Sejumlah massa yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) menggelar aksi menolak pemberlakuan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II dan menuntut hak penentuan nasib sendiri, di kawasan patung kuda Universitas Diponegoro Pleburan Semarang, Jumat (5/3).
Pukul 09.00 WIB mereka berencana memulai aksi dari Undip Pleburan, Jalan Pahlawan, Simpang Lima, hingga kembali lagi ke Undip Pleburan. Namun, berdasarkan keterangan Facebook Aliansi Mahasiswa Papua, belum sempat berorasi dan longmars, massa aksi dihadang dengan mokom milik polisi hampir satu jam lebih.
Kemudian pukul 10.30 WIB massa aksi direpresi oleh aparat keamanan mulai Satpol PP, Kepolisian dan TNI. “(Aparat keamanan) mendorong, memukul, tarik baju hingga sobek, rebut bendera, spanduk, poster dan putuskan tali komando (tali lingkar massa aksi),” kata Ney Sobolim juru bicara massa aksi pada Jumat (5/3).
Ney juga menyebut setidaknya terdapat 21 massa aksi yang diangkut ke Polrestabes untuk dimintai keterangan. Setelah dua jam, barulah massa aksi yang ditangkap dibebaskan oleh pihak kepolisian.
Mengutip dari laman Cnnindonesia.com sebelum dibubarkan, massa aksi telah diperingatkan berkali-kali oleh polisi agar tidak melanjutkan aksinya. Polisi beralasan kerumunan yang terjadi dalam aksi itu telah melanggar protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19.
“Kami minta agar saudara-saudara bisa taat hukum dan patuhi aturan. Mohon segera membubarkan diri karena ini masih masa pandemi dan kita harus disiplin protokol kesehatan, tidak berkerumun dan menciptakan kerumunan. Sekali lagi, mohon bisa dipahami,” ujar Wakil Kepala Polrestabes Semarang AKBP Iga Nugraha di depan massa.
Setelah kembali ke titik kumpul (Undip Pleburan), Ney mengatakan pihaknya sempat melanjutkan beberapa kali orasi politik dan membacakan pernyataan sikap.
“Harapan kami Otsus dihentikan, Negara Indonesia sebagai negara demokrasi membuka ruang demokrasi di West Papua dengan memberikan kebebasan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat bangsa Papua. Ini adalah solusi atau jalan tengah yang kami sebanyak 108 organisasi rakyat yang tergabung dalam PRP (Petisi Rakyat Papua),” kata Ney.
Ney juga mengatakan jika solusi yang paling demokratis menurutnya tidak diberikan pemerintah Indonesia, pihaknya meminta pengakuan atas kedaulatan bangsa Papua yang pernah diproklamirkan pada 1 Desember 1961.
Sementara itu, berdasarkan keterangan tertulis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang (5/3) menyebutkan puluhan aparat kepolisian yang melakukan penangkapan secara sewenang-wenang kepada 21 (dua puluh satu) massa aksi tidak menyertakan surat penangkapan. Selain itu, penangkapan juga dilakukan dengan menggunakan kekerasan saat massa aksi dipaksa untuk menaiki mobil pengendalian masyarakat (Dalmas).
LBH Semarang menilai Kepolisian Polrestabes Semarang tidak pernah belajar bagaimana cara memperlakukan dan memandang masyarakat Papua sebagai manusia.
“Represifitas kepada Mahasiswa Papua bukan sekali, dua kali dilakukan oleh Kepolisian Polrestabes Semarang, hampir setiap aksi dan diskusi Mahasiswa Papua selalu mendapat represifitas,” tulis LBH Semarang dalam siaran persnya di akun Instagram.
Reporter: Alya & Niamah
Editor: Niamah