CerpenUncategorized

Sepotong Roti Sobek


Oleh : Vitra Fhill Ardy
Kumisnya lebat. Seperti tokoh pak RT dalam sinetron-sinetron yang kerap berselingkuh dengan seorang janda. Tapi, ia bukan pak RT. Ia hanyalah penggemar Iwan Fals di masa muda yang kalau kau berkunjung ke kontrakannya, atau sekadar berada di depan kontrakannya, akan melihat tulisan “DKSH”-akronim dari judul lagu Iwan Fals yaitu Damai Kami Sepanjang Hari-di pintu kontrakannya yang ditulis menggunakan spidol permanen warna hitam. Dan kumisnya yang lebat, memang karena sudah lama tidak dipotong alias tidak diurus.
Sekarang, ketika matahari mulai menyengat, jalanan mulai ramai dan orang-orang tua mengantar anaknya ke sekolah menggunakan sepeda motor, ia sedang duduk di pos ronda kampung yang modern. Disebut begitu karena fondasi pos ronda tersebut terbuat dari semen, tidak seperti yang tradisional terbuat dari bambu. Kedua kakinya uncang-uncang dengan tatapan matanya yang kosong. Kepalanya selalu memakai topi berlambang setrip tiga dan di sisi kiri-kanan kepalanya terlihat ubannya yang banyak meski usianya masih 36 tahun.  Bajunya yang awalnya berwarna putih bertuliskan SBY-MJK sudah berubah menjadi kecoklatan. Sesekali ia tersadar untuk membalas sapaan ketika ada orang yang melintas di depannya menyapanya.
Hingga orang-orang tua yang mengantar anaknya tersebut kembali lagi dengan keadaan sendiri pun, ia tetap duduk di pos ronda. Dan di saat seperti itulah, Beni akan memberi Ru’man sepotong roti sobek yang dibelinya dari warung  Mpok Nipeh, yang roti tersebut diberikan kepada Ru’man ketika Beni hendak berangkat sekolah. Itu semua dilakukan Beni  karena perintah ibunya.
“Mengapa kamu selalu memberi roti kepada orang gila itu?” tanya teman Beni.
“Disuruh ibuku,” Beni menjawab.
Ya, Ru’man adalah orang yang setengah waras, kalau tidak mau disebut gila. Ia akan mandi di sumur setiap pagi dan sore, membalas sapaan orang-orang yang menyapanya, atau ia yang menyapa orang-orang pertama kali. Namun kalau diajak berbicara panjang ia akan melantur. Selain itu ia tidak bekerja. Pabrik permen tempat ia bekerja dulu sudah tidak mau menerimanya. Dan kegiatan sehari-harinya hanyalah duduk di pos ronda dan akan makan roti sobek pemberian Beni setiap pagi. Maka tak heran, kalau warga sekitar memberinya julukan “orang gila penghuni pos ronda.”
Dan karena tidak mempunyai pekerjaan, otomatis Ru’man sudah berbulan-bulan tidak membayar kontrakan. Mpok Rum, pemilik kontrakan tersebut mengikhlaskan satu kontrakannya karena ia tahu kondisi Ru’man, dan Ru’man pun tidak akan mau kembali ke kampung halamannya.
Pernah suatu waktu warga sekitar berinisiatif membawa Ru’man untuk kembali ke kampung halamannya di Sragen. Dan berhasil. Dua minggu kemudian, entah uang dari mana dan diantar oleh siapa, Ru’man kembali lagi. Menempati kembali kontrakan Mpok Rum yang ketika dua minggu perginya Ru’man, belum ada peminatnya. Dan, penyebab Ru’man seperti sekarang ini, adalah kejadian yang terjadi sepuluh tahun yang lalu.
***
“Pokoknya, ayah tidak setuju kalau kamu menikah dengan Ru’man!” tegas ayahnya Lisa, yang sedang berdiri dan kedua tangannya sekarang berada di pinggang.
Lisa yang duduk di kursi ruang tamu hanya diam saja ketika mendengar ucapan ayahnya.
“Mau dikasih makan apa kamu kalau menikah dengan Ru’man? Hah?” katanya lagi. Nadanya kasar.
Lisa diam lagi. Tak berani menjawab.
“Dengar, ya. Joni lebih mapan. Hidup kamu bakalan terjamin. Ayah mau kamu sama Joni.”
Cinta tak bisa dipaksakan, Yah, kata Lisa dalam hati.
Ayahnya Lisa marah karena lima belas menit sebelumnya, Ru’man datang ke rumah Lisa untuk mempersunting anaknya. Meminta izin untuk menikahi Lisa namun ayahnya hanya memberi jawaban yang tak pasti. Tidak mengiyakan, juga tidak menolak. Setelah Ru’man pergi, Lisa dimarahi.
Tentu saja ayahnya Lisa yang notabene pak camat tidak setuju. Apalagi yang ingin menikahi anaknya hanyalah seorang buruh pabrik permen. Terlebih, Joni, yang notabene bawahannya, juga menyukai anaknya. Memang, perjodohan adalah hal yang lumrah di desanya.
Yang namanya cinta, kita tidak pernah tahu. Awalnya begini. Tiga tahun yang lalu karena kejadian yang tidak disengaja, Ru’man dan Lisa bertemu. Lisa, yang saat itu berusia 22 tahun adalah seorang sarjana, lalu bekerja di perusahaan yang lumayan besar, untuk mencapai kantornya harus beberapa kali menaiki angkutan umum.
Sedangkan Ru’man, yang saat itu berusia 23 tahun adalah perantau yang ingin mengubah nasib di Jakarta. Lalu bekerja di pabrik permen dan untuk mencapai tempat kerjanya, perlu naik angkot satu kali atau bisa berjalan kaki kalau ingin. Sore itu, ketika langit sedikit gelap dan angin kencang berhembus melalui jendela angkot yang dibuka setengah, rambut Ru’man tertiup. Tak lama angkot berhenti, seorang wanita yang rambutnya sebahu menaiki angkot tersebut dan duduk di sebelah Ru’man. Lalu mata mereka berdua bersitatap seolah sudah saling mengenal.
Dan memang keduanya sudah pernah melihat satu sama lain, karena rumah Lisa tak jauh dari kontrakan Ru’man. Akhirnya Mereka berbasa-basi kemudian turun di tempat yang sama. Lalu berjalan beriringan dan berpisah menuju rumah masing-masing.
Yang namanya cinta, kita tidak pernah tahu. Sore selanjutnya, Ru’man dan Lisa seangkot lagi. Lantas Keduanya bertukar nomor handphone, lalu saling berhubungan. Lisa yang cantik kesengsem oleh Ru’man yang tampan, dan Ru’man yang tampan kesengsem oleh Lisa yang cantik. Sebulan kemudian mereka berdua berpacaran, dan malam minggu-malam minggu mereka berdua hampir selalu diisi dengan mampir ke kedai Nasi Goreng Mang Udin. Sederhana dan penuh cinta. Oh, sama seperti pasangan-pasangan yang lainnya, pertengkaran di antara mereka berdua pun kerap terjadi. Tapi itu semua bisa diatasi. Tiga tahun kemudian, Ru’man bertekad untuk menikahi Lisa dengan segala daya dan upaya.
Yang namanya cinta, kita tidak pernah tahu. Ru’man telah mengetahui kalau orang tua Lisa tidak menyetujui hubungan mereka berdua. Lima belas menit yang lalu adalah buktinya, ketika ayahnya Lisa tidak memberikan jawaban yang pasti. Harapannya pupus.
Esok harinya, Lisa minta minggat. Ru’man tidak mau. Namun akhirnya luluh juga. Mereka berdua kabur dari rumah masing-masing dan menyewa sebuah kontrakan yang jaraknya jauh dari rumah, lalu tinggal bersama. Orang tua Lisa baru sadar kalau Lisa kabur ketika anaknya tidak pulang hari itu. Kemudian orang tuanya melaporkan ke polisi kalau Lisa diculik. Hari demi hari yang dilalui oleh Ru’man dan Lisa membuat mereka berdua tertekan. Polisi masih terus mencari, Ru’man dan Lisa semakin tertekan dan seminggu kemudian mereka berdua ditemukan.
Ru’man akhirnya dipenjara. Ia dikriminalisasi. Dijadikan tersangka dengan dakwaan penculikan Lisa. Di sisi lain, Lisa hamil. Akibat hubungannya dengan Ru’man. Ayahnya marah besar. Sebulan kemudian Lisa dan Joni menikah, Joni bisa menerima keadaan Lisa yang sedang mengandung anak yang bukan dari darahnya sendiri.
Beberapa bulan kemudian, Lisa mendatangi Lapas tempat Ru’man dibui. “Kamu bisa lihat ini?” Lisa menunjuk perutnya yang membesar.
“Anakmu?” Ru’man membalas.
“Anak kita. Dan aku, aku sudah menikah dengan Joni, dijodohi oleh Ayah. Dan ia mau menerima keadaanku,” kata Lisa. Kemudian air matanya menetes.
Ru’man tak menjawab. Air matanya lah yang berbicara.
Sejak itu, kondisi psikologis Ru’man terganggu. Sembilan bulan sudah, Lisa melahirkan Beni. Dan kini, Beni telah mempunyai seorang adik.
***
Cepat atau lambat, Beni harus mengetahui yang sebenarnya terjadi. Dan Beni yang telah menginjak kelas 5 SD, dianggap Lisa sudah bisa menerima kenyataan yang sebenarnya.
“Ben, sini, Nak. Ibu mau bicara denganmu,” kata Lisa.
“Iya, Bu. Ada apa?” tanya Beni. Beni mendekati ibunya.
“Kamu tahu kenapa ibu menyuruh kamu untuk memberi roti ke bapak yang ada di pos ronda itu setiap pagi?”
Beni menggelengkan kepala.
“Itu Ayah kandungmu, Nak” ujar Lisa.
Lalu Lisa memberi penjelasan yang panjang kepada Beni. Setelah mendengar semuanya, dan tahu kalau Ru’man adalah ayahnya, Beni terkejut.
Tapi, dasar anak kecil, ketika sedang bermain, Beni bertanya kepada temannya, “Kamu tahu tidak?”
“Tahu apa?” temannya bertanya balik.
“Ayah kandungku orang gila.”
“Masa? Mana buktinya?”
“Itu dia, ayah kandungku,” telunjuknya diarahkan ke pos ronda.
Vitra Fhill Ardy- berdomilisi di Cilegon untuk menimba ilmu

Comment here