Membangun Narasi Kecemasan. [Ilustrator BP2M/ Lala Nilawanti] |
Setelah menuai kontroversi dengan menyatakan Indonesia bubar pada 2030 hanya berdasarkan novel Ghost Fleet, capres nomor urut 2 Prabowo Subianto kembali memunculkan wacana yang lebih dahsyat. Dalam Konferensi Nasional Partai Gerindra di Sentul (17/12), dia mengatakan Indonesia bisa punah bila dirinya tak terpilih.
Ucapan Prabowo itu tentu (lagi-lagi) tak disertai fakta atau data. Wacana itu hanyalah manifestasi hasrat politik Prabowo untuk memenangkan kontestasi pemilu pada 2019. Dia hanya membangun narasi kecemasan tentang kepunahan tanpa ada kajian ilmiah empiris.
Kata-kata Prabowo itu mengingatkan saya pada salah satu episode serial kartun Spongebob Squarepant. Pada episode itu, Gary si siput peliharaan Spongebob tertusuk pohon jati hingga berperilaku aneh—karena kesakitan. Tanpa dasar jelas, Patrick memvonis Gary mengidap mad snail disease (penyakit siput gila). Squidward yang tergigit panik karena Patrick bilang dia akan jadi zombi. Dia pun mulai menyebarkan informasi tak jelas itu kepada warga Bikini Bottom. Alhasil, seluruh isi kota kacau tak terkendali.
Episode Siput Gila itu menjadi semacam peringatan. Begitulah kita jika wacana-wacana kontraproduktif terus digulirkan; Bikini Bottom akan jadi miniatur Indonesia. Dalam episode itu, kita melihat bagaimana narasi kecemasan dibangun melalui peristiwa yang (begitu) dilebih-lebihkan. Tak ada iktikad untuk menyelidiki atau tabayyun. Ketidaktahuan kemudian menyebarkan narasi kecemasan itu ke seluruh penjuru.
Wacana untuk Takhta
Agustus lalu, Jair Bolsonaro berhasil memenangkan pemilihan presiden di Brazil dengan jualan isu komunis. Dia dan Jamilton Mourao mempecundangi wakil Partai Buruh, Fernando Haddad dan Manuel d’Avilla, di putaran kedua. Bolsonaro-Mourao mendapatkan 55,13 persen suara, sementara lawan mereka hanya memperoleh 44,87 persen.
Banyak orang mengecam Bolsonaro. Selain memakai hoaks murahan via Whatsapp untuk menjatuhkan citra lawan di mata rakyat Brazil, dia juga menggunakan narasi-narasi yang membangun kecemasan mereka. Dalam hal ini, retorika anti-komunis.
Oleh Bolsonaro, tiap pihak yang menentang atau bahkan hanya khawatir dengan kepemimpinannya akan dicap komunis. Ilmuwan politik Francis Fukuyama adalah korban vonis Bolsonaro. Dia lantas jadi sasaran bulan-bulanan Bolsominions—sebuah kelompok partisan Bolsonaro. Padahal, sama seperti Bolsonaro, Fukuyama juga sudah merayakan pasar bebas serta keruntuhan komunis pada 1990. Bedanya, dia menganggap komunis tak lagi relevan sedangkan Bolsonaro aktif menebar kecemasan kebangkitan komunis.
Lewat narasi komunis itu, Bolsonaro berusaha mengorganisasi kecemasan publik tentang ideologi yang menjadi hantu dalam pikiran mereka itu. Kompilasi kecemasan publik kemudian dia jadikan sebagai anak tangga menuju takhta. Meski tanpa data, dia sengaja menakut-nakuti rakyat Brazil; jika mereka tidak memilihnya, daratan kelahiran Neymar Jr akan dikuasai komunis. Retorika anti-komunis ini sekilas mirip praktik kejahatan kampanye yang pada saat pilpres 2014 digunakan untuk menumbangkan Jokowi. Lewat berbagai media—terutama Obor Rakyat, dia difitnah sebagai keturunan komunis. Masyarakat dibuat memiliki kecemasan bahwa komunis akan bangkit jika mantan gubernur Solo itu terpilih.
Pada akhirnya, wacana yang dibangun Prabowo sama dengan wacana ala Bolsonaro. Dia tidak betul-betul sedang mengkhawatirkan Indonesia. Lewat narasi kecemasan itu, sebenarnya dia sendiri yang sedang cemas: cemas jika tak terpilih!
(Masih) Menunggu Kampanye Produktif
Wacana kepunahan Indonesia dan sejenisnya sama berbahayanya dengan hoaks. Menurut pengamat komunikasi politik Lely Arrianie, pernyataan Prabowo itu bertentangan dengan tiga indikator komunikasi kampanye, yakni harapan, perubahan, dan kesatuan. Alih-alih membuat kampanye beriklim sejuk dan memberikan angin harapan untuk rakyat, pernyataan Prabowo justru potensial memantik api perselisihan antarkubu makin membara. Persatuan dikesampingkan demi merenggut suara.
Pola kampanye yang menyebar narasi kecemasan tidak mendidik masyarakat. Alih-alih membuat rakyat jadi melek politik, narasi semacam itu malah akan membuat masyarakat buta. Diskusi-diskusi politik akan tidak sehat karena hanya berdasarkan prasangka tanpa data. Perdebatan-perdebatan yang muncul bakal kontraproduktif dan cuma buang-buang waktu dan tenaga. Jika begini, sirkus kebodohan akan terus dipertunjukkan di layar.
Kini kita harus sadar: kampanye sudah dibuka sejak September . Empat bulan (hampir) lewat. Namun, bukannya kian baik, isu-isu yang mencuat malah soal tempe ATM, sontoloyo, Indonesia punah, dan genderuwo. Kita tentu menyayangkan kampanye-kampanye nonsubstansial seperti ini. Kita menyayangkan jika elit politik masih jualan narasi kecemasan. Sekali lagi, menyebarkan omong kosong tanpa data itu hanya akan membuat suasana persaingan politik tidak kondusif.
Eh, atau jangan-jangan kepunahan Indonesia bukan cuma wacana? Saya sendiri tiba-tiba berpikir seperti itu: cepat atau lambat, Indonesia akan punah jika para politisi terus memprovokasi dan merongrong persatuan kita.