Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Buku Uncategorized

Pemimpin Berkaca pada Ramayana-Mahabharata

Judul Buku     : Ajaran-Ajaran Emas Ramayana-Mahabharata
Penulis        : Petir Abimanyu
Penerbit        : Laksana
Tahun Rilis    : 2014
ISBN        : 978-602-296-038-6

“Kebahagiaan rakyat adalah kebahagiaan raja, kesejahteraan rakyat adalah
kesejahteraan raja, kesejahteraan raja bukanlah apa-apa yang diinginkan
raja, namun apa yang menjadi kesukaan rakyat, itulah kesejahteraan
raja,” – oleh Petir dari kitab Artah Sastra.
Masyarakat Indonesia tentu tidak asing lagi dengan dua epos klasik Ramayana-Mahabharata. Perjuangan Rama dalam mengalahkan Rahwana menunjukkan kegigihan dan keberanian yang patut diteladani. Tak jauh beda dengan kisah Mahabharata yang menceritakan dahsyatnya perang Baratayudha antara Pandhawa dan Kurawa. Keduanya memiliki pesan yang perlu diteladani.
Buku karangan Petir Abimanyu ini mengulas ajaran-ajaran emas yang ada dalam kedua kisah tersebut. Petir mengulas pesan dalam masing-masing kitab Ramayana dan Mahabharata. Ajaran emas kisah Ramayana diulas di bab pertama sedangkan, Mahabharata di bab kedua. Walaupun dari kisah yang berbeda, keduanya mempunyai satu ajaran emas yang sama, yaitu tentang kepemimpinan.
Usia kedua kisah tersebut sudah berabad-abad, namun pesan-pesan dalam cerita tersebut masih sangat relevan dengan kehidupan saat ini. Ajaran mengenai kepemimpinan sangat kental ditunjukkan dalam buku tersebut. Bagaimana Rama menjadi seorang raja yang benar-benar mengabdi kepada rakyatnya serta Yudhistira yang begitu bijaksana. 
Kesenangan Rakyat Prioritas Utama
“Kebahagiaan rakyat adalah kebahagiaan raja, kesejahteraan rakyat adalah kesejahteraan raja, kesejahteraan raja bukanlah apa-apa yang diinginkan raja, namun apa yang menjadi kesukaan rakyat, itulah kesejahteraan raja,” – oleh Petir dari kitab Artah Sastra. (hal 62)
Begitulah Rama memperlakukan rakyatnya. Menjadikan kesenangan rakyat sebagai prioritas utama, meskipun harus mengorbankan kebahagiaan pribadinya. Terbukti ketika Rama mengasingkan Shinta karena terdengar kabar bahwa Shinta sudah tidak suci lagi. Rama pun melakukan itu demi ketenangan rakyatnya. 
Rama dikisahkan sebagai seorang pemuda yang tampan, menyenangkan, ramah dan pemberani. Penampilannya tenang, selalu berbuat adil, dan mampu mengalahkan musuh yang terbesar, yaitu kemarahan. Ia selalu mengingat kebaikan orang lain, sekecil apapun itu. Tetapi kebaikannya kepada orang lain justru akan dilupakannya. Ajaran kepemimpinan dalam Ramayana disebut astha brata.
Petir mengulas ajaran-ajaran Ramayana tentu bukan tanpa maksud. Di tengah perseteruan para pemimpin yang berebut kursi untuk sebuah jabatan, tentu sosok Rama perlu untuk dikenal. Apabila pemimpin-pemimpin masa kini mau berkaca pada kisah ini, seharusnya mereka merasa malu. Karena tidak seperti Rama, mereka justru menjadikan rakyat sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri dengan korupsi. 
Setia pada Kata-kata
Satya wacana merupakan salah satu aspek yang dikupas oleh Petir dari kisah Mahabharata. Salah satu tokoh yang menjalankan satya wacana ini adalah Karna, putra dari Dewi Kunti. 
Ketika Karna akan perang melawan Pandawa, Dewi Kunti baru memberitahu Karna bahwa dia adalah ibu kandungnya. Itu berarti, jika Karna tetap berperang maka ia akan melawan saudaranya sendiri (Pandawa). Dewi Kunti pun meminta Karna agar bergabung dengan Pandawa, namun Karna menolak. 
Karna berjanji pada Ibunya bahwa ia tidak akan membunuh saudaranya dalam peperangan. Karna berhasil mengalahkan Bima, Nakula, dan Sadewa. Tetapi tidak membunuh mereka. (hal 256)
Tokoh-tokoh dalam kisah Mahabharata menampilkan karakter yang berbeda. Sebut saja Drupadi yang setia pada Pandawa, rela terlunta-lunta diasingkan ke hutan selama bertahun-tahun. Arjuna dengan jiwa ksatrianya rela diasingkan ke hutan karena masuk ke kamar Yudhistira dan Drupadi. Meski yang ia lakukan demi kebaikan, yaitu untuk menyelamatkan orang lain. Destarastra yang memegang teguh ucapannya, bahwa ia akan menjadikan Yudhistira sebagai raja, meskipun membuat kurawa iri. 
Berbicara tentang kesetiaan kata-kata, tidak berbeda jauh dengan amanah. Seorang pemimpin tentu dituntut untuk amanah, apa yang diucapkan harus mampu dibuktikan, bukan hanya sekedar ucapan belaka. Namun nyatanya, berapa banyak pejabat yang korupsi di Indonesia? Jawabannya tentu tidaklah sedikit. Setiap hari ada saja berita tentang korupsi. Padahal, sebelum mereka menjabat tentu banyak ucapan yang mengandung janji-janji yang menggiurkan rakyat. Setelah mereka menjadi seorang pejabat, ternyata mereka terlena dan lupa akan janji-janjinya dulu. Lupa akan tanggung jawab yang sedang diemban. Atau memang sengaja melupakan. Entah.
Petir Abimanyu dengan cerdik telah mengupas ajaran emas dari Ramayana- Mahabharata ini. Pemimpin-pemimpin yang terus mengejutkan rakyat dengan kasus korupsinya, saya rasa perlu berkaca pada kisah yang berasal dari India ini. 
Kedua kisah klasik yang juga dikisahkan melalui pewayangan ini memiliki pesan moral yang relevan dengan kehidupan saat ini. Kisah Ramayana yang dikenal di Indonesia mulai sekitar 7-8 abad yang lalu dan kisah Mahabharata yang disadur ke dalam bahasa Melayu dan ditulis dengan huruf Jawi (Kawi) pada abad ke-15 ini, nyatanya masih sangat sesuai untuk dijadikan teladan bagi pemimpin- pemimpin negeri ini.
Selamat mengemban amanah, para pemimpin! Jangan lupa berkaca! [Sibad]

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *