Oleh Zahwal Wafdah*
Judul : Keberangkatan Pengarang : Nh. Dini Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan : Pertama 1987 Tebal buku : 229 halaman ISBN : 978-979-22-5836-3
“Untuk mati, orang tidak memerlukan kepandaian maupun bakat istimewa. Siapa pun dapat mati sewaktu-waktu, dengan cara yang dikehendaki atau dipilihnya. Sebaliknya, untuk hidup orang membutuhkan keberanian, kecakapan yang kadang-kadang luar biasa.” (hlm. 183)
Kehidupan seringkali membuat manusia lupa akan di mana mereka berdiri, pelbagai pertanyaan membuat manusia senantiasa bertanya “Mengapa Tuhan menciptakan manusia ketika Tuhan telah tahu bahwa manusia akan berkalang tanah dengan keadaan seperti apa?” Seperti yang kita ketahui, banyak manusia memilih jalur kematian sebagai jalan keluar dalam menumpas beragam dilema kehidupan. Kecakapan hanya sebuah konotasi yang bersifat formalitas. Faktanya, setiap orang mempunyai latar belakang, asal-usul dari mana mereka berasal.
Paritas Bukan Berati Paras
Novel ini tidak hanya mencurahkan tentang beragam pandangan yang saling berpadu, mulai dari percintaan, keluarga, bahkan kehidupan manusia yang terbalut dalam suasana kebangsaan berselirat dalam teka-teki. Lebih dari itu, melalui buku ini Nh. Dini menyiratkan paham kehidupan yang memiliki dua perspektif saling beradu dalam bingkai persamaan dan perbedaan.
Paham stereotip membuat manusia merasa bahwa aluran para pitarah lebih baik dari paham kontemporer yang terbentuk dari reseptif manusia. Prespektif kognisi dapat kita lihat ketika manusia menyangkak impresi dari inversi yang berseberangan. Seperti halnya pada zaman sekarang, kesetaraan gender acap kali memicu perempuan unjuk gigi untuk memperoleh sub-bidang dalam kehidupan dan adanya dogma dinamis yang menyatakan bahwa perempuan hanya sebatas rumah dan pasar.
Persoalan kesetaraan gender pada zaman sekarang masih runyam untuk direalisasikan, seperti kasus diskriminasi terhadap kaum perempuan di Banyuwangi mengenai spanduk black campaign, dalam dunia politik pemerintah menetapkan sebanyak 30% bagi perempuan untuk menduduki dunia perpolitikan, dan kasus foto mahasiswi yang diburamkan oleh BEM di beberapa universitas di Indonesia. Perihal ini menjadi penilaian bahwa kesetaraan gender masih mendominasi realitas dibanding entitas.
Perempuan Sejatinya sebagai Objek dari Segala Sisi Kehidupan
Nh. Dini mengibaratkan Elisa sebagai perempuan modern yang menyorot rasa belingsat perempuan dalam menentukan sebuah pilihan, perempuan yang hanya bisa menanti laki-laki disukainya untuk memafhumi renjana dalam diri perempuan, dan menganggap bahwa laki-laki hanya menuruti kehendaknya tanpa memahami perasaan dan kehendak perempuan.
Gaya penyajian mengulas isu feminis pada novel ini menggunakan mata sirat yang sangat kental. Ada hal yang cukup mengherankan dalam membaca novel ini, yakni banyak kata ganti pada plot cerita secara kompleksitas membuat nalar menerka-nerka siapa identitas yang dituju. Minimnya letupan kejadian membuat daya pikat sedikit menyulut istilah menjerat.
Bahasa yang digunakan dalam novel ini memakai bahasa sehari-hari agaknya seperti interlokusi dengan mengaryakan suasana yang teduh. Keberangkatan memiliki ambisi untuk merawikan dinamika realitas kehidupan wanita dengan menyuntikkan pikiran-pikirannya mengenai hak wanita dalam tingkah laku para tokoh. Dari segi plot cerita, novel ini mengandung beragam ilham yang sanggup menembus naluri manusia.
Antara Personalitas dengan Susur Galur
Tidak semua suka hidup dengan mengumpulkan kenangan. Kebanyakan dari “lingkunganku” terdahulu juga tidak pernah membicarakan asal usulnya. Seolah-olah hidup yang sebenarnya adalah yang sekarang, orang tua dan anak-anak. Tanpa naik ke buyut maupun bercabang pada paman dan bibi hingga pada saudara-saudara sepupu. (hlm. 93)
Doktrin kehidupan yang monoton membuat manusia elusif dalam mengambil keputusan, bagaimana caranya secara perlahan membiasakan diri kepada masa depan meskipun belum berbentuk nyata. Setiap manusia memiliki masa lalu dan lakon cerita yang berbeda tergantung dari mana mereka tumbuh. Asal usul, kejadian, dan kenangan hanya sebuah untaian sutra dalam garis lurus pada sebuah anotasi berantai—berpautan satu sama lain.
Beragam pertanyaan mengenai: siapa ayahku, siapa keluarga asliku, di mana asalku, dan siapa ibuku melahirkan sebuah persepsi pembatas karakteristik derajat manusia dengan yang lainnya. Manusia seringkali menilai segala sesuatu dari tampaknya, penafsiran arti kata “keseimbangan” hanya sebuah denotasi belaka.
Konsep ekuilibrium senantiasa membuat manusia mencari kaidah dalam berbagai sisi—terlebih jika melekat pada suatu personalitas. Perbincangan antara Elisa dan kakaknya mewakili setiap insan yang bimbang akan personalitas dalam kehidupannya. Elisa sebagai seorang gadis berdarah Indo yang tinggal di Indonesia merasa aneh dan tidak mengenal asal-usul dirinya berdiri. Lahir di Indonesia tetapi memiliki darah keturunan Belanda. Ibunya senantiasa menjadi intaian para lelaki membuat hasrat dalam dirinya memarak mata rantai dalam pencarian tabiat yang elusif.
Nh. Dini menyadarkan kita bahwa kehidupan ini memiliki kausalitas yang berkesinambungan. Jika kepergian hanya sebuah melankoli, keberangkatan akan senantiasa menjadi pelipur lara. Terdapat suatu kutipan yang dapat menyulih akar risalah ini,
“Semua manusia adalah makhluk Tuhan, semua negeri adalah bumi Tuhan.” ( hlm. 89)
*Mahasiswi Sastra Indonesia 2019, Unnes