Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Opini

Kemana Lagi Mahasiswa Mesti Mengadu ?

[Ilustrator Lala]

Surat perjanjian yang ditandatangani Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan perwakilan mahasiswa tidak membuahkan hasil. Perjanjian tersebut berisi bahwa jas almamater Unnes sudah bisa dibagikan ke mahasiswa sebelum semester genap 2018 dimulai.

Akan tetapi, hingga bulan Maret 2018 belum ada kepastian kapan semua mahasiswa angkatan 2017 bisa mendapatkan almamater mereka. Jika kepada Wakil Rektor (WR) saja masalah yang dimiliki mahasiswa tidak dapat teratasi, maka kepada siapa lagi mahasiswa mesti mengadu?

Azis Rahardian dalam tulisannya bulan Juni tahun lalu, mengibaratkan hubungan birokrasi dengan mahasiswa Unnes seperti orang tua dan anaknya. Di sini saya akan mencoba hal yang serupa.

Rektor dengan jajarannya adalah seorang ayah yang mengharapkan anaknya bahagia. Mahasiswa adalah anak yang dalam memenuhi kebutuhan masih sangat bergantung kepada orang tuanya.

“Baju seragam sekolahmu belum jadi karena penjahitnya kemarin sedang sakit. Ayah janji, sebelum kamu masuk sekolah nanti baju seragammu sudah siap kamu pakai,” kata sang ayah sebulan sebelum semester baru dimulai.

Si Anak senang, tetapi apa yang terjadi? Seminggu sudah Si Anak masuk sekolah tanpa baju seragam. Bukan kegagalan Sang ayah dalam menepati janji yang membuat Si Anak terluka, melainkan karena usaha Sang Ayah yang tidak serius memenuhi janjinya.

Setelah berjanji, ayah tidak menghubungi penjahit untuk mempercepat pembuatan seragam untuk anaknya. Sang Ayah juga tidak mencoba mencari penjahit lain atau cara lain agar anaknya bisa mendapatkan seragamnya.

Bapak, atau dalam kasus ini Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dengan menandatangani MoU- berjanji untuk menyelesaikan masalah mahasiswa baru tahun 2017 yang belum mendapatkan almamater.

Hingga maret 2018, masih ada ribuan mahasiswa yang belum mendapatkan almamaternya. Rupanya Sang Ayah belum melakukan tindakan untuk merealisasikan janjinya dalam MoU tersebut.

Liputan utama buletin kampus Unnes, Express (22/3) memberitakan bahwa Unit Layanan Pengadaan (ULP) tidak tahu tentang MoU tersebut. Padahal, ULP lah yang melakukan eksekusi langsung terhadap pengadaan almamater.

Hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi antara Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan ULP. Bahkan, bisa dikatakan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan tidak berusaha untuk menyelesaikan masalah ini dengan cepat.

Di sisi lain, MoU yang ditandatangani bersama mahasiswa seakan diabaikan. Seharusnya, jika MoU tersebut benar-benar diacuhkan oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan beserta jajarannya, bukankah langkah pertama yang masuk akal adalah menghubungi ULP dan memberi tahu tentang perjanjian tersebut? Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan mungkin bisa mendesak ULP untuk mempercepat pengadaan barang atau bahkan langsung melakukan tender ulang.

Baca Juga: http://www.linikampus.com/2017/06/apa-iya-anak-kedua-harus-bayar-lawuhnya.html

Namun yang terjadi adalah ULP tidak tahu apapun terkait MoU. Akibatnya, almamater tidak segera dibagikan kepada mahasiswa seperti dalam perjanjian tersebut. Saya sendiri tidak tahu tindakan apa yang telah dilakukan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan untuk memenuhi janji yang telah ditandatangani.

Mungkin ada tindakan lain yang dilakukan oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan untuk berusaha menyelesaikan masalah ini agar anak-anaknya bisa dengan segera mendapatkan seragamnya.

Demikian sedikit analisis saya, bahwa pihak ULP yang berkaitan langsung dengan pengadaan almamater tidak tahu terkait MoU, berarti MoU tersebut tidak dijadikan target pembagian almamater. Bahkan MoU tersebut tidak diacuhkan.

MoU tersebut mungkin hanya berakhir di meja Pak Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, bergabung dengan tumpukan kertas lainnya.

Mohon maaf, bukan bermaksud mengritik birokrasi Unnes. Akan tetapi, jika memang benar ada unsur pengabaian, muncul ketakutan dalam benak saya. Saya sebagai mahasiswa Unnes, sebagai seorang anak, takut bahwa saya tidak  lagi memiliki tempat untuk mengadu.

Jika aduan kami para mahasiswa yang berada di atas hitam putih saja diabaikan, bagaimana dengan aduan kami yang lain? Sebut saja aduan melalui kotak saran, audiensi, atau sistem dunia maya yang disediakan lembaga. Apakah semua aduan  itu akan diacuhkan? Atau mungkin diabaikan?

Seperti yang saya ibaratkan di atas, kami selaku mahasiswa adalah anak yang masih bergantung pada orang tua. Jika bukan kepada orang tua itu kami mengadu, kami harus mengadu ke siapa? Jika bukan kepada rektor, wakil rektor, beserta jajarannya kami mengadu tentang keresahan dan kebutuhan kami, lantas mahasiswa  harus mengadu kemana?

Haruskah mahasiswa mengadu langsung ke kementerian? Atau haruskah mahasiswa mengadu ke media penerbitan, media sosial, dan akhirnya terancam UU ITE dan pencemaran nama baik? Atau cukup mengadu kepada Tuhan dan rumput yang bergoyang?

Lalu Muhammad Jazidi
*Bergiat di New Akademia

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *