Dalam menyikapi perubahan zaman tersebut, dan guna membangun wadah curahan gagasan, ide, opini, karya, dan tentunya berita untuk jadi konsumsi publik, situs Linikampus.com diluncurkan.
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2012/07/09/calon-dosen-dari-aktivis-kampus-476430.html
Oleh :
Muchammad Huda Kurniawan(*)
Kampus diibaratkan sebagai miniatur sebuah negara. Anggapan tersebut kerap kali kita dengar. Lalu apa maksud dari anggapan tersebut ? Setiap orang akan berbeda-beda menanggapinya. Ada yang langsung setuju dengan anggapan tersebut, ada pula yang masih mempertanyakannya.
Bagaimanapun, tidak salah jika kampus dianggap sebagai miniatur sebuah negara. Hampir semua sendi-sendi sebuah negara terdapat dalam kampus. Mulai dari pemerintahan, bisnis, penelitian, bahkan rakyat.
Setiap negeri tentu memimpikan seorang pemimpin yang jujur, bersih, tidak korupsi, juga cerdas. Sejalan dengan itu, dalam kampus pun ada orang-orang tertentu yang bertindak sebagai pemimpin, mereka disebut aktivis. Lalu sudah cerdaskah para aktivis di kampus yang merupakan miniatur sebuah negara ?
Tidak dimungkiri apabila seorang aktivis dituntut untuk cerdas. Dia harus mampu memaksimalkan waktu yang dimilikinya untuk kepentingan diri sendiri seperti kuliah juga kepentingan mahasiswa lain seperti urusan advokasi, sebagai event organizer (EO), dan juga ikut memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia yang terlupakan oleh pemerintah. Dia dituntut optimal dalam nilai akademik, juga mampu menyeimbangkan aktivitas di luar perkuliahan.
Belakangan ini, kegiatan-kegiatan yang sering digagas oleh aktivis kampus berupa event yang bertujuan menarik perhatian mahasiswa agar semangat dan turut serta dalam event yang digelar.
Tidak ada salahnya jika aktivis kampus dekat dengan pihak birokrasi kampus, namun jangan sampai kedekatan tersebut membuat aktivis menjadi tidak bisa bergerak bebas. Akhirnya dia selalu mengikuti anjuran serta perintah dari pihak birokrasi kampus entah dalam hal baik maupun yang menyalahi hak-hak mahasiswa.
Pergerakan mahasiswa sekarang lebih marak dengan gerakan #save(..). Ketika turun ke jalan mereka memang menyuarakan tuntutan-tuntutan tertentu, tetapi setelah aksi selesai, tuntutan tersebut ikut selesai dan menghilang begitu saja. Kebanyakan dari mereka hanya sekadar menunjukkan bahwa mereka sudah peka dengan keadaan yang terjadi, lalu dipublikasikan di media dan di share melalui akun social media masing-masing.
Lalu apakah tuntutan yang disuarakan itu sudah didengar oleh mereka yang dituju? Atau justru sebaliknya, hanya menyentil di telinga saja, namun tidak direspon dan ditanggapi.
Alasan tersebut yang menuntut aktivis harus cerdas. Cerdas dalam memberikan solusi, cerdas dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Ketika menyampaikan kritik dan sran kepada pemerintah negeri ini, haruslah disertai data-data yang jelas dan mendukung. Contoh kecilnya ialah ketika menulis makalah yang biasa dilakukan di kampus. Hal ini yang biasanya dilupakan oleh seorang aktivis. Mereka turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi, namun ketika sudah bertemu dengan orang yang dituju (pejabat pemerintahan) menjadi berpuas diri dan kagok menyampaikan aspirasinya. Ketika ditanya mengenai data yang menjadi dasar dari tuntutan yang diajukan, mereka tak bias menjawab dan akhirnya bungkam.
Seorang aktivis itu harus cerdas, dia harus bisa memberikan solusi nyata dan perubahan yang bisa dirasakan oleh rakyat kampus dan rakyat negeri ini. Tidak hanya bisa menjadi perancang sebuah acara atau EO dan pelaksana acara kampus. Namun juga bisa menjadi sebuah agen solusi bagi banyak permasalahan yang saat ini sudah banyak menghampiri negeri ini.