Saatnya Memeluk Disrupsi
Opini

Saatnya Memeluk Disrupsi

[Sumber: Abu]
Oleh: Ahmad Abu Rifai
 

Sebuah perusahaan raksasa jasa taksi tertegun. Setelah bertahun-tahun memiliki nama serta kejayaan di penjuru negeri, kini mereka jadi pincang karena ada kompetitor baru yang hadir tanpa aba-aba, sama sekali tak terduga. Orang baru itu bahkan hadir dengan keandaraan seadanya; hanya bermodal kendaraan biasa (mobil) yang dibuat seolah-olah mirip taksi.

Sementara itu, sebuah perusahaan ponsel yang puluhan tahun mendapatkan hati masyarakat dunia harus mengalami nasib yang sama. Sekarang, nama mereka seolah sama sekali hilang. Meski masih berdiri, produk-produk yang dihasilkan tak banyak dicintai orang-orang.

Dua kasus di atas adalah cerita singkat perusahaan BlueBird dan Nokia. Mereka adalah salah dua dari perusahaan-perusahaan yang mengalami kekalahan. Dalam salah satu pernyataan, bahkan CEO Nokia sendiri pernah berkata, “Kita tidak pernah melakukan kesalahan apapun, tiba-tiba kami kalah dan punah.”

Perubahan Zaman
Apa sebenarnya yang menjadi penyebab kekalahan “orang-orang lama”? Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Rhenald Kasali memberikan jawaban dalam bukunya yang berjudul Disruption. Ia menyebutkan, zaman akan terus maju, kebiasaan-kebiasaan baru akan muncul seiring dengan perkembangan teknologi. Dalam perubahan atau transisi tersebut, akan ada kelompok orang yang tak siap. Mereka akan menolak perubahan.

Salah satu peralihan yang bisa kita lihat secara jelas sekarang adalah fenomena ojek online yang lebih disukai masyarakat—terutama orang-orang daerah perkotaan. Dulu, untuk mencari ojek, kita mungkin harus berjalan terlebih dahulu di pertigaan desa, pojok pasar atau pinggir jalan raya. Namun sekarang, tukang ojek jadi lebih dekat karena adanya gawai. Kita tak perlu mendatangi tukang ojek, merekalah yang akan datang hanya dengan beberapa ketukan jempol di layar.

Menyiapkan Disrupsi
Faktor lain yang menyebabkan brand sebesar Nokia kalah dalam persaingan adalah ketidakmauan untuk melakukan hal yang berbeda dari sebelumnya. Saat perusahaan smartphone lain sibuk menyiapkan jajaran gawai dengan sistem operasi android yang menawarkan kebaruan, Nokia menolak, mereka masih kukuh dan bangga dengan sistem operasi Java dan Symbian yang jadi andalan selama berpuluh-puluh tahun. Nokia terlena, silap bahwa masa kejayaan sistem operasi tersebut telah lewat. Ada model baru yang dielu-elukan oleh masyarakat.

Nokia adalah salah satu contoh yang mewakili pihak yang hanya berjalan di tempat, tidak mau melakukan disrupsi. Padahal dalam kenyataan, perubahan akan terus ada, tak akan berhenti dari waktu ke waktu. Dalam buku Sapien karya Harari, perubahan di dunia manusia tak akan bisa terhindarkan. Soal kekuasaan, misalnya. Saat zaman purba, yang paling kuat adalah yang berkuasa, pada zaman Romawi, yang berkuasa adalah yang paling kaya, lalu sekarang, yang berkuasa adalah pihak yang mampu mengontrol wacana.

Seiring dengan bergulirnya waktu, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali terus menyesuaikan diri dengan perubahan. Berbagai perencanaan harus ada. Imajinasi harus terus dijaga dalam rangka mempersiapkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Seorang penjual sayur, misalnya. Jika tidak ingin gulung tikar, ia harus siap apabila sewaktu-waktu tren jual-beli di pasar atau berkeliling di desa/kompleks tak lagi laku. Ia harus menyiapkan inovasi yang lain, seperti membuat lapak online yang siap mengirim ke rumah konsumen layaknya jual-beli barang-barang elektronik sekarang.

Cara-cara seperti inilah yang dipakai salah satu perusahan BUMN Indonesia, TELKOM yang berusaha mendisrupsi diri sendiri. Mereka berupaya keras keluar dari model fixed line voice agar bisa terus bertahan di arus yang deras persaingan.

Secara sederhana, untuk menghindari kemungkinan kemunduran, pihak yang mimiliki usaha—entah kecil atau besar—harus berpikir terbuka. Melek terhadap berbagai informasi di penjuru dunia, dan memiliki kesiapan untuk menghadapi perubahan yang bisa terjadi kapan saja sehingga harus keluar dari pola lama. Untuk usaha-usaha skala kecil, barangkali pemerintah bisa melakukan sosialisasi dan menyediakan fasilitas agar rakyat tidak terpuruk. Blue Bird dan Nokia saja bisa terpuruk, apalagi usaha masyarakat yang belum sepenuhnya paham soal teknologi?



                                                                                           *Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *