakal) dia ingin mengenang Pramoedya dari sisi lain. Tujuan utamanya bukan
sebagai pengarang terkenal. Namun, karena Pram merupakan kakak tertuanya.
Bahkan dengan lantang dia berkata: “Pram gagal! Rumah tangganya awut-awutan,
ini terbukti ketika Pram diusir dari rumah oleh isteri pertamanya”.
Banyak hal yang disampaikan Soesilo Toer dalam buku ini. Tidak
hanya menceritakan Pram, tetapi juga menceritakan hal-hal yang berkaitan
dengannya. Di antaranya menceritakan tentang sejarah keluarga dan asal muasal
nama Toer. Ayahnya yang masih keturunan priayi, menghapus nama depannya Mastoer
menjadi Toer saja. Kemudian lahirlah nama Toer yang diotak-atik menjadi tansah
ora enak rasane
(tidak enak rasanya).
Dia juga memaparkan, Pram sebagai orang yang jarang menggunakan
kata, individualis, kejam, tetapi humanis dan cengeng. Pram bahkan sempat
menangis ngguguk (tersedu-sedu) saat menghadiri pemakaman adiknya, Koen.
Betapa pun Pram memang sayang terhadap adik-adiknya, Pram berpesan “Sesulit apa
pun hidup, berusahalah untuk tidak meminta kepada orang lain.” Hal itu gamblang
dituliskan Susilo Toer.
Manusia lahir dalam kiprahnya sebagai manusia. Tugas manusia
adalah menjadi manusia seperti kata Multatuli. Pram juga tidak berbeda dengan
pandangan gurunya itu. Ia bahkan menambahinya dengan moto Bapaknya: Berkarya.
Berkarya berarti menciptakan nilai tambah atau nilai lebih. Istilah asingnya surplus
value
atau value added. Nilai inilah yang menjadi prinsip hidup Pram
bahwa menulis adalah tugas individu dan tugas nasional.
Seosilo Toer layaknya narator, menulis dengan gaya bercerita yang
membuat pembaca seolah diajak untuk ikut merasakan pengalamannya dari dekat. Ia
mendeskripsikan bagaimana ia yang diakui Pram sebagai adik kebanggan dalam buku
Nyanyian Sunyi, bercerita dengan enteng bahwa Pram bukan segalanya. Pram
adalah manusia biasa yang neka-neka dan manja. Neka-neka dalam
hal ini, manja dilayani dan ditunggui isteri saat makan. Bahkan Soes pernah
kena getah karena menyediakan masakan untuk Pram namun sama sekali tidak
dijamah. Lebih lagi meski diakui sebagai adik kesayangannya, Pram pernah tidak
mengenali Soes. Hal ini terjadi ketika mereka berpisah 17 tahun lamanya, dan
bertemu kembali setelah Pram keluar dari bui di Pulau Buru.
Semboyan yang diusung Soekarno memang benar sekali-Jasmerah:
jangan sekali-sekali melupan sejarah, karena bagaimana pun sejarah membuat
manusia lebih bijak, Historia Vitae Magistra. Tindakan Soesilo Toer yang
mengumbar “kebobrokan” keluarga Toer, barang kali menuai anggapan bahwa hal itu
merupakan suatu kecerobohan. Namun, jika dilihat dari sisi lain, Pramoedya
adalah bagian dari sejarah. Karya-karyanya bisa dibilang masterpiece,
yang di dalamnya memuat banyak ilmu untuk direnungkan dan diamalkan.
Setidaknya, dengan mengapresiasi karya dan sejarah kepengarangan Pram, dunia
sastra di Indonesia akan selalu mengenang bahwa Indonesia memiliki tokoh super
yang telah mengubah dunia dengan tulisan-tulisannya.
Pram memang telah tiada. Namun, nama dan karyanya tak pernah
lekang oleh zaman. Buku ini menjadi semacam dokumentasi yang menginspirasi.
Soesilo Toer tidak hanya menggambarkan Pramoedya dari dalam, tetapi juga
menceritakan pengalamannya yang bisa dijadikan inspirasi, meskipun sederhana.
Buku ini nyaris sempurna, satu-satunya kekurangan adalah penulis
kurang fokus dalam menyampaikan informasi pada suatu bab, sehingga pembaca
kewalahan menerima informasi yang sebenarnya berharga. Selain itu, penggunaan
istilah-istilah dalam bahasa Jawa membuat pembaca harus berpikir dua kali serta
membolak-balik halaman terakhir buku yang berisi daftar istilah asing. Buku
terbitan Gigih Pustaka Mandiri ini baik dibaca berbagai kalangan, baik dari
kalangan umum, seniman, pecinta sastra, bahkan akademisi. Akhirnya, lewat
persembahan Soesilo Toer ini, selamat mengarungi dunia keluarga Toer pada
umumnya, dan kehidupan Pram khususnya. 

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *