Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Uncategorized

Menelusuri Jiwa Kemanusiaan Wartawan

Wartawan dan tantangan. Dua hal yang renyah didiskusikan. Maria Hartiningsih wartawan Kompas mengatakan kerja wartawan penuh tantangan. Misal, saat ditugaskan di daerah terpencil dengan akses yang sulit.  

PELIPUTAN mengenai bencana alam, kekerasan, dan
kasus kejahatan menjadi tantangan tersendiri bagi wartawan perempuan. Namun
masalah ini dibantah oleh Maria Hartiningsih. Menurutnya, wartawan laki-laki
dan perempuan tak jauh berbeda. Jika dihadapkan pada peliputan konflik,
wartawan laki-laki pun pasti memiliki ketakutan. “Kalau mau pergi liputan pergi
aja. Tak ada pembedaan laki dan perempuan. Tak ada acara liputan ditemani, di
daerah konflik sekalipun. Baik perempuan dan laki-laki,” terangnya, Rabu (13/11).
Pernyataan tersebut mempertegas bahwa acara yang diselenggarakan Dewan Pers
bertajuk “Workshop Khusus Wartawan Perempuan: Peliputan Konflik, Bencana Alam,
Kekerasan, dan Wanita Korban Pemerkosaan” bukan membidik perbedaan tanggung
jawab wartawan perempuan dan laki-laki, tetapi hanya sebatas peserta acara yang
dikhususkan untuk wartawan perempuan.
Bertempat di @HOM Hotel Semarang, acara tersebut
diikuti oleh wartawan perempuan dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa
anggota Lembaga Pers Mahasiswa, wartawan magang, hingga wartawan yang sudah
malang melintang.
Setelah Maria memaparkan wacana mengenai konflik dan
langkah-langkah yang mesti ditempuh untuk meliput konflik, diskusi menjadi
hangat dengan banyaknya peserta yang menceritakan pengalaman meliput bencana
dan daerah rawan konflik. Salah satu peserta, Sinta wartawan Radio KBM 68 H,
menceritakan pengalamannya meliput dan mengisi pelatihan di daerah Paniai, Papua.
“Saat menginap di perumahan warga, malam hari ada beberapa orang laki-laki yang
mencongkel jendela kamar saya. Mereka memberi intimidasi secara lisan. Sampai
dua tahun saya mengalami secondary
trauma,” tuturnya.
Maria mengaku, dirinya juga pernah mengalami secondary trauma lantaran meliput
konflik. Hal tersebut bukan lantas menjadikan Maria takut untuk kembali meliput.
Namun, secondary trauma lebih pada
seorang wartawan yang turut larut meresapi kondisi-kondisi tertentu narasumber.
Wartawan cukup berempati, hindari menunjukkan sikap melekat pada subjek.
Keselamatan Diri
Maria menegaskan, Wartawan harus memperhatikan
keselamatan diri, jangan nekat liputan konflik jika mengancam nyawa. “Tak ada
berita yang lebih penting dari harga sebuah nyawa,” tambah Ninok Leksono
anggota dari Dewan Pers.
Meliput konflik memang seringkali menggugah hati. Mengutamakan
penyelamatan kondisi narasumber terlebih dahulu jika dihadapkan pada kondisi
yang pelik. Disitu naluri wartawan diuji. “Saya akan memilih membawa korban
yang sekarat ke rumah sakit terlebih dahulu, meski saya harus segera
mewawancarai dia untuk tugas liputan. Saya tidak akan mempersoalkan biaya
perawatan dan lainnya,” terang Maria. Berbagai masalah konflik di Indonesia ditengarai
sebab agama, etnis, ras, budaya. “Mestinya hal itu sudah tidak ada lagi. Hal
tersebut deskriminasi luar biasa. Kita bukan lagi bicara agama atau etnis, tapi
bagaimana berbicara manusia dan kemanusiaan,” tegas Maria.
Sebagai pekerja di ruang publik yang penuh kepentingan,
mestinya wartawan dan media tak hanya melulu mengangkat berita mengenai
orang-orang yang sedang berdebat di kursi Dewan. Namun meliput juga bagaimana
kehidupan kaum lemah, kaum terpinggirkan. “Berikan ruang pada mereka, jangan
diabaikan,” tambahnya.
Menurut Maria, dalam memberitakan tentu juga tak
luput dari etika dan naluri. Jangan hanya menuruti pemilik media dengan alasan
persaingan bisnis, mengikuti industri pasar atau selera pembaca, sehingga nilai-nilai
kemanusiaan wartawan hilang. Tapi wartawan juga harus bertanggung jawab. Kirana
D. Prameswari

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *