Selasa malam(21/5), saya dan teman saya, Diki Mardiansyah berkesempatan menjumpai seorang tokoh sastra Indonesia, Soesilo Toer. Malam itu, ia menjadi salah satu pembicara dalam acara “Ngaji Sastra” yang diselenggarakaan oleh Teater Mimbar UIN Walisongo Semarang.
Ketika kami memasuki ruangan yang telah disediakan panitia, pria yang biasa disapa Soes ini tengah menunggu dan berbincang-bincang. Kami pun dipersilahkan duduk di dekatnya. Di bawah lampu ruangan bercat terang, nampak jenggotnya yang kian memutih.
Di awal pembicaraan, pria kelahiran Blora, 17 Februari 1937 ini dengan santai menceritakan masa lalunya. Meskipun telah memasuki usia senja, ingatan tentang masa lalunya masih tersusun rapi. Di usia 82 tahun ini, Soes masih aktif melakukan berbagai kegiatan, mulai dari menulis, mengisi seminar, bahkan melakoni kesehariannya menjadi seorang pemulung.
Soes adalah adik ke enam dari seorang sastrawan terkenal Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Kiprahnya dalam dunia sastra tak lain adalah buah didikan dari sang kakak. Melalui Pram, Soes belajar menulis. Tulisannya pun tak lagi diragukan. Novel Dunia Samin karya Soes pernah dijadikan novel terbaik tahun 2017 oleh Balai Bahasa Jawa Tengah.
Karier menulis
Saat kami bertanya mengenai masa kecilnya, Soes yang saat itu mengenakan jaket berwarna biru dengan corak abu-abu bercerita bahwa bapaknya, dulu, ialah seorang guru. Tak heran bila banyak sekali buku di rumahnya. “Bukan karena saya senang membaca buku, tetapi karena tidak ada yang saya makan, ya akhirnya makan buku,” jawabnya lugas. Dalam kondisi hidup serba kekurangan, hal tersebut lantas membuatnya terbiasa membaca buku sejak kecil. Baginya, pendidikan utama datang dari keluarga.
Di usia 13 tahun, Soes mulai menulis. “Kalau pram 15 tahun. Artinya Pram sudah saya kalahkan,” ucapnya. Saya Ingin Jadi Jenderal adalah cerpen anak-anak pertama yang ia tulis. Berbeda dengan Pram yang menulis ketika sudah tua, Soes menulis ketika masih anak-anak, sehingga makna tulisan akan terasa berbeda. Sampai saat ini, tulisan tersebut belum ditemukan. Tulisan kunang-kunang tersebut dulunya pernah masuk majalah remaja dan terakhir ditemukan di tahun 1952.
Menulis bagi Soes adalah keterpaksaan. Terpaksa menulis karena untuk menyambung hidupnya. Dulu, ia pernah dijanjikan Pram akan disekolahkan. “Kamu akan saya sekolahkan jadi mister-mister, dokter-dokter,” ucapnya meniru Pram. Sedang waktu itu Pram hanyalah tamatan Sekolah Dasar dan gajinya hanya sebesar 180 rupiah. Selama satu bulan, Soes diberikan uang jajan sebesar 10 rupiah. Padahal, sekolah Soes berada di Taman Siswa, jaraknya 6 kilometer jika pulang pergi. Merasa tidak cukup, Soes memutuskan untuk mencukupi kekurangannya sendiri dengan meniru Pram, menulis.
Suatu ketika, tulisan Soes dimuat di Mimbar Indonesia, koran milik HB Jassin. Kata Soes, Pram juga sempat memuji karya miliknya, namun kemudian dibanting dengan beberapa kritikan. Pram merasa tulisan Soes mengkritik tulisannya, bahkan Pram tak segan-segan mengancam akan mengusirnya dari rumah. “Ditempelenglah (dipukullah) saya waktu itu. Di umur segitu apa gak ketakukan saya kalo diusir dari rumah?” Selain mendapat kritikan, Soes dulu juga menjadi samsak Pram.
Pram di Mata Soes
Seharusnya kami bersepuluh. Anak pertama, kakaknya Pram sudah meninggal terlebih dahulu. Akhirnya hiduplah kami bersembilan,” ungkapnya saat mulai bercerita sosok Pram. Soes juga bercerita, seandainya kakaknya Pram (Ahmad) hidup, ia akan menjadi anak nomor delapan. Karena secara resmi ia anak ketujuh, bapaknya memberikan nama Soesilo Toer. Toer merupakan akronim dari Tansah Ora Enak Rasane. Lebih lanjut, ia juga menjelaskan jika seandainya ia menjadi anak kedelapan, namanya menjadi Krisna Mukti. Krisna yang berarti dewa dan Murti yang berarti delapan. Bagi Soes, sosok Pram sudah seperti pengganti orang tua, teman seperjuangan, musuh, sekaligus sahabatnya. Pram cukup keras dalam mendidik, sehingga Soes merasa harus lebih keras.
“Pram sudah saya kalahkan. Bahwa murid harus mengalahkan gurunya.” Ia kembali menegaskan bahwasannya murid dikatakan berhasil ketika ia mampu mengalahkan gurunya. Bagi Soes, ia sudah mengalahkan Pram dari berbagai segi. Pram mulai menulis dari usia 15 tahun, ia 13 tahun. Pram kalah pendek dari dirinya. Pram kawin sebanyak 2 kali, ia 3 kali. Pram optimis, karena terlahir saat kondisi keluarga sedang jaya-jayanya, Soes pesimis karena lahir ketika sedang melarat-laratnya. Namun, ia mengaku kalah dalam hal wibawa.
Soes juga memberikan tanggapan terhadap buku Bumi Manusia karya Pram yang akan difilmkan oleh Hanung Bramantyo, sutradara film Indonesia. “Biar manapun juga, pendapat saya, Bramantyo adalah orang yang pemberani,” jawabnya tegas. Mengetahui buku tersebut dulunya termasuk buku-buku yang terlarang karena di dalamnya mengandung unsur Marxisme.
Sebelum kami menutup pembicaraan karena Soes harus segera mengisi acara malam itu, ia berpesan, “Bahasa adalah segala-galanya. Mau sekaya apapun orang, kalo dia tidak menulis, Anda akan dilupakan. Kata adalah segalanya, lebih tajam dari golok. Kalau Anda tidak memiliki ilmu, Anda tak lebih dari seorang peternak. Peternak diri Anda sendiri. Kan binatang tahunya bertenak saja. Intinya mulailah dari keberanian. Harus berani! Saya sudah buktikan, kutub utara sudah saya taklukan,” kata pria yang pernah menginjakkan kaki di tanah Rusia ini.
Reporter: Niamah dan Diki Mardiansyah
Editor: Siti Badriah