Menyoal Kebijakan Pemerintah dan Konflik Pertambangan di Masa Pandemi
Berita

Menyoal Kebijakan Pemerintah dan Konflik Pertambangan di Masa Pandemi

tangkapan layar jatam

JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) meluncurkan catatan akhir tahun 2020 sekaligus proyeksi tahun 2021 yang bertajuk “Mutasi Kejahatan Negara-Korporasi dan Babak Baru Jerat Oligarki Tambang” secara daring pada Minggu (24/1).

Menurut Ki Bagus selaku Divisi Jaringan dan Simpul JATAM Nasional, kerusakan lingkungan tidak terlepas dari banyaknya kebijakan dan kewenangan yang diterapkan oleh negara. Ia juga mengungkapkan beberapa kebijakan yang diputuskan pemerintah selama masa pandemi ini dianggap sangat dipaksakan dan berakibat memperburuk kondisi masyarakat.

“JATAM mencatat setidaknya ada empat kebijakan yang sangat dipaksakan sepanjang pandemi Covid-19 kemarin,” ujarnya.

Kebijakan tersebut adalah pengesahan UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Revisi UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, lahirnya UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Omnibus Law Cipta Kerja, proyek ibu kota baru yang tetap dilangsungkan di tengah pandemi Covid-19, dan Proyek Strategi Nasional (PSN).

Revisi UU Minerba yang ditetapkan menjadi UU No. 3 Tahun 2020 dianggap berisi insentif yang besar terhadap industri pertambangan. Nyatanya, banyak masyarakat di lingkar tambang yang mengalami krisis karena aktivitas tambang yang masih berjalan.

“UU No. 3 Tahun 2020 ini juga memberikan perlindungan terhadap korupsi pejabat negara, karena Pasal 165 yang berpotensi untuk menjerat para pejabat yang memberikan izin secara serampangan itu dihapuskan,” kata Ki Bagus.

JATAM mencatat lonjakan konflik yang sangat tinggi antara masyarakat dengan pertambangan yang terjadi sepanjang 2020. Pada tahun 2014 hingga 2019, tercatat 71 konflik dengan rincian sebelas konflik terjadi pada tahun 2019 dan 45 konflik pada tahun 2020. Konflik perampasan lahan dan kriminalisasi menjadi konflik yang paling banyak terjadi. Konflik lain yang terjadi di antaranya 22 kasus pencemaran lingkungan, tiga belas kasus perampasan lahan, delapan kasus kriminalisasi warga penolak tambang, dan dua kasus pemutusan hubungan kerja.

Menurut Muh Jamil selaku Divisi Hukum JATAM Nasional, terjadinya empat kasus yang sangat disorot pada tahun 2020 menjadi konflik yang terbesar. Sesuai catatan JATAM, empat kasus tersebut terjadi di daerah yang berbeda, tepatnya di Kodingareng, Sulawesi Selatan; Pulau Halmahera, Maluku Utara; Banyuwangi, Jawa Timur; dan Bangka Barat, Bangka Belitung. Keempatnya memiliki kasus yang serupa, yaitu kriminalisasi terhadap masyarakat yang melakukan perlawanan guna memperjuangkan lingkungan hidup.

“Seringkali para polisi melakukan kriminalisasi, begitu juga pihak perusahaan menggunakan pasal-pasal (untuk mengkriminalisasi) yang hampir tidak ada hubungannya dengan upaya warga menolak pertambangan,” tutur Muh Jamil.

 

Reporter: Naufal Labib/Magang BP2M

Editor: Hani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *