Masyarakat Indonesia memiliki keberagaman. Keberagaman tersebut memunculkan permasalahan sosial. Seperti tidak meratanya pendidikan, kemiskinan, perkembangan teknologi yang tidak diikuti dengan pencerdasan masyarakat sehingga, memunculkan konflik-konflik baru yang mengganggu kebhinekaan.
Lini Kampus – Mahasiswa Kurikulum dan Teknologi Pendidikan (KTP) Universitas Negeri Semarang (Unnes) mengadakan Seminar Nasional yang diselenggarakan di Aula C7 Fakultas Ilmu Sosial. “Sinergi Masyarakat Madani dalam Merawat Bhinneka Tunggal Ika” menjadi tema acara, yang dihadiri tiga pembicara yaitu, Fadilla M. Apristawijaya, Prie G.S, dan Septiaji Eko Nugroho, Sabtu (6/5).
Tema ini diangkat oleh panitia untuk mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang muncul, yang mana masyarakat madani dapat diartikan sebagai suatu corak kehidupan masyarakat yang terorganisir, mempunyai sifat kesukarelaan, keswadayaan, kemandirian, namun mempunyai kesadaran hukum yang tinggi.
Realitasnya, masyarakat Indonesia memiliki keberagaman. Keberagaman tersebut memunculkan rasa toleransi yang tinggi. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwasanya permasalahan-permasalahan sosial di Indonesia tetap terjadi.
Seperti tidak meratanya pendidikan, kemiskinan, perkembangan teknologi dengan tidak diikuti pencerdasan masyarakat dalam memilih sebuah berita yang tersebar dipelbagai media. Hal ini karena kurangnya disiplin Verifikasi. Dan banyak hal lagi, jika tidak diantisipasi mampu memicu terjadinya konflik-konflik baru.
Fadilla M. Apristawijaya sebagai relawan Program and Development “Sakola Rimba”, membuktikan ketidakmerataan pendidikan di Indonesia dengan memperlihatkan potret pendidikan di Rimba, daerah pedalaman Provinsi Jambi.
“Semua kondisi ini dengan keberagaman, dengan keterbatasan yang kita punya, pendidikan Indonesia hanya menawarkan satu kurikulum, satu pendidikan formal. Dari keberagaman, kita punya Ujian Nasional yang menjadi satu-satunya tolak ukur kompetensi siswa. Memang ada pendidikan formal, tetapi paket A, B, C, dan soalnya sama dari Aceh hingga Papua. Soalnya sama, kurikulumnya sama, dari yang tinggal di hutan, di kota, di pinggir laut, bahkan tengah laut pun kurikulumnya sama. Ini menjadi refleksi kita semua. Yang dapat diperbuat adalah membangun interkultural, kemampuan dalam diri kita untuk memahami budaya mereka dengan cara menekan belajar dan rendah hati. Itu kuncinya,” tegas Fadilla.
Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan bangsa Indonesia. Bangsa ini beragam, banyak suku bangsa, agama, dan hal ini membutuhkan perhatian masyarakat bahwa faktanya kita diciptakan dari keberagaman.
“Bapak pendiri bangsa kita membekali dengan jargon Bhinneka Tunggal Ika. Ketika kita berbeda, sesungguhnya kita harus tetap menjaga ranah kita masing-masing. Seperti kambing yang kita paksa untuk menggonggong. Kita tidak harus menjadi orang lain, tetapi kita bisa menjadi diri sendiri dengan kita harus tetap menghargai orang lain,” ujar Septiaji Eko Nugroho sebagai Founder Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Anti Hoax) dalam merefleksikan keberagaman dan fenomena hoaks di Indonesia.
Septiaji Eko Nugroho pun menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara di atas Amerika dalam mengakses Internet, tetapi hanya 20% masyarakat Indonesia yang bisa mengakses internet.
Lain halnya dengan kedua pembicara, Prie G.S berpendapat, kebhinekaan adalah dimana yang besar harus menahan diri dan yang kecil harus tahu diri. Seperti kebahagiaan yang tercipta seperti aset, tetapi jangan berubah menjadi leability (keuntungan). Dalam menyampaikan materi, Prie G.S menunjukkan gambar-gambar setengah frame yang kemudian ditunjukkan full framenya, seperti realita Indonesia yang tidak bisa dipandang sebelah mata, tetapi harus secara luas dan menyeluruh. [Emka/Lala]