Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Feature Uncategorized

Ketika Kata-Kata Wiji Thukul Menyapa Mahasiswa

Dok. BP2M/Doni. Musikalisasi puisi dari salah satu mahasiswa Unnes di pelataran PKMU, Selasa (29/8).

Sembilan belas tahun hilangnya Wiji Thukul tidak membuat kata-katanya binasa. Malam itu, Selasa (29/8) kata-kata Wiji Thukul hadir menyapa mahasiswa Unnes untuk terus melakukan pergerakan.

Semarang, Linikampus.com – Beberapa mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) tampak berkumpul menyaksikan suguhan puisi karya salah satu sastrawan yang terkenal dengan ‘Hanya ada satu kata: Lawan!’-nya. Digagas oleh Mahasiswa Bergerak dan DPC Permahi Semarang serta didukung oleh Gusdurian Unnes.

Acara yang bertemakan Satu Malam Bersama Wiji Thukul “Aku Masih utuh dan Kata-kata Belum Binasa” digelar di pelataran gedung Pusat Kegiatan Mahasiwa Umum (PKMU) malam itu, Selasa (29/8).

Pelataran pentas didekorasi cantik dengan dua pionering dari kayu pada sisi kanan dan kirinya. Tiga obor kecil dari bambu menyinari wajah-wajah mahasiswa yang membawakan puisi karya Wiji Thukul. Lampu sorot kecil pun semakin memperjelas ekspresi mereka.

“Panggung seni ini berkonsep bebas, sehingga siapapun yang berkenan untuk tampil membacakan puisi sangat dipersilahkan,” ujar Ignatius Rhadite.

Ketika sampai di lokasi, puisi pertama yang menyapa kami, tim BP2M, adalah Ceritakanlah Ini Pada Siapa Pun yang ditampilkan oleh Julio Belnanda Harianja, mahasiswa Fakultas Hukum. Sesekali Julio mengangkat tangannya yang mengepal dan menunjuk, berteriak, serta mengerutkan dahinya ketika membaca puisi.

Lain halnya dengan Riono Prabowo, mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan yang menampilkan musikalisasi puisi dengan membawakan tiga pusi karya Wiji Thukul diantaranya, Kebenaran Akan Terus Hidup, Apa Guna dan Peringatan. Ia mengaku terinspirasi dari anak sang sastrawan, yakni Fajar Merah.

Adapun aktivis mahasiswa yang suka menulis puisi yakni Prihantoko Nugroho, mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan. Lelaki yang biasa disapa bung Toko itu turut membacakan puisi Wiji Thukul yang berjudul Momok Hiyong yang bertanggal 30 September 1996.

“Besar harapan kita bahwa kawan-kawan yang ada disini nantinya tidak hanya menggunakan ilmu yang sudah diajarkan di perguruan tinggi untuk diri sendiri, tetapi juga untuk membantu dan menolong rakyat,” ujar bung Toko sebelum membaca puisi.

Selain itu, bung Toko juga membacakan puisi karyanya sendiri yang berjudul Jarah Menjarah.

Semakin malam, pelataran PKMU semakin sepi. Satu per satu penonton meninggalkan pentas tersebut. Mendekati akhir acara, kata-kata Wiji Thukul terdengar jelas dan apik beriringan dengan lagu Darah Juang.

Mutaqim menerangkan, konsep panggung seni ini sesuai dengan momen hari lahirnya Wiji Thukul pada 26 Agustus 1963. Tak hanya itu, ia berharap agar mahasiswa tidak lupa dengan sebuah pergerakan dan berani bergerak demi kepentingan orang banyak.

“Puisi karya Wiji Thukul dapat diterima pada lapisan masyarakat manapun. Dia pernah bicara tentang Papua,  Timor Leste, apalagi Jawa. Berbicara juga tentang buruh tani yang tertindas. Selain itu, Wiji Thukul juga salah satu vokal pergerakan mahasiswa di tahun 90-an terutama pada rezim pak Soeharto,” jelas Mutaqim malam itu (29/8). [Sizum/Lala]

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *