Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Uncategorized

Fenomena ‘Generasi Me’

Sumber : baltyra.com

Oleh: Eva Rafiqoh*
Malam itu syahdu.
Disaksikan meja kayu. Bersama dengan seseorang yang telah membuat kenangan.
Menunggu obrolan dari beberapa persoalan. Ngobrol ngalor-ngidul sudah
menjadi tradisi kami ketika bertemu. Jarang lho generasi Me meluangkan
waktu untuk berjabat tangan dan bertemu. Kehidupan sosial yang seketika berubah
dengan pelayanan supercepat dengan gadget, membuat generasi Me manja
sekaligus malas beranjak.
Sayang ngobrol seru itu,
tak kunjung seru seperti biasanya, tak seru maksudnya. Ia melanjutkan obrolan
“Dalam majalah TIME, rilis 9 Mei tahun 2013, menyebutkan generasi me-me-me atau
generasi aku-aku-aku, bla, bla, ” samar-samar ia meneruskan obrolan –yang
garing itu- yang membahas tentang apalah itu? Sepertinya menarik. Saya mulai
menyimak. Tiba-tiba edyaan orangnya malah ngluyur pergi. Saya
keplak kepala saya! sing di enten-enteni kui, malah wis dipungkasi!
Berawal dari ke-sebal-an
saya terhadap orang itu, eh maksudnya dari obrolan yang tiba-tiba rampung itu,
keesokan harinya saya memutuskan membuat janji dengan PC tercinta.
Bergumul dengan situs-situs web. Maklum saya generasi me, yang bisa
mengakses informasi dengan cepat, bisa kemana saja tanpa beranjak jauh, dengan
teknologi yang super canggih. Hanya dengan seperti itu sudah dapat mengantarkan saya ke  Surga. Percaya
ada Surga di dunia? Kalau saya percaya, ketika apa yang tidak saya ketahui,
saya mencari tahu dan (mungkin) akhirnya tahu, itu Surganya saya di dunia.
Jujur saya baru mengenal
pengklasifikasian generasi dari istilah Greates Generation (Generasi lahir
sebelum 1928), Silent Generation (Generasi tahun
1928-1945), Baby Boomer (generasi  tahun 1946-1964an), Generasi X
(generasi tahun 1965-1979an), dan Generasi Y (Generasi tahun 1982-2000an) atau
generasi Millenia yang diyakini memiliki kesan “Millennials are lazy,
self-entitled narcissists who still live their parent? 
(Ini kata Time
lho 
ya).
Banyak tanggapan pro
maupun kontra terhadap pandangan post-modern ini,  yakni genarasi
Me 
merupakan generasi pemalas, narsis, terkesan individual, cukup
mengabaikan masalah politik, fokus pada nilai-nilai materialistik dibandingkan
generasi-generasi sebelumnya (dikutip dari livescience.com dari USA Today,
2012). Dalam bidang karir, generasi me cukup tidak memiliki komitmen dan loyalitas yang
tinggi, akan berpindah pekerjaan satu ke pekerjaan lain dengan alasan prestise
dan mendapat peluang banyak untuk melakukan traveling. Memiliki ciri-ciri
memakai pakaian yang serba casual dan longgar, menenteng
gadget mereka ke mana-mana, santailah pokoknya.
Setelah saya membaca dan
hasil akhirnya demikian, saya sedikit kecewa sih, galau dan sedikit
tersinggung. Apa benar jika terhitung dari tahun kelahiran, tanpa merasa ikut
campur dalam pengklasifikasian itu termasuk dalam kategori generasi Me, dan
berkarakter semacam itu?  (maklum lagi ya,  generasi Me adalah
generasi yang rawan kritik dan sensitif lho, jadi ikutan galau gak
papa tho? he
Di luar
pengklasifikasian dari generasi ke generasi, yang mungkin justru malah dapat
menimbulkan arogansi dari setiap generasi, bahwa pandangan saya tentang generasi
Me
 (kata Time lho ya) dipengaruhi oleh teknologi
berkembang begitu cepat, terlihat dari bentuk daring tombol abc, ke tombol
qwerty, dan sekarang tinggal usap-usap saja layarnya. Generasi milenial
dituntut agar lebih dapat mengembangkan skill dan daya
kreativitas yang lebih tinggi. Narsisme yang tumbuh dikalangan anak muda di
media sosial digunakan untuk berekspresi diri dan pada akhirnya akan timbul
kepercayaan diri untuk terus berkarya, menulis misalnya.
Ada sebuah artikel yang
menyebutkan  generasi milenial merupakan pribadi yang berpikiran terbuka,
pendukung kesetaraan hak untuk kaum minoritas dan membuka diri terhadap
kepribadiannya, pribadi yang liberal, optimis dan menerima ide-ide baru dan
cara-cara hidup baru, atau kekinian. Karya-karya mutakhir yang terus
berkembang untuk memudahkan dalam pemenuhan kebutuhan manusia tanpa melupakan
prinsip yang ada dapat membantu kelangsungan hidup manusia dibumi demi
kesejahteraan bersama. Itulah obrolan saya, yang pada akhirnya saya
obrolkan dalam tulisan saja. Segala ketidakwarasan pemikiran datangnya
benar-benar dari penulis, bukan dari Time atau artikel-artikel
yang saya rujuk. Bagaimanapun kini, batas antara yang mana waras dan mana edan kian menipis.
Sejatinya generasi
Me, 
tidak dapat dipastikan buruk atau baik. Karena kepastian bukan
hanya masalah iya dan tidak, bukan? Oleh sebab itu perlu disejajarkan dengan
pengetahuan-pengetahuan baru terkait keberlangsungan hidup yang harmonis dari
setiap generasi ke generasi yang memiliki karakteristik masing-masing. Ini
quote dari saya maklum saya generasi me (generasi Me memang
banyak pemakluman ya?) Semestinya Generasi Me itu seperti
Bunglon, bisa beradaptasi di mana saja, dapat mengekplorasi warna apa saja yang
ia punya namun ia tetap disebut Bunglon.

*Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
angkatan 2013

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *