Tidak ada penunjuk jalan apa pun dari Jalan Parangtritis, Sewon, Bantul menuju lokasi ini. Saya terpaksa berhenti beberapa kali untuk membuka Google Maps, memastikan lokasi yang saya tuju tidak terlewat. Setelah 250 meter menuju selatan dari Kampus ISI Yogyakarta hingga Kantor Pos Sewon, penunjuk jalan mengarahkan untuk masuk ke jalan kecil sejauh 50 meter.
Memasuki jalan kecil, beberapa papan penunjuk lokasi sudah mulai bermunculan di setiap pengkolan. Hingga saya menemui plang bertuliskan “Tempat Pengasapan Mangut Lele Mbah Marto”. Saat itu, rumah makan ini tampak belum ramai. Beberapa kursi masih menungging. Layar ponsel saya menunjukkan pukul 11.15 WIB, memang belum waktunya untuk makan siang.
Warna gelap kompak memenuhi pawon, di mana makanan yang menjadi legenda itu diracik. Sekilas, tidak ada ciri khas seperti rumah makan yang telah menjadi legenda selama puluhan tahun. Mbah Marto mulai membuat lele mangut sejak dekade 60-an dengan cara berkeliling dari kampung ke kampung dan sejak 1989, ia mulai berjualan di rumahnya hingga hari ini.
Tak selang lama, saya dipersilakan untuk mengambil makanan. Di atas amben (balai-balai), berbagai menu telah terhidang mulai dari opor tahu, krecek, ayam goreng, gudeg, dan tentu sang primadona, mangut lele.
Tepat di belakang pawon milik Mbah Marto, setelah dibersihkan dan diberi tusuk, ikan lele berbanjar rapi di atas tungku pemanggang yang menggunakan bahan bakar kulit kelapa kering. Selain awet, cara membakar ini digunakan untuk menghasilkan pembakaran yang sempurna. Uniknya, tusuk ikan yang digunakan bukanlah tusuk bambu, melainkan tusuk dari tulang daun kelapa.
Setelah satu jam berkelut dengan asap, warna ikan lele berubah menjadi cokelat. Selain itu, tekstur ikan lele yang mengeras menandakan bahwa proses pengasapan telah genap sempurna. Proses ini bertujuan supaya tubuh ikan lele tidak hancur saat dimasak dengan kuah santan pedas.
“Bahkan saat akhir pekan atau setelah hari raya seperti idul fitri, jumlah kebutuhan lele bisa lebih dari 50 kilogram,” ungkap Ana, istri dari Poniman, anak kelima dari Mbah Marto yang meneruskan usaha milik ibunya.
Hari itu, saya tidak berkesempatan untuk bersua dengan Mbah Marto. Ia dikabarkan sedang berkunjung ke rumah salah satu anaknya. Tetapi, berdasarkan informasi dari akun Twitter @javafoodie, Mbah Marto kini bermukin di rumah dan warung milik salah satu anaknya di Patalan, Bantul yang tidak jauh dari pawon semula di Sewon, Bantul sejak bulan Desember. Di tengah usia senjanya, Mbah Marto tetap melakukan rutinitas yang ia lakoni sejak puluhan lalu dan akan terus mengalir dalam nadirnya, membuat mangut lele.
Fotografer: Adam
Penulis: Adam
Editor: Hani