Lini Kampus – Berkaitan dengan adanya KKN berbayar, mahasiswa masih belum menyetujui hal tersebut. Berawal dari diskusi BEM KM pada 1 Mei 2017 lalu hingga minggu kemarin, diskusi terkait KKN berbayar masih berlangsung di fakultas, seperti FIP, FE, FIS, FT, FMIPA, FH. Hasil yang didapatkan pun masih sama yakni mahasiswa yang mengikuti diskusi menolak KKN berbayar.
Ketika diskusi bersama BEM KM dan Ngabiyanto selaku pembina BEM KM (1/5), salah satu mahasiswa dari Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Prihantoko berpendapat bahwa Kuliah Kerja Nyata adalah salah satu mata kuliah yang mempunyai SKS. Namun, hanya tidak dilaksanakan di area kampus. Jika pada saat kuliah biasa kita dapat menikmati fasilitas kampus dan hal ini tidak dipungut iuran. Lalu, saat kita melaksanakan KKN yang pada dasarnya adalah salah satu SKS yang harus dipenuhi, dan disini kita tidak menikmati fasilitas kampus. Akan tetapi, kita diharuskan untuk membayar sejumlah iuran. “Terus kemana UKT kita?” tambahnya.
Mayoritas mahasiswa yang mengikuti diskusi (1/5) menolak apabila KKN dipungut biaya atau iuran. Salah satu mahasiswa Fakultas Teknik yang mempunyai UKT sebesar Rp 7.500.000,00 merasa keberatan dengan adanya KKN berbayar. “Semester ini saya hanya melaksanakan KKN dan tidak ada mata kuliah lain. Dengan UKT saya yang besar, lalu KKN masih harus membayar, UKT saya yang 7,5 juta itu kemana?,” ujar Aisyah.
“Permasalahannya bukan KKN itu berbayar, tetapi kami mempertanyakan ketunggalan UKT. Bisa jadi nantinya UKT akan dipreteli satu-satu, dengan diawali bayar KKN ini,” tanggap Ivan, ketika berdiskusi di depan PKM Fakultas Ilmu Pendidikan (6/5).
Sama halnya dengan Aliyah Afifah Salma, mahasiswa jurusan Psikologi 2014 berpendapat, masih banyak kebutuhan KKN lain yang harus dipenuhi mahasiswa secara pribadi, sehingga jumlah biaya yang keluar semakin banyak. “Yang dipertanyakan adalah uang UKT tunggal untuk apa? Terus peraturan dikti kan keluar pada tahun 2016, nah seharusnya angkatan KKN 2014 belum dikenai biaya tersebut, dan berlaku untuk KKN angkatan 2016 dua tahun mendatang,” imbuhnya ketika diwawancarai (2/5).
Muhamad Nur Sahid mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris juga berpendapat bahwa tidak merasa diberatkan jika alokasi dananya jelas. “Jika alokasinya jelas larinya kemana, saya bersedia bayar. Jika rencana yang dibayarkan seperti jaket, percuma kalau tidak layak, mending buat sendiri. Tetapi alokasi yang dibayarkan oleh mahasiswa itu tidak jelas kok, ya saya tidak bersedia,” katanya (4/5). [Tim HL]