Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Puisi Sastra

Cahaya Bintang

Ilustrasi Puisi Cahaya Bintang [BP2M/Arindra Rifky Saputra]

*Oleh: Leni Septiani

 

Air

Kata Orang Satu, air ini asin

Lebih asin dari garam

Lebih asin dari air laut

 

Kata Orang Dua, air ini pedas

Lebih pedas dari rawit

Lebih pedas dari gunjingan sebelah

 

Kata Orang Tiga, air ini manis

Lebih manis dari gula

Lebih manis dari madu

 

Kata Orang Empat, air ini pahit

Lebih pahit dari kopi

Lebih pahit dari jamu

 

Namun, kata Air, ia tawar

Tak ada rasa

Lebih dari apa

 

Hujan

Hujan di pekarangan rumah yang turun tiba-tiba

Aku suka

Aroma petrikor menari-nari di lubang hidung

Dan dengan sangat sopan permisi masuk ke saluran pernapasan

 

Hujan di pekarangan rumah yang turun tiba-tiba

Aku candu

Setiap tetesnya terdengar berirama

Mencelus santun ke gendang telinga dan masuk ke sistem pendengaran

 

Hujan di pekarangan rumah yang turun tiba-tiba

Kau merajuk

Berdalih bahwa tetes demi tetes itu adalah kesialan

Yang membuat bajumu tak kunjung dapat dipakai

 

Cahaya Bintang

Cahaya bintang di langit malam

Terlihat berbinar indah dan buat Ra terpana

Teropongnya sungguh Ajaib

 

Cahaya bintang di langit malam

Terlihat samar dan tak jelas, buat La mencebik

Kaca jendelanya terlalu berdebu

 

Cahaya bintang di langit malam

Terlihat bagai titik-titik yang redup, buat Fa mengatup

Kacamata hitamnya perlu dilepas

 

Cahaya bintang di langit malam

Sama sekali tak tampak, buat Ca berdecak

Ia harus ke luar kamar

 

 

*Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes 2021

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *