Genduk: Tembakau dan Konflik Gaok
Resensi Ulasan

Genduk: Tembakau dan Konflik Gaok

Oleh : Ismi Nur Karomah

(Mahasiswa Sastra Indonesia 2017)

Judul Buku      : Genduk
Penulis         : Sundari Mardjuki
Penerbit        : PT Gramedia Pustaka Utama
Edisi           : Cetakan kedua, November 2017
ISBN            : 978-602-03-3219-2
Halaman         : 232 hal; 20 cm

Genduk, novel yang terbit tahun 2017 ini menyuguhkan kisah berlatar belakang petani tembakau di Temanggung, Jawa Tengah. Sebuah genre bacaan yang cukup berbeda dari kebanyakan novel yang ada saat ini. Sundari Mardjuki menyajikan cerita yang unik pada novelnya, yaitu kentalnya unsur kedaerahan dan budaya tradisional.

Sundari sebagai penulis menampilkan perspektif lain dari tembakau, tanaman yang memiliki kisah tersendiri bagi petaninya di lereng Sindoro pada tahun 1970-an. Setting tahun tersebut tidak membuat cerita ini terkesan kuno atau membosankan. Kemasan bahasa dan alur yang menarik membuat pembaca nyaman membaca Genduk. Kehidupan petani tembakau di lereng Gunung Sindoro begitu kental akan unsur khas daerah tersebut. Hal ini menimbulkan kedekatan antara cerita dengan pembaca terutama yang berasal dari daerah Jawa Tengah.

Novel terbitan PT Gramedia ini mengulik kehidupan para petani tembakau di desa Ringinsari, desa paling tinggi di lereng Sindoro. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi petani mulai proses penanaman hingga penjualan dan konflik dalam menghadapi gaok menjadi cerita yang menarik bagi pembaca. Kerumitan konflik para petani dan keluarga Genduk ditampilkan dengan alur yang mudah dipahami.

Yung, Lik Ngadun dan Genduk, tokoh utama novel ini selalu mengalami konflik, terutama menangani persoalan tembakau dan gaok. Satu keluarga yang berjuang mendapat hasil dari penjualan tembakau namun belum tercapai akibat kekuasan gaok, tengkulak yang membeli tembakau dengan harga yang tidak semestinya. Ulah gaok telah mendesak para petani untuk masuk di pusaran rentenir, begitu pula ibu Genduk. Kehadiran gaok begitu meresahkan petani Ringinsari. Nasib mereka bergantung pada gaok, begitu pula Genduk dan Yung.

Baca Juga : Ritual Sabtu Pagi

Perjalanan Genduk mencari ayahnya ditambah kesulitan dalam perekonomian keluarganya membuat emosi pembaca larut dalam novel ini. Perasaan pembaca akan dibawa Genduk melewati kisah-kisah perjuangannya. Kesakitan yang digambarkan mampu membuat pembaca merasakan hal tersebut. Kalimat yang ringan, menambah nilai novel. Keteguhan Genduk menghadapi masa kecil yang berat menjadi contoh baik bagi pembaca.

Persoalan perantara atau Gaok menjadi momok besar bagi petani. Sekarang ini masih ada gaok dalam kehidupan petani di desa–Temanggung khususnya. Masih menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Kabupaten Temanggung tahun 2017 menghasilkan 9.904 ton tembakau dipanen oleh petani yang tersebar di enam belas kecamatan minus kecamatan Tlogomulyo, Kedu, Kranggan dan Tretep. Data ini bersumber dari Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Perhutanan Kabupaten Temanggung.

Sedangkan data dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mencatat rata-rata produksi tembakau di Temanggung mencapai 28.000 ton setiap tahun. Karena menjadi pusat pengolahan tembakau, sebagian tembakau didatangkan dari daerah-daerah sekitar, seperti Magelang dan Wonosobo.

Pokok permasalahan penting yang dihadapi oleh petani tembakau di Kabupaten Temanggung adalah sistem tata perniagaannya. Keharusan untuk menjual hasil panen tembakau kepada para pemilik modal atau tengkulak yang memberikan pinjamannya kepada para petani tembakau juga menambah deretan masalah yang rumit. Hal ini dikarenakan harga jual tembakau ditentukan oleh para pemodal sehingga banyak petani tembakau yang kemudian hanya menjadi penonton atas hasil keringat dan kerja kerasnya tanpa bisa menikmati hasil panen produk pertanian yang mereka garap dan kelola dengan baik setiap harinya.

Bagi sebagian petani di Temanggung, memperoleh pinjaman dari pemodal merupakan sebuah keuntungan tersendiri karena petani tersebut mendapat kepastian hasil panen tembakau akan dibeli oleh pemodal. Meskipun pada kenyataannya sistem permodalan seperti ini akan menjerat petani dan menempatkannya pada posisi yang lemah dalam sistem tata niaga tembakau.

Baca Juga : Lapangan Dirham Tempat Favorit Berolahraga

Genduk menjadi salah satu korban gaok, Kaduk namanya. Di usia yang baru sebelas tahun, ia telah mengalami kejadian tidak menyenangkan atas ulah Kaduk. Genduk mengalami pelecehan berkali-kali demi agar Kaduk membeli tembakau biyungnya dengan harga tinggi. Hingga panen tiba, Kaduk tidak juga membeli tembakau biyung Genduk. Kemarahnnya memuncak tatkala mengetahui Kaduk ‘tak membeli tembakau biyungnya.

Tahu apa kamu soal Kaduk. Sudah berapa banyak orang di desa kita yang dia kelabuhi (Hal 108)

Gaok telah menjadi momok besar bagi para petani tembakau di Temanggung. Permainan gaok memanipulasi petani membuat mereka mendapat sedikit keuntungan. Akibatnya, perekonomian masyarakat petani tembakau terutama petani kecil menjadi susah dan tidak berkembang. Novel ini adalah sedikit gambaran bagaimana kerasnya kehidupan petani tembakau pada zaman dulu. Sundari berhasil mengemas konflik petani dan gaok menjadi ringan hingga nyaman untuk dibaca.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *