[cover depan buku Dee Lestari, Aroma karasa. Doc. BP2M/ Nila] |
Judul : Aroma Karsa
Penulis : Dee Lestari
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Pertama, Maret 2018
Tebal : Xiv + 710 Hlm; 20 Cm
ISBN : 978-602-291-463-9
Perjalanan aroma, mungkin terdengar belum lumrah. Perjalanan mendaki gunung, pantai dan perjalanan alam atau non alam lain belum ada yang mengandalakan sebuah hidung sebagai pengganti alat utama seperti kompas dan maps. Tapi inilah yang terjadi pada ekspedisi puspa karsa, perjalanan yang mengandalakan hidung seorang Jati Wesi untuk melacak keberadaan bunga sakral bernama Puspa Karsa.
Kondisi yang dialami Jati boleh jadi mirip dengan kasus hiperosmia meskipun dewi lestari tak menyebutkan kondisi Jati secara medis. Hiperosmia adalah kondisi dimana indra penciuman sangat peka dalam mendeteksi aroma. Kondisi yang dialami jati wesi bisa dikatakan lebih parah hiperosmia, jati bahkan mampu mencium aroma-aroma yang tak lazim mampu dicium oleh hidung manusia kebanyakan.
“Hidungnya membaca debu yang mengisi serat-serat kapuk di dalam tilamnya; apeknya baju Bakri yang bersebelahan dengan kecutnya baju milik Danu; sengit pipis anjing yang mengencengi sepedanya. Hidungnya membaca perbedaan antara bau karat di setang sepeda yang sudah bercampur keringat dan karat yang menggerogoti tonggak pagar kawat pembatas pekarangan. Lewat hidungnya, Jati mengetahui tetesan oli dikamar tamu dari motor Nurdin yang bocor. Jati mengetahui kombinasi sirih-tembakau-pinang-cengkih-pasta kapur sedang bergumul di mulut Nurdin yang tengah menghitung uang-uang kertas hasil setoran” (hlm. 94-95)
Dengan kemapuan yang Jati Wesi miliki, Dewi Lestari memberikan latar tempat dimana jati tumbuh dan besar di Bantar Gebang. Sebuah tempat pembuangan akhir di daerah Bogor. Namun, Dewi Lestari juga berlaku adil dengan memberikan jalan cerita yang mengantarkan Jati bertemu Kemara. Sebuah perusahaan parfum tersohor di Indonesia. Pemiliknya adalah seorang Raras Prayagung cucu Janirah Prayagung, yaitu seseorang yang meyakini keberadaan Puspa Karsa, dan tentu keyakinan ini menurun pula pada Raras.
Pertemuan Jati dengan Kemara dan Raras Prayagung membuat Jati harus menggunakan hidungnya dengan benar. Aroma busuk Bantar Gebang bukan apa-apa dibanding aroma-aroma baru yang Jati Wesi temui. Termasuk membaui aroma pantai, aroma laut, aroma gunung, aroma padang rumput, aroma wanita, aroma cinta sampai pada aroma intrik, tipu muslihat dan ambisi manusia lain.
Seperti halnya pendengaran manusia yang terbatasi pada frekuensi 20 hz hingga 20.000 hz, penciuman manusia pun demikian. Bedanya penciuman manusia tak ada takaran dalam angka statistika. Walaupun begitu tak ada bau bukan berati tak beraroma, Dewi Lestari mendefinisikan ini dengan menjadikan keterbatasan penciuman manusia sebagai premis dalam tidak terciumnya aroma benda atau makhluk hidup. Lalu kembali lagi pada Jati Wesi yang dihadirkan untuk memberikan bukti sekaligus kesimpulan bahwa aroma setiap benda itu ada.
Aroma juga mempengaruhi rasa sebuah makanan yang hendak dimakan. Misalnya jika dihadapkan nasi goreng namun tiba-tiba tercium bau jamban, maka siapa yang peduli dengan rasa enak atau bau nasi goreng yang menggugah selera. Semua fokus indra akan tertuju pada aroma jamban dan mengurangi kenikmatan memakan nasi goreng. Begitu pula pada kasus aroma dengan beda cerita, jika kita berada pada kondisi pikiran yang suntuk dan lelah maka untuk mengurangi hal tersebut manusia bisa menggunakan aroma-aroma yang menenangkan seperti aroma terapi, bunga-bungaan yang wangi.
Hal ini juga menjadi sebab adanya pemilihan aroma pada minyak kayu putih, minyak telon, minyak kapak, minyak rambut sampai pada minyak wangi. Dengan demikian bisa ditarik sebuah garis kesimpulan bahwa aroma mampu memengaruhi manusia secara persepsi, psikis dan perbuatan yang hendak dilakukan.
Aroma yang dimiliki bunga puspa karsa tergambarkan sangat rumit dipahami dan oleh manusia manapun belum bisa dibaui. Sungguh sebuah fiksi yang disertai penalaran yang logis. Dewi lestari tidak kelihatan mengada-ada dalam pencipataan sebuah bunga yang wujudnya hanya bisa dilihat, disentuh dan dicium aromanya oleh tokoh dalam Aroma Karsa. Itupun hanya dua manusia dengan kelebihan khusus yaitu Jati Wesi dan Tanaya Suma, anak Raras Prayagung.
“kenikmatan yang Suma rasakan semakin sensual. Wangi itu tidak hanya berhenti di penciumannya, tapi juga membelai kulitnya, bergulung di lidahnya, mengalun di telinganya, dan matanya menangkap kerlap-kerlip emas bagai dansa seribu kunang-kunang di langit malam”(hlm. 639).
Dengan penggambaran yang seperti itu reaksi tubuh macam apa yang terbentuk tak lain adalah perasaan terkuasai oleh aroma tersebut. Lalu apa yang terjadi ketika raga bukan sepenuhnya dikuasai oleh diri sendiri, maka yang dialami Suma berikutnya adalah “Suma jatuh terkulai. Erangnya memantul-mantul di dinding gua”(hlm.640)
Puspa Karsa hadir sebagai bunga yang lebih mirip mitos, karena hanya keyakinan turun temurun dari eyang Raras yang benar-benar nyata sedangkan bunganya sendiri belum tentu benar adanya. Berbekal keyakinan yang Raras miliki, ia pun membentuk sebuah tim ekspedisi Puspa Karsa. Tentulah bukan ekspedisi biasa, tak perlu kompas dan maps karena memang takkan berguna. Cukup seorang Jati Wesi atau tanaya Suma yang mencari arah dengan hidung mereka.