Meruntuhkan Budaya Patriarki
Buku Uncategorized

Meruntuhkan Budaya Patriarki

Meruntuhkan Budaya Patriarki

Oleh : Khansa Amira R. 

Judul : Perempuan Eks Parasit Lajang
Pengarang : Ayu Utami
Tahun terbit : 2015
Penerbit : KPG (307 hlm)

A adalah tokoh utama dari Novel pengakuan eks parasit lajang, trilogi dari parasit lajang dan cerita cinta Enrico. A digambarkan sebagai wanita bebas yang ingin meruntuhkan benteng keperawanan dan istana patriarki yang berkembang di Indonesia. Ia menolak menikah, A ingin menunjukkan pada mereka yang memuja perkawinan. Bahwa perempuan yang tidak menikah juga bisa mandiri, kaya, dan bahagia. 
Setelah berusia dua puluh dan memasuki jenjang kuliah, A bertekad untuk melepas keperawanannya, A ingin melawan budaya ketidakadilan Patriarki. Menurutnya, mengapa keperawanan sangat diagungkan oleh budaya patriarki, dan seolah-olah dengan tidak perawan wanita menjadi tidak terhormat. Padahal menurutnya vagina adalah organ sama seperti mata, mulut dan telinga. Lalu terjadilah proses pencarian kepada siapa keperawanannya akan diberikan? 
“…yaitu bahwa ada yang tidak beres dengan nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai yang mengharuskan lelaki menjadi pemimpin perempuan. Lelaki dibebani tuntutan tidak proporsional untuk menjadi lebih dari perempuan. Akibatnya, lelaki jadi gampang minder. Dan perempuan dibebani tuntutan tak adil untuk merendahkan diri demi menjaga ego lelaki. Itu sungguh tidak benar dan tidak adil. Sampai dewasa, sampai hari ini, aku tetap mengatakannya itu sungguh tidak benar dan tidak adil.” (hal 152)

BUDAYA PATRIARKI 

Ayu utami mencoba meruntuhkan budaya patriarki yang terus bergema bahwa perempuan berada di bawah lelaki. “… kelak ku kenal dengan nama patriarkal. Gagah-gagahan. Huh. Di dunia ini ada cowok yang pragmatis, ada yang sangat beragama, ada juga yang kekiri-kirian, tapi semuanya bisa sama-sama macho, memandang perempuan seperti atribut lelaki.”(hal 71). 
Ayu menggambarkan dengan jujur, bagaimana nikmatnya kebebasan yang diperoleh dari hubungan pertama dengan seorang lelaki agamis, yang tak pernah lupa sholat sebelum melakukan ina dengan A. Ayu juga menggambarkan bagaimana perempuan bisa terlepas dari kebutuhan akan kehadiran lelaki yang selalu menjadi bahan obrolan menarik perempuan-perempuan masa kini. Mereka akan terus menunggu kehadiran lelaki yang akan menjemputnya. 
Berbeda dengan perempuan pada keadaan nyatanya, A tak menunggu kehadiran lelaki untuk menjemputnya. Ia menjadi seorang perempuan yang selalu diinginkan lelaki, lelaki datang padanya, dan ia tak merindukan sentuhan lelaki kecuali sekali setelah ia bersetubuh dengan A lelaki, lelaki yang berasal dari dunia yang berbeda, yang tak mengenal kata inah, sebab persetubuhan yang taksah (hal 206). 
Dari persetubuhan dengan A lelaki, A perempuan merasa menemukan kembali sayapnya setelah dibakar hangus oleh A lelaki “Ah. Mengapa manusia merindukan persetubuhan. Sebab, persetubuhan adalah bentuk maya dari keutuhan yang tak lagi dimiliki manusia semenjak ia lahir ke dunia.” (hal 207) 
A berulang kali selingkuh, pada Mat (Pacar pertamanya), Nik, Dan, Rik. Ia tidak mau setia karena istana patriarki itu masih berkuasa. Istana Patriarki yang tidak adil pada perempuan itu masih menancapkan cakar di mana-mana. Telah lama ia bersumpah pada dirinya: aku tidak akan setia pada lelaki, tetapi aku akan setia pada manusia. (hal 246) 
Barangkali, Ayu Utami memang membela perempuan yang saat itu tertindas, terdiskriminasi dengan adat dan budaya yang berkembang di masyarakat. Yang menuntut seorang perempuan untuk menjadi perempuan, yang tak boleh ini itu, harus malu, harus bisa masak, harus cantik, harus pintar mengayomi, harus lembut, dan keharusan yang lain. 
Agaknya, peran A yang dijadikan tokoh utama disini memang mengena, A adalah seorang feminis yang kukuh pada apa yang ia pegang. Ia menikah dengan Rik karena A ingin ikut membela agamanya yang saat itu sedang tertindas dan Rik mau menikah sebab ingin menemani perjalanan A. Namun, saya kurang menyetujui gambaran feminis yang Ayu Utami jelenterehkan sepanjang novel. Saya menolak mitos yang diciptakan oleh A, ketika ia akan melepaskan keperawanan, yang tak mempercayai adanya selaput dara dan mengubah dosa menjadi kesedihan, yaitu ketika seseorang mengenal dirinya sendiri. 
Bagaimana bisa, seorang perempuan tak memikirkan apa yang dimilikinya seperti selaput dara, walaupun hal itu kemudian menjadi bahasan di novelnya ini, bahwa perempuan kemudian menjadi takut akan ditinggalkan oleh lelakinya ketika ia tak menunjukkan keperawananya itu dengan terbukanya selaput daranya itu. 
Tetapi, saya pun setuju dengan Ayu Utami ketika ia menganggap lelaki yang memutuskan untuk poligami adalah lelaki jahat, ia menolak berdosa dengan menduakan istrinya. Ayu secara gamblang menjelaskan bahwa perempuan bisa berbuat apapun, tanpa batasan tanpa kekangan bahkan setelah banyak dicibir oleh masyarakat karena keputusannya untuk tidak menikah. 
Saya rasa, novel ini memang patut dibaca oleh manusia, (bukan perempuan pun laki-laki) agar kesadaran berbudaya patriarki itu runtuh. Namun, ada baiknya pembaca tak langsung merasa terdogma pun percaya dengan apa yang ditulis oleh Ayu Utami, jangan-jangan setelah membaca novel ini jadi banyak perempuan yang mengecek keberadaan selaput daranya dan mulai meruntuhkan benteng keperawanan. (ya.. walaupun sudah banyak yang seperti itu). 

*Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia 2016

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *