PHK
Cerpen Sastra

PHK

ILUSTRASI-CERPEN

Oleh Amilia Buana Dewi Islamy

Sudah sepekan sejak Maryati diberhentikan oleh perusahaannya. Sore ini ia duduk-duduk di depan kontrakannya. Kasman dan Emi, rekan kerja Yati mampir sore itu. Mereka mendengar kabar kalau Yati sedang tidak enak badan dan tidak ada yang membantunya merawat bayi kecil yang Yati lahirkan lima bulan lalu.

“Ah kita belum menang,” gumam Yati.

“Bahkan sampai benar-benar di-PHK pun, kita belum menang,” ia melanjutkan, pandangannya kosong.

Dua hari lagi adalah hari di mana orang-orang akan mengatakan harapan-harapan dan saling memedulikan, terutama tentang hak-hak yang selama ini mereka suarakan. Berpuluh tahun yang lalu, hari itu adalah simbol kemenangan dan suka cita karena mereka berhasil menang. Tapi kini?

“Negara telah berbaik hati membuat tanggal itu menjadi merah. Yakinlah mereka baik sekali selalu mempersilakan kita turun ke jalan tahun-tahun yang lalu itu,” Kasmin berucap sambil tertawa getir.

“Ya, dipersilakan dan dibiarkan saja. Seolah-olah mereka peduli, para Tuan dan Nyonya itu. Ah, tapi tidak ada kata usai untuk mencari keadilan bukan,” kata Yati.

“Lihatlah spanduk besar di pinggir jalan, tulisan Selamat Hari Buruh di bawah wajah tuan dan nyonya. Seharusnya kita yang merayakan,” lanjutnya.

Dari dalam rumah terdengar suara tangisan bayinya. Maryati bergegas masuk dan ingin menyusui bayinya. Tapi ternyata tidak ada sedikit saja ASI yang keluar. Ia lupa kalau dirinya memang belum makan. Kemudian ia teringat awal semua kesulitan ini.

Pagi itu Maryati bangun kesiangan, ia hanya sempat menitipkan bayinya kepada buliknya tanpa sempat menyusuinya.

“Bulik, ini cuma ada dua susu sachet, semoga cukup sampai nanti sore,” kata Yati sambil menyerahkan bungkusan itu dan anaknya.

Setelah itu ia tergesa menuju jalan raya tempatnya menunggu angkutan. Ia merupakan salah satu dari orang-orang berseragam biru di kota besar. Karena setengah berlari, baju birunya basah oleh keringat. Yati berharap keringatnya tak menggangu orang-orang berseragam biru lainnya. Sambil mengibas-ibaskan kerah dan berharap seragam itu lekas kering, angkutan Kang Darman sudah berhenti dengan pintu terbuka tepat di depan Maryati.

Kursi masih lengang. Yati memang pemberhentian pertama angkutan Kang Darman. Sepanjang perjalanan menuju bangunan besar, orang-orang berseragam biru lainnya juga menunggu untuk diperlakukan bak penumpang eksklusif dengan supir khusus.

Biasanya mereka memenuhi tiap celah pada ruang di mobil kapsul itu. Dua kursi diisi tiga sampai empat orang, sementara untuk mengisi celah di antara kursi sisi kanan dan sisi kiri, Kang Darman menyediakan dingklik. Dan bagi yang lain, berdiri adalah pilihan terbaik meski harus membungkuk. Namun sudah beberapa minggu ini penumpang dibatasi, mereka tidak lagi boleh berkumpul dalam jumlah yang banyak karena sedang pagebluk.

Orang-orang berseragam biru dalam angkot selalu ramai dengan celetuk-celetuk asal. Meski tak banyak orang, mereka tetap membicarakan banyak hal. Apalagi ini awal bulan, mereka akan gajian. Momen gajian selalu menjadi pelipur lara di tengah kejenuhan mereka bekerja. Setidaknya mereka bisa menyusun beberapa mimpi dengan uang itu.

Emi bercerita tentang rencananya untuk membelikan anaknya ponsel –meski mencicil, setelah uang gaji ia terima. Sementara Sri berencana mulai mencicil kebutuhan lebaran. Sedikit lebih beruntung orang-orang berseragam biru yang belum menikah, mereka boleh bermimpi untuk sesekali datang ke salon untuk merapikan rambut.

Tapi Yati hanya diam saja, ia teringat bayinya. Ia juga punya keinginan membelikan anaknya susu seperti yang dianjurkan oleh ibu-ibu muda dengan anak-anak yang gendut dan sehat di televisi. Mengingat gajinya akan turun, ia bisa sedikit menyungging senyum.

Sampailah mereka di depan bangunan besar bertembok tinggi, lalu lintas demikian padat. Orang-orang berbaju biru tak hanya muncul dari dalam angkot, trotoar kanan dan kiri juga dipenuhi orang-orang itu.

Tepat pukul 06.30 mereka sudah memulai pekerjaannya masing-masing: memasang kancing, memotong kain, dan menjahit. Yati juga memulai rutinitasnya.

“Mbak Em, sepertinya aku harus nyambi dengan pekerjaan lain. Sungguh sudah tidak bisa bila hanya dengan pekerjaan ini, Mbak,” keluh Yati

“Bagaimana dengan suamimu? Dia benar-benar tidak pulang?”

“Tidak.”

“Semoga dia lekas pulang, anaknya begitu lucu. Oh iya dengar-dengar pagebluk ini sudah menyebar sampai kabupaten sebelah, bagaimana dengan kita?”

“Membayangkannya saja aku tidak sanggup, Mbak.”

Ternyata Maryati tidak hanya boleh membayangkan sebab namanya ada di daftar orang-orang berseragam biru yang harus berhenti bekerja mulai akhir bulan ini. Sebelum siang, ia diberitahu akan ada pengurangan jumlah pegawai bertahap karena pagebluk sedang membuat perekonomian lemah. Konon, perusahaannya tak lagi mampu menggaji banyak pegawai selain memang ada arahan untuk bekerja di rumah.

“Tapi setelah semuanya baik, apa perusahaan ini akan baik-baik juga, apa kita punya kesempatan dipanggil lagi?” kata Yati, gelisah.

Teman-temannya yang ditanyai hanya menggeleng dan mengangkat bahu. Tidak tahu, yang jelas nasib merekalah yang belum jelas. Hanya saja, bagi yang masih bekerja mereka harus memakai seragam tambahan, masker kain dan harus rajin cuci tangan. Tawa mereka tadi pagi menguap. Yati hanya mesem. Rencananya untuk turun ke jalan saat hari buruh bulan depan pun menunggu kepastian dari aliansi. Pagebluk tidak menghendaki mereka untuk berkumpul memenuhi jalan.

“Kata Mas Kasmin akan dipikirkan cara lain. Lagipula memang harus tetap ada tuntutan, peraturan yang resmi sah kemarin itu kita sama-sama tidak sepakat, toh?” kata Emi.

“Aku tidak begitu paham dengan baik, Mbak. Hanya saja kalau teman-teman bilang itu memberatkan kita dan memang begitu, ya saya ikut,” ucap Yati

Sambil melamun, Yati menatap kosong bayi yang ada di gendongannya. Ia tersadar setelah  Kasmin dan Emi berpamitan untuk pulang. Mereka menaruh beberapa bungkus biskuit dan obat masuk angin di meja. Yati tersenyum dan berterima kaih atas kebaikan teman-temannya. Orang bawahlah yang peduli dengan orang bawah, pikirnya. Pagi harinya Yati kembali menggendong anaknya menuju rumah Buliknya sambil menenteng susu sachet satu renteng.

“Bulik, titip dulu ya hari ini, aku hanya punya susu sachet ini. Semoga cukup sampai nanti sore,” katanya.

“Susunya pasti sisa kalau sebanyak ini, Yati. Tapi tak apa kusimpankan untukmu. Loh tapi apa kamu sudah mendapat pekerjaan baru?” kata buliknya heran.

Yati hanya tersenyum.

“Aku akan menemui keadilan, Bulik,” kata Yati.

Malam menjelang dan Yati belum pulang. Ketika buliknya memastikan ke kontrakan, tak ada siapapun. Pintu digembok dan terdapat tulisan “Dikontrakkan”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *