Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Cerpen Sastra

Untuk Kamu

Ilustrasi Cerpen Untuk Kamu. [BP2M/Amilia]

Oleh Nananolly*

            Untuk kamu, apapun akan kuberikan…

            Untuk kamu, apapun akan kuupayakan…

            Untuk kamu, apapun pasti akan kulakukan…

            Untuk kamu, apapun, sungguh apapun, akan kukabulkan semua permintaan…

            Agar kamu “BAHAGIA”.

Dering alarm terus berdengung. Menggemakan suara-suara nyaring hingga menjangkau ke setiap sudut ruangan. Lima menit berlalu, dering dengan suara yang sama itu tak kunjung mereda karena tak tersentuh. Sepersekon kemudian, datang seorang gadis muda dengan keras menubruk pintu kamar ruangan itu dengan tergopoh-gopoh.

Gadis itu mengambil benda bernama ponsel, yang sejak tadi berbunyi hingga mampu menjangkau rungunya di tempat lain. Seraya mematikan alarm, ia lantas melihat sejenak waktu yang tertera di sana. Pukul 05.00 pagi. Senyumnya mengembang diiringi dengan hembusan napas tak teratur dari mulutnya.

Tangan gadis itu meletakkan sapu yang sedari tadi ia bawa ke tepi ranjang. Setelahnya, ia menuju ke sebuah cemin besar setinggi dua meter. Memandang pantulan tubuhnya dan memasang senyum merekah meskipun sekujur tubuhnya dipenuhi oleh keringat.

“Hari ini kau keren sekali! Besok kau harus bangun lebih pagi atau mungkin tak perlu tidur! Ha-ha-ha…,” ucap gadis itu sembari menunjuk-nunjuk pantulan tubuhnya di cermin.

Raut bahagia terus terpancar dari wajah gadis itu, bahkan setelah ia selesai bercermin lalu mengambil kembali sapu tadi dan mengerjakan pekerjaan yang harus ia lakukan. Menyapu, mengepel, mencuci piring, mencuci baju, memasak, hingga memotong rumput adalah hal wajib yang harus ia lakukan di pagi hari, ralat sebelum subuh menjelang ia sangat rela bangun cepat-cepat untuk melakukan semua itu.

Semua kegiatan itu murni keinginan dari gadis itu. Tiada imbalan, semata-mata hanya ingin membantu pekerjaan rumah orang tuanya. Hanya saja, ia sangat ingin orang tua gadis itu mengerti dan menganggap semua usaha yang dikerjakannya selama ini.

Bahkan untuk ukuran Minggu pagi seperti saat ini. Gadis itu lebih memilih bangun lebih cepat dari apapun—termasuk alarm dan matahari terbit. Daripada harus bergelung dengan selimut hangatnya di kamar, ia memilih bangun dan membantu untuk mengerjakan sesuatu. Gadis itu sangat membenci bangun siang. Sungguh, itu sangat menyebalkan!

“Baiklah, hari ini enaknya masak apa?” gadis itu bergumam sembari melihat bahan makanan di kulkasnya. “Oke! Sarapan kali ini mari buat sup ayam dan perkedel!”

Berhasil menentukan menu sarapan pagi ini, tak urung membuat gadis itu semakin semangat dan terus semangat. Tak sadar, bibir kecilnya menyenandungkan sebuah lagu yang pastinya akan membangkitkan mood bahagia bagi siapa saja yang mendengarkannya.

Waktu terus bergulir. Dua jam telah berlalu ia gunakan untuk mengerjakan semua kegiatan di rumah. Kini jam telah menunjukkan pukul 07.00 pagi, gadis itu telah mandi dan berpakaian rapi lengkap dengan tas slempang di bahunya.

Sekarang, gadis itu tengah berada di meja belajar pojok kamarnya. Menggoreskan beberapa rangkai kata dengan pena berwarna pinknya. Cukup lama ia memfokuskan pikiran untuk menyelesaikan tulisan itu sesegera mungkin.

Setelah selesai, mata gadis itu kembali meneliti tulisan itu dengan sangat hati-hati. Bibirnya ikut merapalkan setiap kata yang berhasil ia tulis dalam note kesayangannya.

“Jam 09.00 membantu Bibi jualan. Jam 10.00 ke rumah Tania dan membantu mendekor kamar. Eum… jam 12.00 pulang dan membantu memasak untuk makan siang. Tidak, tidak! aku harus pulang jam 11.00 sebelum makan siang tiba. Lalu… jam 14.00 aku harus ke supermarket untuk membantu membeli bahan makanan. Sore.. jam 16.00 aku akan membantu adik Tania mengerjakan tugas sekolahnya. Terus… kembali ke rumah untuk membantu masak makan malam! Oke aku sudah hapal apa tugasku hari ini!”

Gadis itu beranjak dari kursi dan menuju cermin untuk merapikan penampilannya. Dirasa cukup, gadis itu melenggang ke luar sembari menghapal rentetan kata yang harus ia lakukan hari ini. Ia sangat bahagia mengingat ia akan membantu banyak orang.

Tak salah ‘kan apabila kita banyak membantu? Bukankan membantu dan meringankan beban sesama adalah perbuatan yang sangat baik? Terlebih setelahnya kau akan merasa bahagia karena merasa berguna dan dapat menyenangkan perasaan orang lain. Perasaan bahagia ketika melihat orang lain bahagia. Ya, seperti itulah rasanya.

Sebelum melakukan semua daftar kegiatannya itu. Hari ini dan saat ini juga, gadis itu berniat untuk menemui sahabat yang paling ia sayangi. Seorang sahabat yang telah menemaninya selama tujuh tahun, terhitung semenjak ia memasuki SMP hingga sekarang—kuliah tahun pertama.

Sudah sebulan lamanya ia tak menemui sahabat terbaiknya itu. Senang sekali hingga tak terhitung rasanya. Akhirnya gadis itu akan menemuinya.

Di sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya gadis itu menebar senyuman pada setiap orang yang ia temui. Tak jarang ia juga bersenandung riang. Rupanya pagi ini sangat cerah. Hamparan langit berwarna biru muda. Burung-burung tampak berterbangan menikmati udara yang masih sejuk.

Gadis itu mengeratkan pegangannya pada tali tas yang tengah ia pakai. Langkah kakinya mengayun silih berganti. Sesekali ia mengenang masa-masa yang telah ia lalui dengan sahabatnya selama tujuh tahun. Masa-masa paling indah yang pernah ia lalui.

Sahabatnya. Gadis itu biasanya memanggilnya Marina. Adalah sosok gadis paling penyabar yang pernah ditemui gadis itu. Sosok Marina yang mempu mengajarkan gadis itu arti saling membantu dan tolong menolong antar sesama. Sosok Marina yang tak lepas dari kegiatan membantu sesamanya, di manapun dan kapanpun.

Di mata gadis itu, ia selalu menjumpai Marina  yang terus menolong teman-temannya. Mungkin itulah yang menginspirasi dan membentuk karakter suka menolong apapun keadaannya pada gadis itu.

Sampailah gadis itu di tempat yang ia tuju. Di sana telah tampak Marina, lantas gadis itu mempercepat langkahnya. Lagi-lagi senyumannya merekah, memandang sahabatnya yang sangat ia rindukan. Gadis itu segera menempatkan diri, duduk di tempat beralaskan keramik tepat di samping sahabatnya—Marina.

“Hai, Marina. Kau baik-baik saja ‘kan?” gadis itu memulai percakapan.

“Marina! Apa kau tak merindukanku? Jangan marah. Aku akan mengabulkan semua permintaanmu agar kau bahagia,” lanjut gadis itu.

Marina membisu.

“Kau ingat, Marina? Dulu, bukan, sampai sekarang kita sahabat bukan? Aku dulu sering membantumu mengejakan PR, membantumu menyelesaikan masalahmu, membantumu masuk SMA favorit. Bahkan aku sangat rela, setiap hari memberimu bekalku saat sekolah dulu. Semuanya! Aku memberikannya padamu. Aku membantumu! Aku melakukan itu semua. Agar kau… bahagia, Marina,” ucap gadis itu dengan deraian air yang telah luruh dari ke dua matanya.

Hening.

Gadis itu semakin terisak karena bantuannya selama ini tak mendapatkan respon apapun bahkan hanya untuk balasan berupa suara.

“MARINA!!! KATAKAN SESUATU!!!”

Kesabaran dari gadis itu menemui titik akhir. Ia menendang dan memukul batu di hadapannya. Sebuah batu nisan bertuliskan “Marina” sebagai identitas.

“Aku telah berhasil mengabulkan permintaanmu yang terakhir, Marina. Bukankah kau lelah? Kau tidak sanggup untuk hidup dan ingin mati? Kau lihat ‘kan? Aku membantumu untuk ‘mati’ bahkan dengan kedua tanganku sendiri! KAU BAHAGIA BUKAN!!!”

 

**Neurotik atau gangguan mental yang disebabkan oleh kurangnya perhatian, kasih sayang, cinta, di masa kecil. Penderita biasanya akan melakukan hal-hal yang ‘tidak sehat’ secara terus menerus untuk mendapatkan itu ketika dewasa, termasuk memberikan bantuan kepada orang lain, apapun dan bagaimanapun itu.

*Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jepang, Unnes.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *