oleh : Wiyar Ageng Maharani
Perkuliahan semester gasal sudah hampir habis masanya, liburan akhir semester sudah berada di depan mata. Tak lama lagi, kita bisa menghirup udara segar dari hiruk pikuknya perkuliahan dan tentunya tidak usah lagi repot-repot bangun pagi, dan datang ke kelas. Kalau kata Dilan rasanya itu “sedih dan senang” meninggalkan aktivitas perkuliahan di semester pertama di mana tugas masih belum menumpuk banyak dan masih bisa ber ha-ha-hi-hi ria dengan teman.
Sedihnya kelas yang akan sangat sepi ketika musim liburan, saya khawatir perabot kelas jadi berlumut dan ditumbuhi sarang laba-laba. Tapi tunggu dulu, itu kelas apa hati saya eh.
Berada di ruang kelas rasanya seperti berada di sebuah tempat yang penuh dengan barang-barang bersejarah namun jangan salah masih memiliki nilai jual. eits bukan-bukan kalian tidak sedang membaca cerita tentang berburu barang bekas di loakan. Tapi kita sedang membicarakan ruang kelas yang sehari-hari kita tempati. Belajar di kelas yang nyaman, dengan sarana yang mendukung kegiatan belajar mengajar adalah hal yang cukup aib dan terasa seperti angan dibicarakan di kampus kita tercinta ini.
Untuk mendukung cita-cita nasional kampus, tentunya sarana kelas harus ramah lingkungan dengan tersedianya AC alami. Jika kurang terasa, mengingat cuaca kota Semarang sangat panas kibasan brosur iklan MLM siap membuat suasana lebih sejuk. “Kan ada AC?” Ah saya tidak ingin berharap banyak. Di ruang kelas saya kehadirannya antara ada dan tiada.
Semakin siang udara semakin panas karena matahari semakin tepat berada di atas kepala, ku putuskan untuk membeli es buah yang terasa sangat segar dan menyejukkan, sedikit mahal dibandingkan membeli segelas es teh di kantin, tapi harga yang saya bayarkan dengan membeli es buah dan apa yang saya dapat sebanding dengan rasanya yang maknyus dan bikin mood semakin baik.
“Huft.. andai saja ruang kelas saya juga begitu.” batin saya seraya melamun sambil kipas-kipas—loh mana kipas saya tadi. Saya kelabakan mencari senjata pamungkas saya. Lamunan saya berlanjut, sampai dimana ya tadi. Ya, maksud saya apa yang saya dapat, sebanding dengan apa yang saya kasih setiap 6 bulan sekali. Eh iya tapi tapi saya kan tidak bayar. Ya sudah berarti sepadan kalau begitu. Memang tidak semua ruang kelas di kampus sangat usang untuk ditempati. Namun pemandangan dengan ruang kelas yang tidak nyaman acap kali masih kami temui.
Saat pertama kali perkuliahan dimulai terdapat ruang yang terkadang tidak mampu menampung seluruh mahasiswa yang pada akhirnya membuat beberapa dari kami terpaksa kuliah lesehan, ditambah lagi dengan artefak kampus yang merupakan singgasana para sesepuh mahasiswa terdahulu, masih setia untuk menjadi warisan turun temurun. Alih-alih bergaya modern, sepertinya kampus ini adalah kampus yang mempertahankan tradisi dan kebudayaan masa lampau.
Dihiasi oleh cahaya remang-remang syahdu dan pendingin ruangan yang seperti mainan kini seolah biasa aja bagi saya. Saya punya ide nan cemerlang, bagaimana jika perkuliahan diadakan di ruang terbuka saja, di bawah pohon rindang, angin yang sepoi-sepoi, kalo gini kan jadi benar-benar “AC-alami” bukan hanya sekadar ungkapan saja to.
Menurut pepatah “Place is heart” (baca:tempat adalah hati), suatu tempat sangat berpengaruh besar pada kondisi mahasiswa dalam mengondisikan diri untuk ditempa. Seorang mahasiswa yang belajar dalam ruang kelas yang nyaman, indah dan kondusif cenderung memiliki semangat belajar, dan motivasi yang tinggi.
Mungkin kursi yang usang yang masih dipertahankan berharap membuat kami dapat menyatu dengan alam, membuat suasana kelas seperti berada di tengah hutan rimbun dengan bunga warna-warni karena bunyi kicauan dari kursi yang usang seperti suara burung yang sedang menari-nari dan beterbangan. Alih-alih menyatu dengan alam suara itu sangat mengganggu kami dalam berkonsentrasi, sebenarnya sang kursi juga sangat baik hati karena memperingatkan kami dengan berbunyi saat akan diduduki namun sudah tidak ada tempat lagi selain kursi itu.
Bahkan di sebuah gedung jurusan yang memang sudah cukup usang dan ruang gerak terbatas, ruang kelas kami mungkin di desain agar romantis dengan cahaya temaram dan remang-remang, namun hal itu sebenarnya justru membuat mata kami bekerja lebih keras untuk berkonsentrasi menatap papan tulis dan juga dosen muda yang tampan.
Selain itu cahaya yang minim mengakibatkan mata kami lelah, sakit kepala dan gangguan lebih lanjut hubungi dokter, bahkan parahnya mengakibatkan kami menjadi ngantuk dan mengantarkan saya pada sebuah mimpi jalan-jalan bareng someone yang terasa nyata. Iya iya ,loving someone we can’t have.
Lingkungan pembelajaran yang buruk seperti suhu yang tidak berada pada suhu optimal juga ambil andil dalam sebuah proses pembelajaran. Suhu udara yang tinggi mengakibatkan tubuh mudah berkeringat dan dehidrasi sehingga sangat berpengaruh terhadap konsentrasi belajar di kelas. Namun, dari peristiwa ini mengajarkan saya untuk lebih bersabar ketika menghadapi hal yang selain bikin gerah bodi tapi juga gerah hati, seperti saat melihat pacar mantan gebetan yang lebih glowing dan lebih serasi dengannya. Katamu aku yang terpilih, mengapa sekarang kau beralih?
Ok, kembali ke topik. Sebenarnya ada beberapa solusi yang dapat menjawab semua permasalahan ini yaitu dengan memperbarui sarana prasarana ruang kelas yang sudah tidak layak untuk dipakai, seperti mengganti kursi kelas yang lebih nyaman dan mengutamakan AC sesuai dengan fungsinya yaitu untuk membuat suhu badan kita tetap optimal sehingga konsentrasi kami tidak teralihkan.
Selain itu pencahayaan yang minim juga dapat diatasi dengan ventilasi udara yang sesuai dengan arah datangnya cahaya sebaliknya jangan berlawanan. Jika tidak memungkinkan, maka gunakan lampu yang lebih terang.
Hikmahnya, keadaan ruang kelas yang kurang memadai justru memupuk diri saya menjadi pribadi yang kuat dan tabah. Setidaknya saya sudah ditempa tatkala saya harus melhat mantan gebetan yang sudah punya pacar baru dan sedang asyik bermesraan di kelas. Sudah panas sekarang ditambah panas duniawi yang masyaAllah. DOUBLE KILL!!
*Mahasiswa Pendidikan Bahasa Perancis 2019
Editor : Syifa Amalia