Oleh :Ahmad Abu Rifai
Seorang lelaki duduk sendiri di ruang tamu. Ia menunduk, telapak kedua tangannya hampir menutupi seluruh permukaan wajah.
“Kamu kenapa?” tanya sesosok pria tua berpakaian serba putih yang tak lain papanya. Lelaki itu kaget karena sebenarnya papanya sudah meninggal empat puluh hari lalu. Dalam hati, ada sedikit rasa takut. Namun tak butuh waktu lama, perasaan itu hilang. Ada rindu yang hadir, dan lebih dari itu, kesedihan yang sedang ia alami seakan jadi raksasa yang membuat ketakutan tak lebih dari kurcaci yang tak berdaya.
“Kimberly, Papa. Dia selingkuh,” jawabnya tak bersemangat. Di pojok matanya, ada beberapa tetes air mata yang keluar sebagai tanda kehilangan.
Papanya duduk di sofa ruang tamu. Mereka kini berhadap-hadapan. Pria yang sudah mangkat itu berpenampilan berbeda; ia tak lagi berkacamata. Waktu masih hidup, ia hampir tak pernah lepas dari kacamata minus tiga setengah. Barangkali rumor yang beredar memang benar. Ketika seseorang meninggalkan dunia fana, kecacatannya pun tercabut.
“Perempuan itu tak punya perasaan, Pa!” kata si lelaki setengah berteriak.
Papanya dengan wajah sedikit bercahaya namun tak begitu bertenaga, mendongakkan kepala. Di langit-langit rumah, pandangan matanya tertuju. Ia masih ingat betul anaknya itu sudah memperoleh banyak luka—tentu, luka dari perempuan—semenjak kecil hingga dewasa. Kolase video berisi kenangan masa lalu itu kini seperti diputar ulang di depan mata.
“Aku sudah tak percaya lagi pada perempuan, Papa!” lirih si anak yang langsung membuyarkan lamunan papanya.
“Kamu tak boleh begitu, Niko.”
“Kenapa, Papa? Aku ingin hidup sendiri saja!”
“Kamu tetap membutuhkan perempuan dalam hidupmu, Anakku.”
“Tidak, Pa. Aku bisa melakukan semuanya sendirian.”
“Jangan bersikeras.”
Niko memandang papanya dalam-dalam.
“Memang kenapa?”
“Kamu yang belum mengerti, anakku,” balas papanya.
“Aku sepenuhnya sudah mengerti. Aku mengerti kalau perempuan itu cuma bisa memberikan luka!”
“Tidak, Niko. Kamu salah. Tak semua perempuan seperti itu.”
“Halah, omong kosong!”
Papa Niko diam. Ada semacam air mata yang keluar. Tetes demi tetes air itu berubah menjadi sesuatu yang bening dan bercahaya seperti kristal.
“Sendiri itu tak menyenangkan, Anakku,” ucap papanya sekali lagi menasehati.
“Aku bisa melakukan apa saja tanpa campur tangan perempuan busuk itu, Papa!. Aku bisa mencuci bajuku sendiri. Kalau aku malas mencuci, maka sudah banyak toko laundry di sekitar sini. Kalau aku lapar, aku bisa masak sendiri. Kalau aku sedang bosan atau lelah, aku bisa ke warung, atau restoran mahal. Lalu, Pa, untuk memuaskan nafsu, aku tak butuh perempuan. Aku bisa masturbasi, mencapai orgasme, melakukan apa yang kumau tanpa banyak ba-bi-bu!” Niko menjelaskan dengan begitu membara—seolah dukanya sudah jadi api abadi.
“Apa yang kau pikirkan itu salah, Niko!”
“Jika ada yang patut disalahkan, itu perempuan, Pa!”
Papanya diam.
“Buat apa memang hidup bersama dengan makhluk busuk dan munafik itu! Dulu, saat aku hanya hidup dengan Papa, semuanya jauh lebih baik. Papa tentu tahu sendiri soal itu,” tegas Niko.
Dahi papanya mengerut sementara di punggungnya dua sayap yang penuh bulu-bulu putih mulai muncul.
“Coba ingat, Pa. Dulu, saat aku kecil, istri Papa selalu menyakitiku, menuduhku mencuri uangnya, padahal yang melakukan Rini, putri bangsat kesayangannya itu. Perempuan itu selalu pilih kasih, tak pernah menganggap aku ada—seolah-olah di dunia ini, namaku telah dihapus.”
“Maafkan Papa, Niko. Sepenuhnya itu salah Papa, bukan salah mereka. Papa pikir, kehadiran mereka akan membuatmu tak kesepian,” pinta papanya penuh ikhlas.
“Omong kosong, Pa! Justru karena mereka, hidupku yang sudah baik, jadi hancur. Aku selalu merasa sendiri karena Papa pun mereka renggut dariku!”
“Aku minta maaf, Anakku.” Air mata papanya semakin deras. Batu-batu mirip kristal itu kini berjatuhan di lantai.
“Lalu waktu aku kelas tiga SMP, Pa, aku mulai membuka hati, memberikan kepercayaan pada perempuan lagi. Iya, Veronica, yang sering datang ke rumah dan belajar bersamaku itu. Di luar, dia tampak selalu tersenyum padaku, memberikan perhatian, mengucapkan kalimat-kalimat manis yang tak ia berikan pada bocah lain. Lalu apa Papa tahu apa yang ia katakan saat aku menyatakan perasaanku padanya sehabis ujian nasional? Tanpa beban, ia bilang, ‘Maaf, Niko, aku tak bisa bersamamu. Semua kedekatan kita selama ini itu supaya aku bisa mendapatkan nilai yang baik dalam ujian. Sekarang semua telah usai.’ Tak punya hati kan, Pa?” Monolog kebenciannya masih terus ia dengungkan.
Papanya hanya bisa diam, tak kuat membalas.
“Bahkan, Pa, Kimberly, perempuan yang telah ada di sampingku selama tiga tahun pun pergi. Waktu kebersamaan kami berdua seolah tak memiliki arti, semua undangan pernikahan yang telah kami sebar rasanya hanya kertas tanpa makna yang dibagi-bagikan sembarangan. Saat ia meninggalkanku, Pa, dia berkata, ‘Aku harus pergi, Niko. Setelah kupikir-pikir, kamu masih belum matang. Sebentar lagi, perusahaan peninggalan papamu mungkin akan bangkrut.’ Iya, Pa! Dia bilang begitu tanpa merasa bersalah, tak ada satu pun kata maaf yang ia ucapkan!”
Tiba-tiba, sebuah lubang berwarna putih muncul di langit-langit ruang tamu. Ada semacam kilauan cahaya yang mengitari. Tak lama, keluar sesosok perempuan muda yang anggun nan cantik dari sana. Sayapnya mengepak dengan indah, bajunya putih bersih dan berkilau, wajahnya seperti matahari sore yang indah dan tak menyilaukan. Namun segala keindahan itu, tak ada artinya di mata Niko; ia telanjur membenci perempuan.
“Lalu, Pa, bahkan mama kandungku saja tak mau menemaniku di dunia ini. Tai!”
Perempuan yang baru saja hadir menghentikan kepakan sayap dan duduk di samping papa Niko. Ia menunduk. Ada air yang begitu deras keluar dari matanya, menghasilkan butiran yang sama dengan apa yang sebelumnya muncul dari mata papanya.
“Kenapa juga Tuhan menciptakan perempuan kalau hanya bisa meninggalkan luka?! Kata orang-orang, sejahat apa pun perempuan di luar sana, ibu yang melahirkan akan terus menjaga, mendekap, memberikan ketenangan. Semua itu cuma bullshit!”
Tangis sesosok perempuan itu kian jelas terdengar. Hati Niko sedikit bergetar kasihan, namun kebencian masih jadi raja yang bertakhta.
“Cukup, Niko! Cukup! Kamu tahu siapa yang berada di sampingku ini? Dia adalah mamamu!”
“Oh, ternyata ini perempuan pertama yang menebar benih luka di hatiku?!”
“Jangan bilang begitu!”
“Kenapa? Apa yang kukatakan itu benar!”
“Mamamu ke sini sebenarnya untuk menyambutku sebelum naik ke langit. Namun, berhubung aku melihatmu penuh kesedihan, aku izin sebentar untuk bertemu. Aku juga meminta utusan Tuhan untuk memberikan kabar pada mamamu.”
“Apa peduliku?”
Tangis perempuan yang tak lain mama Niko itu berhenti. Ia memandang anaknya dalam-dalam.
“Maafkan Mama, Nak…,” pintanya.
“Apa gunanya aku memaafkan kamu?! Semua takkan berubah.”
“Ada yang akan berubah ketika kamu memberikan maaf, Niko. Hati, hatimu akan berubah; ia akan memperoleh kedamaian.”
“Kedamaian yang akan terusik lagi maksudmu?”
“Tidak begitu. Yang jelas, Mama minta maaf sudah meninggalkanmu. Sebenarnya, Mama sama sekali tak menginginkan hal itu.”
“Halah! Semua ini tak adil!”
“Justru karena ketidakadilan itu, hidup ini jadi adil, Niko. Aku tak ingin meninggal saat melahirkanmu, tetapi Tuhan tak memberiku pilihan. Papamu juga tak menginginkan perempuan baru. Aku tahu, tiap malam, ia bermunajat pada Tuhan, mengadu bahwa sejauh mana saja ia melangkah, hatinya tetap untukku yang kala itu sudah tiada, yang tak bisa membersamai suka-dukanya. Dan kamu, Niko, soal perempuan-perempuan yang datang sebentar hanya untuk pergi, itu takdir Tuhan yang tak bisa kamu tolak.”
“Apa yang mamamu katakan itu benar, Niko. Kemarin aku bertanya pada utusan Tuhan. Katanya, Tuhan sebenarnya cuma menciptakan satu hati untuk sepasang lelaki dan perempuan. Saat mereka berdua lahir, hati itu dibagi dua,” sahut papanya.
Papanya diam sebentar.
“Soal mamamu, apa lagi yang harus disangsikan? Dulu, sebenarnya ia punya pilihan, antara aborsi atau tetap melahirkan dengan resiko tinggi karena penyakit yang ia derita. Ia memilih untuk menjagamu, Niko. Ia percaya kamu punya hak untuk melihat dunia ini.”
Meski amarah masih bersemayam dalam hati, Niko diam mendengarkan. Sementara itu, sosok papa dan mamanya memudar.
“Kalau soal Veronica dan Kimberly, kamu tahu kenapa hatimu begitu sakit? Sebenarnya, sepotong hatimu itu kesakitan bukan karena mereka meninggalkanmu… ia hanya lelah dengan sepotong hati yang salah… cinta sejati itu ada Niko, pun perempuan setia yang akan selalu bersamamu hingga Tuhan memanggilnya. Tunggu, Niko, tunggu barang sebentar saja. Seorang perempuan dengan sepotong hati yang sama akan menghampirimu, menawarkan kebahagiaan dan kesedihan sebagai bumbu. Ia akan menguatkanmu saat kau lemah, menghiburmu saat semangatmu sedang patah.”
“Sudahlah, Pa! Aku tetap ingin hidup sendirian!”
“Kamu tak bisa, Niko! Dengarkan.. Seorang lelaki, sekuat apa pun, sebanyak apa yang bisa ia kerjakan, sejauh mana langkahnya di dunia ini, tetap membutuhkan seorang perempuan di sampingnya. Pada beberapa titik dalam hidup, ia akan merasa lelah, jenuh dengan kehidupan. Kamu membutuhkan perempuan, Niko.”
Papanya menghela napas panjang.
“Cinta dari perempuan sejati akan menyembuhkan lukamu. Ia akan menyeka keringatmu, membasuh wajahmu dari segala noda dalam hidup. Kelak, ketika kamu sudah tua, ia akan merawatmu, menjadi temanmu tiap waktu ketika orang lain sudah begitu jauh darimu. Meski ingatannya akan ikut berkurang, namamu akan selalu ia ingat. Sebab, ia membawa sepotong hatimu yang lain. Lelaki yang tak didampingi perempuan akan gila, kesepian, sepotong hatinya akan sakit-sakitan. Salah satu dari lelaki-lelaki malang itu adalah aku. Kamu tahu kenapa? Sebab sepotong hatiku yang lain telah mamamu bawa ke surga; ia menungguku di sana. Bukannya hidup berdua bersamamu tak cukup bagiku, Niko. Namun, dalam dada setiap lelaki, ada ruang tersendiri bagi perempuannya, yang tak bisa dijamah oleh siapa saja, apa saja.”
Niko menunduk, mulai memahami apa yang papanya katakan. Amarahnya mulai luntur, hatinya yang keras mulai luluh. Air mata pun mulai muncul dari matanya. Sementara itu, di hadapannya, perlahan, sosok mama dan papanya memudar. Sebelum semua benar-benar sirna, papanya memberikan kalimat terakhir.
“Seorang laki-laki itu lemah jika sendiri. Tanpa perempuan, laki-laki akan sakit, lalu mati dicabik-cabik sepi.”
Seorang lelaki yang duduk sendiri di ruang tamu itu mengambil napas panjang. Kepalanya mendongak, dua tangannya seolah jadi penyangga di samping kanan dan kiri tubuhnya. Di langit-langit ruang tamu, lubang yang menjadi portal kemunculan mamanya telah hilang. Kini, di sana, ia berusaha melukis seorang perempuan. Perempuan yang membawa sepotong hatinya yang lain.
Sekaran, 09 April 2018. 11:27 WIB
Terinspirasi cerpen Putu Wijaya yang berjudul Laki-laki Sejati