Sayup-sayup suara rebana yang ditabuh terdengar dari Auditorium Unnes, Sabtu (07/09). Dari kejauhan, terlihat satu rombongan mengenakan baju koko biru langit keluar dari Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa. Dengan setelan baju yang sama, masing-masing tangan membawa alat rebana dan berjalan menuju Auditorium. Reporter Linikampus pun menuju Auditorium Unnes karena di sana akan berlangsung perlombaan rebana.
Saat memasuki Auditorium, terlihat sebuah tulisan tertempel di dekorasi panggung, “Cinta Indonesia Cinta Sholawat Festival 2019”. Acara ini merupakan program kerja rutin yang diselenggarakan setiap tahun oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Rebana Modern (UKM Remo) Unnes.
Tema Cinta Indonesia Cinta Sholawat Festival (CICS Fest) tahun ini adalah ‘Indahnya Silaturahmi dalam Bingkai Seni dan Budaya Indonesia yang Islami’ . CICSF Fest 2019 ini dimaksudkan menjadi ajang silaturahmi grup rebana se-Jawa raya sekaligus memperingati harlah Remo yang ke-8.
Baca juga : Genduk: Tembakau dan Konflik Gaok
Peserta festival ini terdiri atas 40 grup se-pulau Jawa. Grup tersebut terbagi menjadi dua genre, yaitu hadrah al-habsyi dan al-banjari. Perbedaan mendasar dari kedua genre ini terletak pada alat musiknya.
“Untuk al-habsyi terdiri dari empat rebana, bas, tung, balasik, serta dengan tempo yang cepat. Sedangkan untuk al-banjari, alat musiknya hanya terdiri dari empat rebana dan satu bas dengan tempo yang lambat,” jelas Imam Dwi Bagus, selaku Ketua Panitia CICS Fest 2019.
Penonton yang datang mulai memenuhi kursi yang tersedia. Sementara peserta perlombaan telah bersiap, mereka telah mengenakan seragam masing-masing. Agenda pembukaan kemudian berlangsung. Namun kali ini, ada yang berbeda. Umumnya acara dibuka dengan pukulan gong maupun hetakan tangan yang pelan pada pelantang, sementara di CICS Fest 2019 acara dibuka dengan pukulan rebana oleh Abdurrahman sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Moh. Yasir Alimi selaku Pembina UKM Remo Unnes, serta Eko Raharjo sebagai Koordinator Dosen Bidang Seni.
Acara telah resmi dibuka. Efek lampu sorot yang berwarna-warni dimainkan, kontras dengan Auditorium berdinding putih. Terlihat beberapa panitia sedang sibuk mondar-mandir mengecek peralatan lomba, khususnya pelantang dan sound system. Dua orang panitia diantaranya bersama-sama mengangkat kursi dan meja juri ke depan panggung secara bergiliran dengan panitia yang lain.
Setelah semuanya cukup, dua orang sebagai pewara naik ke panggung. Sebuah gamis maroon motif bunga dengan jilbab abu yang dikenakan pewara wanita sangat serasi dipasangkan dengan kemeja maroon berjas abu pewara pria. Mereka berdua menyapa dan cepat mengambil hati penonton. Tanpa perlu waktu lama, kata-kata yang mereka ucapkan membuat semua yang memperhatikan menjadi tersenyum.
Perlombaan dimulai. Peserta nomer undi satu berasal dari Pondok Pesantren Al-Hikmah Semarang. Ahmad Yuda, koordinator ponpes Al-Hikmah, menyampaikan bahwa menjadi peserta pertama membuatnya sedikit kecewa.
“Waktu diundi memang dapat nomer satu. Siap nggak siap ya harus siap. Karena menjadi peserta pertama tidak bisa melihat perform dari peserta sebelumnya, entah itu terkait penempatan alat rebana maupun mic-nya,” Ujarnya. Di akhir wawancara, ia berharap hadrah masih tetap eksis dan disukai banyak kaum muda di tengah banyaknya musik yang tersebar luas.
Harapan Yuda pun senada dengan ujaran Ketua Panitia CICS Fest 2019, Imam Dwi Bagus Solikhun yang menginginkan hadrah sebagai metode dakwah di tengah kaum muda saat ini yang liriknya bisa disisipi syair ataupun ajakan untuk berbuat kebaikan. Dengan begitu, rebana bisa sebagai ajang kreativitas sekaligus menyebarkan kebaikan lewat selawat. Semua harapan tersebut bisa disatukan dalam acara festival selawat seperti CICS Fest 2019.
Reporter : Nurul Izha Rahmadani
Editor : Amilia Buana Dewi Islamy