Sampul buku karangan Eka Kurniawan berjudul “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” |
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Eka Kurniawan
2014
252 halaman
PT Gramedia Pustaka Utama
978-602-03-0393-2
Suatu malam, Ajo Kawir dan Tokek mengintip Rona Merah, si janda gila yang sedang mandi. Tanpa disengaja, mereka memergoki dua polisi datang dan memerkosa si janda. Bukannya berupaya mencegah atau menghentikan, Ajo dan Tokek hanya diam. Menikmati pemandangan yang seharusnya tidak mereka lihat. Tatkala Ajo ketahuan, ia diperintah untuk bersenggama dengan Rona. Namun, sayang. Burungnya (red: penis) tiba-tiba tidak bisa berdiri. Tidak mau bangun.
Tidak seperti judulnya yang sangat puitis, novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas mengisahkan tentang petualangan Ajo Kawir dan usaha-usahanya untuk membangunkan burungnya. Tentu saja dalam perpetualang Ajo tidak sendirian, melainkan ditemani seorang sahabat yang sangat setia, Tokek.
Tokek, Sahabat yang Selalu Dirindu
Gagasan mengintip Rona Merah berasal dari Tokek. Bagi Tokek begitu ia memperoleh sesuatu yang menakjubkan, Ajo harus melihatnya juga. Saat tahu ajakannya membawa sial kepada Ajo, Tokek sangat menyesal dan berjanji tidak akan menggunakan burungnya untuk perempuan manapun di dunia sebelum burung Ajo Kawir dapat berdiri lagi.
Rasa bersalah Tokek semakin menjadi saat melihat Ajo tertekan dalam hidupnya, meskipun Ajo sendiri tidak pernah menganggapnya. Dalam suatu percakapannya dengan Ajo, terlihat Tokek berupaya keras menebus kesalahannya dengan cara apa pun. ”Jika aku bisa berikan kuntulku kepadamu, akan kuberikan sekarang juga,” katanya sekali waktu (hlm. 5).
Tokek sebagai seorang sahabat adalah paket lengkap. Setia, mendahulukan kepentingan sahabatnya terlebih dahulu dibandingkan kepentingannya, pantang membuka aib sahabat, dan memiliki sense of humor yang tinggi untuk menghibur Ajo yang galau. Realitas sekarang akan sulit menemukan sahabat ideal seperti Tokek. Beruntunglah Ajo mempunyai Tokek.
Tidak hanya Tokek, Eka mampu menghadirkan tokoh-tokoh fiksi lain dalam novel ini yang membuat pembacanya kesengsem. Tokoh utamanya Ajo Kawir adalah laki-laki yang gigih memperjuangkan perempuan yang dicintainya, Iteung. Ia sangat teguh ketika mengakui kekurangan burungnya kepada Iteung saat melamarnya. Cinta Ajo pun tidak hilang, bahkan setelah ia tahu Iteung hamil dengan orang lain.
Tokoh lainnya, Iteung, adalah perempuan yang digambarkan sebagai pendekar yang pandai berkelahi. Pengalaman pelecehan seksual yang dilakukan oleh gurunya sendiri meninggalkan trauma yang mendalam. Sehingga Iteung belajar silat untuk melindungi miliknya yang paling berharga dari laki-laki.
Dipenuhi dengan tokoh-tokoh yang dapat membuat pembaca jatuh cinta, novel ini dapat dikategorikan bacaan vulgar karena terdapat adegan-adegan seks, persetubuhan, remas-meremas, dan adegan lainnya yang secara gamblang ditulis Eka. Barangkali pembaca era-80 sampai 90’an akan menganggap Eka adalah the next Fredy S. Fredy S. adalah pengarang yang lekat dengan novel stensilan berbau seks dan erotisme. Namun, antara Fredy S. dan Eka Kurniawan jelas memiliki perbedaan. Jika novel-novel Fredy S. adegan seks-nya ditulis secara sadar sebagai cerita utama, Eka Kurniawan tidak melakukan seperti itu. Adegan seks digunakan Eka untuk membangun cerita utama.
Hal terpenting dari novel yang cukup menyita perhatian ini adalah burung yang dianalogikan sebagai hati nurani manusia. Burung Ajo Kawir menyaksikan pemerkosaan, tetapi hanya diam saja dapat diibaratkan sebagai hati nurani manusia yang melihat kejahatan tetapi tidak melawan bahkan membiarkannya. Semakin diperparah lagi ketika pelaku kejahatan berasal dari aparat penegak hukum. Barangkali melalui burung Ajo Kawir, Eka ingin menyampaikan keresahannya terhadap kondisi Indonesia saat ini. Di mana kejahatan pun dapat dilakukan oleh orang yang seharusnya menangkap pelaku kejahatan.