Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Buku Uncategorized

Memahami Hidup dari Bulan


Kepada langit yang menyimpan takdir.
Izinkan aku sedikit menyingkap awan.
Untuk mengintip untaian doanya.
Agar kudapati lipuran lara, atas rindu yang seharian ini tak
jera menggoda.
Rindu – Resmiyati

Dibuka dengan puisi berjudul ‘Rindu’,
buku kumpulan puisi bertajuk Membelah Bulan yang dikarang oleh Resmiyati
tampak biasa-biasa saja. Mudah ditebak karena memakai kata “bulan”, berbagai
puisi yang dicipta guru SMA Negeri 1 Klaten ini bergelimang diksi semacam
langit, awan, dan malam. Nah, apabila Anda memposisikan diri sebagai pembaca,
di lembar pertama Anda membaca sudah muncul pikiran bahwa puisi-puisi selanjutnya
akan membosankan, isinya itu-itu saja, lantas menutup antologi ini dan
menggantinya dengan buku lain yang lebih “wah”, dapat dikatakan: Anda salah
besar! Tetaplah bertahan untuk menyelesaikan paling tidak sampai puisi ketiga.
Beranjak ke puisi kedua, yakni judul yang
digunakan penulis untuk mewakili semua kumpulan puisinya, ‘Membelah Bulan’,
barangkali Anda akan mengernyitkan kening dan berkata dalam hati: “Puisi macam
apa yang sampai lima halaman?”. Kerutan di dahi Anda memang tak salah. Lazimnya,
puisi yang Anda kenal dan baca hanya memiliki satuan sampai puluhan baris,
sedangkan beberapa puisi yang ada dalam buku ini bisa mencapai ratusan baris.
Anda mulai menemu sesuatu yang janggal.
Prie GS dalam pengantar buku ini
terang-terangkan mengatakan: (Bukan) Puisi Biasa Saja. Prie mengamati
diksi-diksi yang kerap muncul seperti “jeruu”, “men”, “nemen”,
yang digunakan seolah menerangkan bahwa penulisnya tidak paham bagaimana
menulis puisi yang benar. Tapi, jika melihat status penulis sebagai guru Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia, agaknya Resmiyati hanya pura-pura tidak tahu dan
menyimpan sebuah alasan. Alasan itu, kata Prie, adalah kehendak bebas. Bebas
berkata-kata dan bebas mengekspresikan suasana personalnya. Pada bagian ini,
Resmiyati sudah melampaui tujuan penciptaan puisi untuk aktualisasi diri. Lebih
dari itu, Resmiyati telah mencapai level kebebasan paling tinggi bagi seorang
penulis: tidak peduli dengan apa yang dipikirkan pembaca tentang tulisannya.
Yang terpenting adalah menulis, menulis, dan menulis selamanya.

Memasuki lembar berikutnya, Anda akan
disuguhi kejutan manis yang menyentak, kisah perempuan Bardiyem dan lelaki
Harjo Sayoto yang terangkum apik dalam puisi berjudul ‘Katresnan’.
Kening-kening Anda yang berkerut, perlahan luruh, dan tergantikan dengan
meruaknya tangis. Puisi ‘Katresnan” menyajikan kehidupan. Ada sesuatu yang
hidup dalam puisi-puisi karangan Resmiyati: sebuah kejujuran. Nah, jika setelah
membaca puisi ketiga, Anda tidak segera menyelesaikan buku ini, hanya ada satu kesimpulan:
Anda sedang membohongi diri. Anda tidak jujur.
Sederhana, Mengalir, dan Jujur
Sejak Adam dan Hawa terusir dari Nirwana
kemudian pindah ke Bumi, bulan sudah menggantung di angkasa. Sejak zaman
ceplik, sampai sudah ada listrik, bulan masih setia menemani setiap malam.
Setelit alam satu-satunya di planet ini seolah tidak pernah jemu untuk hadir,
meski seringkali keberadaannya tidak dihiraukan oleh manusia yang aktivitasnya
terlalu hiru-pikuk. Buat apa memedulikan bulan, jika perut saja masih belum
kenyang. Buat apa menghabiskan waktu memikirkan bulan, jika demokrasi masih
setengah jalan. Namun, suatu ketika bulan marah. Dia ingin memastikan, masihkah
ada orang yang benar-benar peduli padanya? Dan cara paling kejam untuk
menyadarkan seseorang tentang arti memiliki adalah kehilangan. Jika bulan tidak
menemukan tak seorang pun yang perhatian kepadanya, dia memutuskan untuk
berhenti berotasi dan menghilang dari balik bumi. Apa yang akan terjadi?
Sampai dengan sekarang, ternyata bulan
masih bersinar terang. Jika cerita tentang bulan di atas benar, maka masih ada
orang yang peduli kepadanya. Salah satunya barangkali Resmiyati. Penulis
kelahiran Klaten, 5 Agustus 1971 ini, seolah memiliki daya tarik yang kuat
terhadap bulan. Dia menyadari banyak sekali hal yang dapat dipelajari dari
bulan. Sebagai contoh adalah puisi ‘Membelah Bulan’ yang menceritakan seseorang
perempuan yang sedang patah. Perempuan itu marah kepada bulan karena diam saja
ketika menyaksikan deru jantung kekasihnya beku. Si perempuan kemudian mengecam
sang bulan, lalu membelahnya menjadi dua. Kalau dicermati, melalui tokoh
wanita, Resmiyati ingin menyampaikan pesan sederhana: manusia lebih sering
menyalahkan, terlebih ditujukan kepada seseorang yang sebenarnya diam dan tidak
melakukan kesalahan apa pun.
Contoh di atas adalah satu dari sekian
hal yang dapat dipelajari Resmiyati tentang bulan. Jika menuntaskan kumpulan
puisi ini, pembaca yang jeli dapat menemukan pesan-pesan sederhana, kata-kata
yang mengalir lancar, dan makna kehidupan yang disampaikan dengan jujur. Maka
tidaklah heran, jika beberapa sahabat yang pernah membaca mengatakan bahwa
Resmiyati tak sekadar berpuisi, dia hidup dalam puisi-puisi karangannya.
Membedah satu sampai tiga puisi Resmiyati
dalam buku ini menghabiskan paling tidak tiga halaman. Maka, bayangkan ada
sekitar 100 puisi dalam buku ini, berapa jumlah halaman yang akan dihabiskan
untuk mengungkap kandungan pesan moralnya. Sehingga, bagi Anda yang memiliki
ketertarikan terhadap puisi, kritukus sastra, atau hanya pembaca yang ingin
mendapatkan bahan bacaan segar nan kaya makna, buku ini sangat disarankan. Dan
sebagai informasi tambahan, karena tidak disediakan keterangan untuk diksi yang
diambil dari bahasa asing dan bahasa Jawa, pastikan ketika membaca tersedia kamus
atau tesaurus.
Susi Lestari
Redaktur Pelaksana Tabloid NuansA

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *